Perempuan, Film, dan Ruang Aman
Menyinggung isu perempuan dengan minimnya perempuan di balik layar film menjadi tantangan perkembangan film. Benarkah?
Perkembangan film baik di Indonesia maupun dunia terbilang positif. Dari segi tema dan isu, gaya penceritaan, hingga teknik sinematografi bertumbuh secara pesat. Bahkan, isu mengenai perempuan dari berbagai sisi dengan berbagai pemicunya bersahut-sahutan muncul.
Walakin, hal ini ternyata tak diikuti dengan penambahan jumlah perempuan yang menjadi pelaku di industri perfilman secara signifikan, baik di Indonesia maupun dunia. Akibatnya, sudut pandang banyak problem yang diangkat dalam film, termasuk mengenai isu perempuan, terkadang masih condong pada persepsi pikiran laki-laki.
Baca juga: Gaung Suara Dunia untuk Palestina di Qatar
Qumra 2024, salah satu tempat inkubasi bagi para bakat baru di industri perfilman yang berlangsung di Qatar pada 1-6 Maret 2024, mencoba ikut urun memantik peningkatan keterlibatan perempuan di industri perfilman. Dari 40 proyek yang terdiri dari film dokumenter, film narasi, film pendek, dan serial di Qumra 2024, hampir separuhnya dijalankan oleh perempuan, baik sebagai sutradara maupun produser.
Hend Bakr, sutradara film dokumenter berjudul In the Shade of the Royal Palace (Dwellers of the Cabins), berpendapat, penting perempuan terjun di industri perfilman. Terlebih, kini pintu makin terbuka bagi perempuan untuk bisa menampilkan karyanya di layar lebar.
”Dulu, perempuan dicari untuk tampil di depan layar. Tapi, sekarang, perempuan juga patut memperoleh kesempatan yang sama untuk berada di balik layar. Aku cukup bersyukur selama beberapa tahun ini tak ada kendala yang berarti ketika aku berkarya, malah aku memperoleh banyak dukungan,” ungkap Hend ketika berbincang dalam kegiatan Qumra Working Group di Museum of Islamic Art, Qatar, Minggu (3/3/2024).
Sutradara asal Mesir yang semula mengambil pendidikan sejarah Islam ini banting setir untuk membuat film karena mengaku suka menulis cerita. Ia kemudian belajar pembuatan film di Jesuit Cinema School di Alexandria, Mesir. Pada 2013, ia ikut serta menjadi sutradara, penulis skenario, dan produser dalam film omnibus berjudul The Mice Room.
Perempuan, saya yakin, bisa melalui itu semua. Tapi, lingkungan di dalam industrinya yang sering menjadi ganjalan. Bagi saya, itu menjadi momen untuk membuktikan diri.
Tahun lalu, ia baru merampungkan film dokumenter pertamanya berjudul The Tedious Tour of M yang masuk ke sejumlah festival film. Di sini, Hend yang juga mendirikan rumah produksi Rufy’s Film bertindak sebagai sutradara dan produser. Begitu pula untuk film dokumenter keduanya yang masuk ke Qumra 2024 ini, ia kembali melakoni dua tanggung jawab sekaligus.
Hend mengakui, tantangan bagi perempuan di industri film adalah kemampuan bertahan di lingkungan industri film yang kadang kala masih memandang perempuan sebelah mata. Sebab, peluang belajar dan membuat film sesungguhnya terbuka lebar, termasuk di Mesir.
Ia menyinggung, di masa-masa awal, ia rela menyisihkan sebagian uang untuk membiayai filmnya. Baru perlahan, ia aktif mencari pendanaan melalui program semacam Qumra dan lain-lain. ”Itu jelas membutuhkan kesabaran dan ketahanan. Perempuan, saya yakin, bisa melalui itu semua. Tapi, lingkungan di dalam industrinya yang sering menjadi ganjalan. Bagi saya, itu menjadi momen untuk membuktikan diri,” ujarnya.
