Setara lewat Sinema
Geliat perfilman global belum merangkul secara utuh perempuan dalam industrinya. Benar demikian?
Isu perempuan kian marak diangkat dalam layar. Hampir semua sinema di seluruh dunia getol bertutur mengenai hak perempuan, termasuk sinema Timur Tengah dan Afrika Utara. Di tengah minimnya perempuan sebagai pelaku industri film, mereka terus bergerak.
”Aku tidak mau seperti (perempuan) yang lain, suami berangkat kerja lalu nanti dia pulang dan hanya menemui istrinya saat malam saja untuk tidur,” ujar Banel dalam salah satu dialog ketika Adama berubah sikap atas saran dari keluarga dan para tetua demi memperbaiki keadaan desanya.
Saat itu, desa mereka dilanda kekeringan panjang yang menyebabkan banyak hewan ternak mati dan lahan pertaniannya tak tumbuh. Semua itu kemudian dikaitkan dengan perilaku Adama yang menolak mengikuti aturan karena diduga dipengaruhi Banel yang memang terus berusaha memperjuangkan haknya sebagai perempuan.
Penggalan di atas merupakan secuplik adegan dalam film Banel & Adama (2023) buatan Ramata-Toulaye Sy yang diputar di auditorium Museum of Islamic Arts, Doha, Qatar, Senin (4/3/2024) malam. Para penonton yang memenuhi ruangan terpukau dengan konflik cerita dan sudut sinematografi yang ditampilkan dengan dominasi gurun pasir sebagai latar sepanjang film itu.
Aku tidak mau seperti (perempuan) yang lain, suami berangkat kerja lalu nanti dia pulang dan hanya menemui istrinya saat malam saja untuk tidur.
Mengambil latar belakang Senegal, film yang ikut berkompetisi di Festival Film Cannes 2023 ini menunjukkan kondisi perempuan yang sukar menentukan nasibnya sendiri. Banel, misalnya, terpaksa menikah menjadi istri kedua pada usia 19 tahun dengan kakak Adama.
Setelah kakak Adama meninggal, Adama sebagai adik diminta menikahi Banel. Seusai pernikahan, Banel juga mesti tinggal di tempat mertuanya sesuai tradisi daerah. Ia berulang kali ditodong untuk segera punya keturunan. Dalam kondisi itu, ia tidak punya pilihan selain harus mengikuti aturan, meski dengan segala upaya ia memberontak demi haknya, tapi justru dianggap tidak waras.
Baca juga : Perempuan, Film, dan Ruang Aman
Seusai pemutaran, Ramata naik ke panggung dan meladeni pertanyaan dari audiens. Perempuan berdarah Senegal kelahiran Perancis ini membuat film ini sebagai persembahan untuk perempuan dan negara asalnya, Senegal.
”Dia (Banel) hanya ingin menjadi perempuan sesuai nilai dirinya. Tapi nyatanya tak mungkin, masyarakat di sekitarnya menentang dan dia tak tahu cara keluar dari sana. Kondisi ini juga dialami banyak perempuan di banyak tempat sebenarnya,” tutur Ramata yang menjadi perempuan kulit berwarna kedua yang memperebutkan Palme d’Or di Cannes.
Mengenai hal ini, ia memberikan pernyataan yang menohok. ”Saya berharap kita semua pada akhirnya bisa dipandang sama dan setara. Tidak ada sutradara kulit hitam, sutradara perempuan, cukup sutradara saja sama seperti yang lain, kan? Selama ada label tersebut, justru ada yang salah di sini (termasuk dalam industri film),” ujar Ramata.
Apa yang disampaikan Ramata ini benar adanya. Atribusi yang disandingkan dalam sebuah profesi itu malah makin menebalkan problematika mengenai kesetaraan yang selama ini terus digaungkan. ”Artinya, perempuan masih sedikit yang berkecimpung di sini (industri film) dengan berbagai alasannya. Padahal, seharusnya bisa menjadi hal yang biasa. Apalagi banyak kesempatan yang bisa dimanfaatkan,” jelas Ramata.
Qumra 2024, salah satu tempat inkubasi bagi para bakat baru di industri perfilman yang berlangsung sejak 1 Maret hingga 6 Maret 2024 di Qatar, merupakan salah satu kesempatan itu. Dari 40 proyek terpilih yang terdiri dari film dokumenter, film narasi, film pendek, dan serial di Qumra 2024, hampir separuhnya dijalankan oleh perempuan, baik sebagai sutradara maupun produser.
Baca juga : Mereka yang Menjaga Sejarah Palestina
Hend Bakr yang merupakan sutradara film dokumenter berjudul In the Shade of the Royal Palace (Dwellers of the Cabins) berpendapat, penting perempuan terjun di industri perfilman, tak hanya sebagai aktris. Ia meyakini kepekaan dan pengalaman diri membuat perempuan mampu membahasakan isu perempuan ke dalam layar lebih jernih.
”Dulu, perempuan dicari untuk tampil di depan layar. Tapi sekarang, perempuan juga patut memperoleh kesempatan yang sama untuk berada di balik layar,” ungkap Hend.
Sutradara asal Mesir yang semula mengambil pendidikan sejarah Islam ini banting setir untuk membuat film karena suka menulis cerita. Ia kemudian belajar pembuatan film di Jesuit Cinema School di Alexandria, Mesir. Pada 2013, ia ikut serta menjadi sutradara, penulis skenario, dan produser dalam film omnibus berjudul The Mice Room.
Dulu, perempuan dicari untuk tampil di depan layar. Tapi sekarang, perempuan juga patut memperoleh kesempatan yang sama untuk berada di balik layar.
