Untuk bisa eksis secara global, perfilman Indonesia perlu banyak berbenah. Sokongan pemerintah harus lebih kuat.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri perfilman Indonesia masih perlu banyak berbenah dan melakukan perbaikan jika ingin bisa bersaing dengan negara lain yang jauh lebih maju setidaknya seperti Korea Selatan. Pemerintah sebagai pihak regulator dan pembuat kebijakan juga harus mampu memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem perfilman Tanah Air.
Hal itu disampaikan sejumlah insan film atau sineas yang hadir dalam jumpa pers Hari Film Nasional, yang digelar Netflix Indonesia, Rabu (27/3/2024). Beberapa dari mereka yang hadir adalah produser, yang juga pegiat film, seperti Prilly Latuconsina, Ifa Isfansyah, dan Taufan Adryan. Juga mendampingi Rusly Eddy dan Ruben Hatari dari Netflix.
Prilly, artis film peraih Piala Citra 2021 dan 2023, menyebut jika dibandingkan dengan Korea Selatan, industri perfilman Tanah Air masih harus banyak mengatasi ketertinggalan. Menurut produser sekaligus pendiri rumah produksi Sinemaku Pictures itu, industri film di ”Negeri Ginseng” setidaknya tak kesulitan mendapatkan pemain dan kru film berkualitas.
”Di Indonesia sumber daya manusianya masih kurang banget. Kenapa begitu? Saya nyari kru itu susah banget. Oh, krunya lagi shooting di produksi ini atau itu. Mau nyari aktor aja juga susah banget karena pilihannya enggak banyak. Enggak banyak anak muda yang cita-citanya ingin terjun di industri film,” ujar Prilly.
Semua itu terjadi lantaran di Indonesia industri film juga masih dipandang sebelah mata. Apalagi dia juga belum dianggap sebagai potensi lapangan pekerjaan yang mampu memberi jaminan penghasilan menjanjikan. Salah satu pilihan solusi yang bisa ditempuh antara lain dengan memperbanyak kampus atau jurusan terkait film di Tanah Air. Hal tersebut bisa dengan mudah ditemukan di negara-negara maju seperti Korea Selatan.
Tidak hanya itu, tambah Prilly, pemerintah di sana juga menyediakan banyak beasiswa untuk bisa mengirim para mahasiswa perfilman belajar ke luar negeri. Sepulang dari belajar di kampus-kampus perfilman ternama di luar negeri, anak-anak muda ini kemudian pulang kembali ke tanah airnya, lalu membuat film-film berkualitas.
”Kalau di kita masih ada pertanyaan, oh kerja di industri film mau jadi apa? Apa ada masa depannya?” ujar Prilly.
Sementara itu, Ifa mengatakan apa yang terjadi di Korsel bukanlah suatu kebetulan. Mereka bahkan sudah merancang strategi kebudayaannya, termasuk perfilman, sejak dua dekade terakhir sehingga semua saling terintegrasi.
”Seperti dibilang Prilly, semua saling terkait. Kalau kita ngomong kualitas film harus ditingkatkan, berarti juga meningkatkan kualitas skenario. Untuk meningkatkan kapasitas itu, berarti butuh sekolah. Yang namanya sekolah butuh pengajar. Jadi, semua tidak berdiri sendiri sehingga harus ada strategi,” ujar Ifa, yang juga Direktur Festival Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF).
Dalam kesempatan yang sama Taufan menyebut industri dan dunia perfilman saat ini sudah terbilang menjanjikan dan tidak lagi seseram seperti dibayangkan orang-orang tua dulu. ”Film bukan sekadar idealisme, tapi juga bernilai baik investasi, atau bahkan sudah menjadi semacam soft power bagi sebuah negara,” tambah Taufan.
Gelar pelatihan
Terkait upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas film Indonesia, Netflix Indonesia berupaya berinvestasi dalam bentuk menggelar sejumlah pelatihan seputar produksi film. Kerja sama dilakukan bersama sejumlah pihak, misalnya kalangan perfilman seperti JAFF, Badan Perfilman Indonesia, dan pemerintah.
”Sepanjang tahun ini kami juga akan kembali menggelar beberapa sesi pelatihan dengan teman-teman dari JAFF. Kami juga mencoba mengeksplorasi jenis-jenis pelatihan dari yang bersifat umum hingga khusus, semisal script writing, terkait pendanaan dan akunting fokus di industri film, juga terkait musik untuk ilustrasi dan clearance-nya,” ujar Ruben, yang juga Direktur Kebijakan Publik Asia Tenggara Netflix.
Pelatihan dalam bentuk lokakarya singkat berjudul ”What They Don't Talk About When They Talk About Film Production” kali ini diikuti 60 produser dan tim produksi muda. Fokus lokakarya membahas seputar kerja sama dengan pihak ketiga, penggunaan musik dalam film, menyusun rencana keuangan dalam produksi film, aturan hukum dan kontrak, dan banyak lagi.
Pilihan topik yang berfokus pada aspek administratif dan legalitas dalam produksi film diambil lantaran masih minimnya diskursus tentang aspek-aspek esensial tersebut, terutama dalam kurikulum pendidikan film. Hal itu disinyalir menjadi hambatan bagi para filmmaker muda untuk terjun ke industri perfilman.