Di Atas Panggung Kekalahan Perempuan
Perempuan semestinya setara dengan laki-laki. Realitasnya tidak demikian.
Empat kaki kursi dialasi empat telapak tangan milik dua perempuan yang berada di samping kiri dan kanan. Terbayang rasa sakit tak terperi ketika kursi itu diduduki. Inilah panggung kekalahan perempuan.
Perempuan semestinya setara dengan laki-laki. Realitasnya tidak demikian. Penindasan terhadap perempuan masih saja terjadi dalam beragam manifestasinya, dan laki-laki yang menduduki kursi takhta kekuasaan.
Perupa Dian Suci (38) asal Kebumen, Jawa Tengah, yang kini menetap di Yogyakarta melukiskan situasi tersebut ke dalam lukisan yang diberi judul ”Who is: South, North, and Lord” (Siapa Selatan, Utara, dan yang Berkuasa/2022). Posisi selatan dan utara mengisyaratkan negara miskin (selatan) dan kaya (utara).
Lukisan dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 60 cm x 150 cm itu menjadi salah satu karya yang dipamerkan di Rumah Miring CGArtspace milik Christiana Gouw di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Karya ini ditampilkan dalam pameran duo Dian Suci bersama Gilang Fradika (36) bertajuk Tablo!. Pameran ini dibuka pada Sabtu (9/3/2024) dan akan berlangsung sampai 31 Maret 2024.
”Perempuan tidak pernah tahu keributan yang sesungguhnya terjadi atas perebutan kekuasaan. Yang jelas, perempuan selalu di bawah dan ditekan,” ujar Dian ketika hendak kembali ke Yogyakarta, keesokan hari, setelah pembukaan pameran.
Perbincangan pun menyuruk ke peristiwa kerusuhan tahun 1998, yang kemudian dikenal sebagai tahun reformasi. Di situ ada keributan yang menimbulkan banyak korban perempuan dalam pemerkosaan, pembakaran, hingga pembunuhan. Di balik kekejaman itu ada perebutan kursi kekuasaan. Tidak hanya menanggung rasa tak terperi atas telapak tangan yang digilas kaki kursi kekuasaan, nyawa perempuan banyak yang melayang.
”Ya... sudahlah. Kita semua tahu soal itu. Perempuan selalu dalam posisi yang rentan,” ujar Dian.
Masih dalam lukisan tadi. Dian meletakkan nampan berbentuk lingkaran yang mewadahi air dan sebutir telur di tengahnya. Ini sebuah metafora kehidupan seorang perempuan yang memiliki tugas mulia menjaga kelangsungan hidup manusia. Perempuan memiliki daya hidup seperti air dan benih kehidupan seperti telur.
”Ini sebuah ironi. Meskipun akan melahirkan generasi berikutnya, perempuan tidak pernah dijaga dengan semestinya,” ujar Dian, yang menuntaskan studi terakhirnya di jenjang S-1 Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Kita semua tahu soal itu. Perempuan selalu dalam posisi yang rentan.
Mikrofon
Hadir di kanvas lukisan Dian lainnya sebuah mikrofon yang dibungkus dengan kondom di depan tirai yang tersingkap di bagian tengahnya. Singkapan tirai ini membentuk simbol genital perempuan. Lukisan yang diberi judul ”When They All were Seated” (Ketika Semua Sudah Duduk/2024).
”Lewat lukisan ini saya ingin mengisyaratkan suara mikrofon dari suara laki-laki yang dibungkam. Ini memberi kesempatan bagi suara perempuan yang dilambangkan dengan tirai tersingkap untuk mengambil alih peran dominasi laki-laki,” ujar Dian.
Dian menuangkan gagasan tersebut dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 90 cm x 60 cm. Dian mencuatkan keberanian menerobos sesuatu yang mungkin saja masih dianggap tabu. Mikrofon dibungkus kondom. Di hadapannya, lubang tirai sedikit terbuka yang menjadi simbol vagina. Dian melukiskan situasi menjelang koitus, menjelang persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
”Saya hanya ingin memindahkan posisi laki-laki dan perempuan yang selama ini terjadi. Setidaknya, saya terus mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,” ujar Dian.
Bukan hal mudah untuk itu. Dian pun menyatakan ketidakmudahan itu ke dalam lukisan lain yang diberi judul ”It is the Gate Where We are Turning” (Ini Gerbang di Mana Kami Berbelok/2024). Lukisan ini menggunakan media cat minyak di atas kanvas berukuran 90 cm x 60 cm.
