Mereka yang Menjaga Sejarah Palestina
Menjaga sejarah agar Palestina tak hilang dari peta dan cerita kini menjadi tugas mereka.
Suasana ruangan di auditorium Museum of Islamic Art, Qatar, pada Jumat (1/3/2024) malam mendadak senyap dan gelap. Semua mata menatap dalam pada layar dan mendengar dengan saksama perbincangan ibu dan anak dalam bahasa Arab bercampur Perancis.
Adegan dibuka dengan kenangan masa kecil Lina Soualem ketika berkunjung ke rumah neneknya, Nemat, di Deir Hanna. Kenangan masa kecil Lina itu ditampilkan melalui cuplikan video-video yang rajin direkam ayahnya dulu. Lina merupakan keturunan Palestina-Aljazair yang memutuskan untuk menggali sejarah ibunya, Hiam Abbas, yang berasal dari Palestina.
Melalui film dokumenter yang disutradarainya, yakni Bye Bye Tiberias, Lina sekaligus menghidupkan sejarah Palestina yang perlahan coba dihilangkan, bahkan diputarbalikkan oleh Israel. Kisah hidup keluarga besar ibunya secara turun-temurun membuktikan upaya penghapusan populasi dan histori di tanah Palestina bukan isapan jempol belaka.
Lina memilih mengambil benang merah dari empat generasi perempuan dari garis ibunya tersebut, yakni nenek buyutnya, Um Ali, neneknya, ibunya, dan dirinya sendiri. Tiberias diambil sebagai judul karena nenek buyutnya berasal dari Tiberias.
Baca juga: Gaung Suara Dunia untuk Palestina di Qatar
Akibat peristiwa Nakba pada 1948, kakek dan nenek buyutnya beserta sembilan anaknya dipaksa meninggalkan kampung halamannya karena pendudukan Israel. Mereka kemudian pindah ke Deir Hanna, yang belakangan juga diduduki Israel. Namun, kali ini, keluarga nenek buyutnya bisa menetap di situ meski pada akhirnya, kakek buyut Lina meninggal akibat depresi karena tempat tinggalnya di Tiberias telah hancur.
Sementara itu, anak sulung kakek dan nenek buyutnya, Housnieh, terpisah dari mereka dan dibawa ke Suriah. Sejak hari itu, Housnieh terputus hubungan dengan keluarganya. Baru 30 tahun kemudian, ia bisa berkumpul karena bisa kembali masuk ke Palestina. Sepanjang hidupnya, Housnieh tinggal di kamp pengungsi.
Dalam film ini, muncul rekaman pertemuan Housnieh dengan ibu dan kakaknya setelah terpisah. Selain itu, Lina juga sengaja mengajak sang nenek untuk napak tilas rumah keluarga di Tiberias yang sudah tak bersisa. ”Letaknya persis di belakang masjid ini,” ujar Nemat sambil menunjuk sebuah bangunan masjid kecil berlumut yang masih berdiri.
Di sisi lain, ibu Lina, Hiam, memutuskan meninggalkan Palestina dengan berbagai cara untuk mengejar mimpi sebagai aktris. Hal yang saat itu tentu dinilai bukan jalan hidup yang wajar bagi perempuan Muslim di sana. Hiam menempuh berbagai cara hingga akhirnya sampai di Perancis dan memulai kariernya. Hiam masih aktif sebagai aktris. Bahkan, belum lama ini, ia terlibat sebagai salah satu pemeran di serial HBO, Succession.
Lina mengaku sempat kehilangan jati diri, karena di Perancis, tentu ia dianggap imigran. Namun, di Palestina, ia juga mengalami kebingungan karena lahir dan besar di Perancis. Akan tetapi, penerimaan dari keluarga ibunya menyadarkan dirinya adalah seorang Palestina yang punya kesempatan besar untuk menceritakan mengenai Palestina kepada dunia.
”Ini cerita tentang keluarga dan sangat personal. Setiap keluarga di Palestina pasti punya cerita juga. Semuanya berkaitan dengan dipaksanya mereka dicerabut dari akarnya, trauma, dan kehilangan yang tak bisa dibayangkan,” jelas Lina.
Kejadian di Gaza yang telah memakan puluhan ribu penduduk Palestina sejak akhir 2023, bagi Lina, adalah peristiwa berulang yang periodik terjadi. Orang-orang Palestina selalu dihantui kecemasan tentang kekerasan atau serangan yang kapan saja bisa terjadi dan memaksa mereka berakhir di tenda pengungsi.
Baca juga: Perempuan, Film, dan Ruang Aman
”Tentang serangan yang terjadi, buat saya, tak mengejutkan. Persoalannya ini terus-menerus terjadi, tetapi tidak ada yang bertindak untuk menghentikannya. Hanya saja, kali ini jumlah korbannya sampai sebanyak ini. Itu yang tidak masuk akal,” jelas Lina.