Hal serupa disampaikan Tina Tisljar dari Kroasia. Ia menjadi produser untuk film berjudul Celebration yang saat ini sudah masuk tahap akhir produksi. Lewat rumah produksi Eclectica di Kroasia, ia telah membidani sejumlah film yang kemudian rutin didaftarkan agar bisa tampil di festival film.
”Jumlah perempuan yang menjadi produser di Kroasia cukup banyak, walau masih tetap sedikit lebih banyak laki-laki. Berbeda dengan sutradara, dominasinya memang masih pada laki-laki,” kata Tina.
Kendati demikian, ia berpandangan, keberadaan sekolah film yang sedikit dan tiap tahun hanya melahirkan setidaknya enam pelaku industri perfilman menjadi salah satu kendala di Kroasia. Akan tetapi, belakangan produktivitas para pembuat film tengah meningkat dengan jumlah pelaku yang tidak terlalu masif.
Ruang aman
Mengacu pada data yang dikeluarkan Celluloid Ceiling Study dari San Diego State University, hanya ada 25 persen perempuan yang dilibatkan di balik layar secara keseluruhan untuk 250 film berpendapatan tinggi di Amerika Serikat sepanjang 2021. Secara spesifik, jumlah perempuan sutradara sebanyak 17 persen dan produser 32 persen.
Baca juga: Emosi yang Tak Buru-buru
Kondisi tak jauh berbeda terjadi di Eropa pada 2021. Berdasarkan data dari European Audiovisual Observatory’s Lumiere, jumlah perempuan sutradara hanya 25 persen dan produser tercatat 34 persen. Di sisi lain, analisis dari sini juga menemukan perempuan yang menjadi pelaku industri perfilman di Eropa condong menggarap film dokumenter.
Di Indonesia, keadaannya juga mirip. Melalui pengumpulan dan analisis data terpilah-jender dalam industri film yang dilakukan Asosiasi Pengkaji Film (Kafein) per tahun 2020, terbitlah buku Menuju Kesetaraan Gender Perfilman Indonesia yang ditulis Sazkia Noor Anggraini. Dalam buku ini, jumlah perempuan sutradara Indonesia selama satu dekade, yakni 2010-2020, sebanyak 11 persen dan produser 25 persen.
Profesi lain di balik layar, seperti penulis skenario, penata suara, dan editor, juga tak banyak dilakukan perempuan. Akan tetapi, pascareformasi, angkanya jelas meningkat.
Sazkia dalam bukunya pun menyebutkan, advokasi dan analisis yang dilakukan ini bukan semata-mata untuk memperoleh keseimbangan jender yang sempurna. Namun, harapannya, dengan masuknya para perempuan dalam ranah teknis film, representasi dan suara menjadi lebih berimbang dalam produksi film.
Keterbukaan peluang untuk belajar membuat film diharapkan juga diikuti dengan perkembangan lingkungan film yang lebih inklusif dan aman dari aneka kekerasan, baik fisik maupun seksual. Ruang aman merupakan sesuatu yang diperlukan agar perempuan tidak enggan untuk berpartisipasi di balik layar.
”Bukan mereka tidak mau, tapi ada hal-hal yang kemudian membentengi para perempuan untuk melangkah maju karena lingkungan yang didominasi pria ini masih kurang memberikan rasa aman. Padahal, banyak perempuan yang potensial menghasilkan film bermutu sejauh perjalanan saya ini,” tutur ahli pemasaran film dari Polandia, Joanna Solecka, yang rutin menjadi mentor pada Qumra.
Tahun lalu, Joanna turut mengampu sutradara Lina Soualem dengan film Bye Bye Tiberias. Ia juga menyinggung Indonesia yang memiliki sejumlah perempuan di balik layar film dengan karya memukau, antara lain Kamila Andini sebagai sutradara dan Yulia Evina Bhara sebagai produser. ”Semestinya, perempuan makin eksis di industri film karena terbukti sentuhan mereka menghasilkan film yang berkualitas dan punya suara,” ujarnya.