Tahun lalu, ia baru merampungkan film dokumenter pertamanya berjudul The Tedious Tour of M yang masuk ke sejumlah festival film. Di sini, Hend yang juga mendirikan rumah produksi Rufy’s Film bertindak sebagai sutradara dan produser. Begitu pula untuk film dokumenter keduanya yang masuk ke Qumra 2024, ia kembali melakoni dua tanggung jawab sekaligus.
Hend mengakui, tantangan bagi perempuan di industri film adalah kemampuan bertahan di lingkungan industri film yang kadang kala masih memandang perempuan sebelah mata. Sebab, peluang belajar dan membuat film sesungguhnya terbuka lebar, termasuk di Mesir.
”Itu jelas membutuhkan kesabaran dan ketahanan. Perempuan, saya yakin bisa melalui itu semua. Tapi, lingkungan di dalam industrinya yang sering menjadi ganjalan,” katanya.
Perubahan paradigma
Mengacu pada data dari Northwestern University yang diminta Doha Film Institute untuk melakukan penelitian, terdapat 25 persen perempuan pembuat film di Afrika Utara yang tersebar di Maroko, Mesir, dan Tunisia. Sementara itu, rata-rata sebanyak 26 persen perempuan pembuat film di sejumlah negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Lebanon, Palestina, Turki, dan Qatar. Bahkan, di Qatar, ada 60 persen perempuan pembuat film. Jumlah yang meningkat pesat dibandingkan beberapa tahun belakangan.
CEO Doha Film Institute Fatma Hassan Alremaihi mengungkapkan, produktivitas para sutradara dan produser perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara terus naik dan ikut menaikkan kebangkitan lagi sinema di kawasan itu yang hampir seabad didominasi laki-laki.
Itu jelas membutuhkan kesabaran dan ketahanan. Perempuan, saya yakin, bisa melalui itu semua. Tapi, lingkungan di dalam industrinya yang sering menjadi ganjalan,
Abeer Al-Kubaisi, perempuan pembuat film dari Qatar, menyampaikan, semua yang dilakukannya kembali pada perspektif dan dukungan keluarga. Di sisi lain, situasi di Doha yang menjadi ibu kota Qatar jauh berbeda ketimbang saat dirinya kecil sehingga sebagai perempuan saat ini ia merasa tak ada batasan lagi.
”Sepuluh tahun lalu dengan sekarang jelas berbeda. Aku bisa memperoleh pendidikan hingga S-2 di London dan saat ini membuat film pendek bersama temanku yang juga perempuan. Ini buah dari usaha dan dukungan dari keluarga. Sebab, belum tentu tiap keluarga memiliki kebebasan serupa,” jelas Abeer.
Shaima Al-Tamimi, perempuan pembuat film dari Yaman, sepakat. Ia pernah mengalami masa remaja dilarang pergi ke bioskop dan menyaksikan film oleh ayahnya. Meski setelah kuliah, ia memperoleh izin untuk berkarya. ”Perempuan di Timur Tengah dilihat pihak luar sebagai yang terdiskriminasi, banyak larangan, dan banyak lagi. Ya, itu terjadi, tapi kini kondisi telah berubah di sebagian negara. Meski belum signifikan, situasinya jelas lebih baik,” tutur Shaima.
Baca juga : Gaung Suara Dunia untuk Palestina di Qatar
Suka tidak suka, Indeks Kebebasan Sipil Perempuan merujuk pada data dari Variety of Democracies pada 2022, negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara memang tergolong rendah nilainya dibandingkan negara lain, yakni pada kisaran 0,3 hingga 0,4. Sementara indeks nilai tertinggi ada pada angka 1 yang dianggap telah memenuhi hak kebebasan sipil perempuan. Kendati demikian, jumlah perempuan pelaku film di negara Timur Tengah dan Afrika Utara nyatanya sebanding juga dengan negara-negara di Eropa dan negara lain, seperti Amerika Serikat hingga Indonesia.
Mengacu pada data yang dikeluarkan Celluloid Ceiling Study dari San Diego State University, hanya ada 25 persen perempuan yang dilibatkan di balik layar secara keseluruhan untuk 250 film berpendapatan tinggi di Amerika Serikat sepanjang 2021. Secara spesifik, jumlah sutradara perempuan sekitar 17 persen dan produser sekitar 32 persen.
Kondisinya tak jauh berbeda di Eropa pada 2021. Berdasarkan data dari European Audiovisual Observatory’s Lumiere, jumlah sutradara perempuan hanya 25 persen dan produser tercatat 34 persen.
Di Indonesia, keadaannya juga mirip. Dalam buku Menuju Kesetaraan Gender Perfilman Indonesia, yang dituis Sazkia Noor Anggraini, jumlah sutradara perempuan Indonesia selama satu dekade, yakni 2010-2020, sebanyak 11 persen dan produser 25 persen.
Profesi lain di balik layar, seperti penulis skenario, penata suara, dan editor, juga tak banyak dijalani perempuan. Meski pasca-Reformasi, angkanya jelas meningkat.
Sazkia dalam bukunya pun menyebutkan, dengan masuknya para perempuan dalam ranah teknis film, representasi dan suara menjadi lebih berimbang dalam produksi film. ”Siapa lagi yang mau menyuarakan suara perempuan kalau tidak dari kita sendiri. Jadikan hal yang biasa bahwa perempuan di mana pun ia berada bisa berprofesi apa saja, termasuk di industri film ini,” ujar Ramata.
Kelak, tak perlu lagi ada embel-embel perempuan karena pada dasarnya semua berhak untuk berkarya dan menjalani profesi apa pun di industri film.