Film yang mewakili Palestina untuk masuk nominasi Academy Awards 2024 ini memang dominan membicarakan tentang keluarga besar Lina. Walakin, apa yang terjadi di tengah keluarganya sukar dilepaskan dari dampak okupasi Israel yang membabi buta tiap saat. ”Aku tidak pernah ingin meninggalkan keluargaku, tanah kelahiranku, tetapi ada mimpi yang dipaksa diberangus selama aku hidup di sini. Dengan berat hati, aku mencoba keluar,” ungkap Hiam di dalam film itu.
Bagi Lina, film ini merupakan memoar bagi keluarga. Meski secara tak langsung, ia juga menyadari dirinya mencoba merawat sejarah Palestina lewat cerita keluarganya. Di sisi lain, posisinya yang menetap di Perancis bersama ibunya merupakan berkat tersendiri karena ia bisa dengan bebas bertutur tentang Palestina tanpa intimidasi.
Trauma keluarga
Upaya menggarap dokumenter yang di dalamnya juga mengandung sejarah Palestina, diakui sutradara Mayar Hamdan, penuh tantangan. ”Kami bukan Al Jazeera yang mengabarkan detik ke detik, menit ke menit dengan fakta keras tentang apa yang terjadi. Kami ingin menyentuh banyak hati di berbagai penjuru dunia mengenai yang sebenarnya terjadi. Karena itu, pendekatan lewat keluarga menjadi opsi,” ungkap Mayar.
Ia dan rekannya, Shaima al-Tamimi dari Yaman, kini tengah menuntaskan film dokumenter tentang keluarga besar ayah Mayar berjudul The Myth of Mahmoud. Bedanya, keluarga besar Mayar mengambil jalan ke Doha, Qatar. Kurang lebih sudah 60 tahun keluarga besarnya hidup di Doha.
Pendekatan lewat keluarga menjadi opsi.
Perspektif yang diangkat olehnya adalah seputar dilema keluarganya untuk pindah atau tetap bertahan dan berjuang. ”Siapa yang tak ingin berjuang untuk tanahnya yang diambil paksa. Namun, kondisi makin tidak memungkinkan dari tahun ke tahun. Saat membuat film ini, rasanya memang seperti mengorek luka yang tak pernah sembuh dari tiap anggota keluarga. Namun, jika tak seperti ini, lama-lama kita bisa hilang dari sejarah,” tutur Mayar.
Atas dasar ini pula, sutradara Kamal al-Jafari juga berulang kali membuat film dokumenter tentang Palestina yang berasal dari kisah trauma keluarganya. Film teranyarnya adalah A Fidai Film. Sebelumnya, Kamal yang telah malang melintang menampilkan filmnya di Berlinale, Locarno, Venice, Toronto, dan Cannes membuat Port of Memory (2010), Recollection (2015), Un Unusual Summer (2020), dan Paradiso XXXI, 108 (2022).
Jika film sebelumnya, An Unusual Summer, bercerita tentang pengalaman keluarganya yang terus-menerus diganggu selama tinggal di rumahnya hanya karena mereka Arab Muslim, A Fidai Film membuka kotak ingatan masa kecilnya di Ramalah dan penghapusan arsip tentang Palestina dari Palestina Research Centre di Beirut pada 1982.
Siapa yang tak ingin berjuang untuk tanahnya yang diambil paksa. Namun, kondisi makin tidak memungkinkan dari tahun ke tahun.
”Kamu tidak pernah dianggap ada saat kamu adalah seorang Palestina yang tinggal di tanah kelahiranmu yang kemudian direbut Israel,” ungkap Kamal.
Pada suatu adegan, Kamal mendeskripsikan dirinya yang berusia 9 tahun berjalan berbaris di bawah tekanan tentara Israel bersama warga lainnya. Kala itu, sang ibu berupaya melindunginya dengan cara berjalan di depan dan menutupi cahaya matahari yang menyengat agar tak menimpa Kamal. Namun, saat tentara Israel mengetahuinya, Kamal dipisahkan dari sang ibu dan diminta menghadap dinding dengan kaki diangkat satu, sedangkan sang ibu dibiarkan terus berjalan.
”Kami lahir di situ, tetapi kami malah seperti pendatang di tanah kami sendiri. Karena itu, saya tidak akan berhenti untuk terus berkarya tentang tempat kelahiran saya dan membuka mata dunia. Mereka boleh menyembunyikan fakta, tetapi kami tak akan tinggal diam,” ujar Kamal yang kini tinggal di Jerman.
Dua film, yakni Bye Bye Tiberias dan A Fidai Film, merupakan hasil dari program inkubasi Qumra 2023 milik Doha Film Institute yang kemudian ditayangkan juga di Qumra 2024. Sementara itu, The Myth of Mahmoud masih dalam proses produksi di bawah asuhan Qumra.
Program Qumra menjadi momentum bagi para pembuat film berdarah Palestina untuk membagikan kisahnya kepada dunia. Di sela doa agar Palestina segera merdeka, mereka tak berhenti berkarya untuk menjaga asa lewat sejarahnya.