Dian melukiskan tampak belakang seorang perempuan menghadap sebuah dinding dengan lubang sempit bergambar bulan sabit di bawah lingkaran matahari. Tubunhya diimpit dua tembok. Ini menandakan, jalan yang harus ditempuh perempuan itu sempit dan membentur dinding di hadapannya.
”Perempuan itu kepentok dinding ketika ingin mencari jalan keluar dari setiap persoalan yang membelenggunya,” kata Dian.
Perempuan selalu dikalahkan laki-laki. Demikian Dian menyebutnya. Dan, Dian ingin berjuang demi kesetaraan. Perjuangan tidak akan pernah selesai. Perjuangan tidak bisa mengandalkan siapa yang menang dan menjadi penguasa.
Baca juga: Seni Media Baru Bagus Pandega
Perjuangan perempuan harus diwujudkan perempuan itu sendiri. Perempuan tidak boleh menjadi budak atas suatu harapan dan impian. Dian menuangkan satire ini ke dalam lukisannya yang diberi judul ”We are the Slaves of the Dream and the Hope” (Kami Budak Harapan dan Impian/2023) dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 100 cm x 100 cm.
”Kita sudah rusak dan ada keinginan untuk membenahi. Akan tetapi, ketika keinginan untuk berbenah itu muncul, sekarang ada lagi yang merusak,” kata Dian.
Dian berusaha menyembunyikan kata-katanya yang terkait dengan peristiwa politik kekinian; peristiwa terkait kemenangan pemilu, peristiwa terkait Orde Baru, dan sebagainya. Akan tetapi, Dian sudah berhasil memanggungkannya ke dalam lukisan-lukisan yang sedang dipamerkan.
Tidak terjebak karakter
Perupa Gilang Fradika yang juga menetap di Yogyakarta, melalui lukisan-lukisannya, ingin melihat proses dan kemungkinan interaksi antara manusia dan benda-benda yang menyertainya.
Manusia menata, mengolah, dan mengubah benda, termasuk benda dalam ketubuhan mereka, sesuai kebutuhan. Perlakuan itu menyadarkan kembali sikap dan yang membentuk lingkungan atas perilaku mereka.
”Ada banyak karakter saya munculkan ke dalam lukisan. Akan tetapi, saya tidak ingin menetap pada satu karakter. Saya tidak ingin terjebak pada satu karakter itu-itu saja,” kata Gilang.
Baca juga: Menjaring Kolektor Baru
Ada karakter sepasang tikus berteduh di bawah kelopak bunga yang sedang mekar. Lukisan dengan media cat minyak dan medium gel di atas kanvas berukuran 180 cm x 135 cm itu diberi judul ”Blooms” (Mekar/2024).
Ada karakter lain yang berdaun telinga seperti kelinci dalam lukisan Gilang yang diberi judul ”Burn” (Membakar/2024), dengan media cat minyak dan medium gel dalam dua panel kanvas masing-masing berukuran 180 cm x 153 cm.
Gilang mengajak kita untuk menyadari hasil interaksi manusia dengan benda di sekitarnya. Termasuk benda ketubuhan yang ada di dalam dirinya sendiri. Gilang dengan lugas menuangkan gagasan benda ketubuhan yang ada di dalam diri ke dalam lukisan yang diberi judul ”Skin to Skin #5”.
Di situ terlihat wajah yang begitu plastis. Ada perubahan struktur pada wajah tersebut dan mungkin saja ini hasil perilaku menata, mengolah, dan mengubah benda yang ada dalam ketubuhan kita.
Di akhir catatan kuratorial yang dituangkan Hendra Himawan dan Gintani Swastika begitu gamblang dinyatakan, kedua perupa, Dian dan Gilang, memberi ruang pelepasan sekaligus menelusuri kenyataan bahwa dunia ini seperti panggung sandiwara. Lewat aspek-aspek dramaturgi dan pemanggungan, keduanya menjemput kebebasan artistik mereka.
”Kedua pelukis menghadirkan tablo atas panggung dunia yang epik. Banyak hal yang tak tuntas, namun demikianlah drama kehidupan yang kita lihat dalam keseharian,” tulis Hendra dan Gintani.
Meski demikian, tablo-tablo itu memiliki perlawanan yang menggema. Perlawanan terhadap penguasa, kekuasaan, ataupun diri sendiri.