Emosi yang Tak Buru-buru
Ketika saling kenal, seseorang bahkan berani berkorban demi kepentingan orang yang dia kenal itu.
Ungkapan bahwa setiap orang memiliki pertempurannya masing-masing, menemukan relevansinya dalam film The Holdovers. Film ini menarik, antara lain, karena perkembangan karakter dan pertumbuhan emosinya. Nilai-nilai penting merasuk pelan-pelan tanpa adegan yang menggurui.
The Holdovers ber-setting tahun 1970-1971, berkisah tentang seorang guru galak serta dibenci para siswa dan guru lain, Paul Hunham (Paul Giamatti), yang mendapat tugas menjaga seorang siswa bengal, Angus Tully (Dominic Sessa), di sebuah asrama sekolah di musim dingin menjelang Natal. Siswa lain pulang di musim liburan itu. Bagi Hunham, ini bukan tugas yang menyenangkan, tetapi harus dia jalani. Begitu pula Tully yang terpaksa harus tinggal di asrama gara-gara ibu dan ayah tirinya harus berbulan madu dan tak mau diganggu.
Relasi Hunham dan Tully dibangun atas dasar emosi kecewa, amarah, dan kesepian sehingga mereka mudah sekali menciptakan pertengkaran meskipun hanya dipicu oleh hal-hal kecil. Hunham yang dikenal sebagai guru galak, disiplin, kaku, dan menjengkelkan itu menjadi neraka bagi Tully. Sebaliknya, Tully yang dinilai para guru, termasuk oleh Hunham, sebagai anak orang kaya yang manja, menjadi beban bagi Hunham. Dalam konteks itu, Hunham kerap memanfaatkan relasi kuasa sebagai guru untuk mencegah Tully melakukan hal-hal yang menyenangkan atau sekadar membunuh waktu di tengah kesepian.
Baca juga: Bonnie, Anak Perempuan Melawan Penindasan
Di tengah interaksi berbalut kebencian itu, ada Mary Lamb (Da’Vine Joy Randolph), seorang janda yang baru saja ditinggal gugur anak semata wayangnya di medan perang. Kini dia sendirian. Dia berada di asrama itu karena bertugas sebagai manajer kantin dan tak ikut berlibur karena selain masih berduka juga tak tahu harus berlibur ke mana. Mary bisa dibilang menjadi penengah antara Tully dan Hunham. Dalam relasi emosi negatif ”benca dan benci” itu, Mary menyerap emosi tersebut dan menawarkan alternatif-alternatif lain. Misalnya, dia membujuk Hunham untuk bersikap agak lunak terhadap Tully, begitu pun sebaliknya. Meskipun pada titik tertentu Mary memang butuh mereka sebagai teman berduka.
Film ini menarik juga lantaran sutradara Alexander Payne amat sabar dan telaten membangun jalinan cerita, terutama dalam menyingkap helai demi helai lembaran hidup setiap tokoh. Lembaran itulah yang mendasari kenapa Hunham bersikap galak dan sok disiplin atau kenapa Tully cenderung melanggar aturan.
Baca juga: ”Bob Marley: One Love”, Jalan Reggae Menuju Perdamaian
Tully kerap mengatakan bahwa ayahnya telah mati dan ibunya menikah lagi. Dia merasa dibuang oleh ibunya dengan sengaja memintanya untuk tetap tinggal di asrama, sementara teman-temannya sedang berlibur. Rasa rindu kepada ibunya perlahan berubah menjadi benci yang dia simpan diam-diam.
Payne sadar atau tidak, menggunakan kerangka mechanism of defense atau mekanisme pertahanan diri ala Sigmund Freud dalam mengelola emosi para tokoh. Yang dilakukan Tully jelas merupakan salah satu manifestasi dari mekanisme pertahanan diri itu yang, antara lain, berupa penyangkalan (denial), ini menyangkut fakta ayah kandungnya. Selain itu, proyeksi (projection), yakni sikap menyalahkan orang lain atas masalah yang dia hadapi.
Memang, siapa pun tidak pernah dapat menyembunyikan emosi secara sempurna. Dia akan muncul dalam bentuk perilaku yang malah mengundang orang lain untuk menebak bahwa seseorang tidak sedang baik-baik saja. Inilah formulasi Payne dalam mengatur alur drama The Holdovers. Kejadian-kejadian kecil dalam film ini pelan-pelan mengungkap masa lalu setiap tokoh. Bukan hanya diungkap kepada penonton, melainkan juga kepada antartokoh.
Hunham akhirnya tahu kompleksitas masalah yang dihadapi Tully sehingga dia cenderung berperilaku antisosial. Tully pun pelan-pelan paham jati diri Hunham lewat peristiwa demi peristiwa yang membuatnya berkesimpulan bahwa gurunya itu tidak sedang baik-baik saja sehingga butuh ditemani. Pengungkapan jati diri itu lambat laun memunculkan simpati, empati, dan peduli. Ini adalah puncak dramanya karena ketika mereka pada posisi saling dukung, justru masalah lain muncul, yakni masalah yang bersumber dari orang-orang yang tak tahu pertempuran yang dihadapi Tully maupun Hunham.
Setidaknya kini Hunham maupun Tully tidak sendirian menghadapinya. Pesannya amat jelas, seberat apa pun beban hidup ini, akan lebih ringan jika dihadapi bersama orang yang peduli. Bukan bersama orang-orang yang seolah peduli, tapi ternyata hanya memanfaatkan kita untuk kepentingan dia, kekuasaan, misalnya.
Kekuatan akting
Sebenarnya dari sisi cerita, film ini tidak istimewa, tetapi menjadi menarik lantaran permainan emosi dan permainan watak para pemeran. Layak jika film ini mendapat lima nominasi, antara lain untuk Aktor Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik, dan Film Terbaik. Adu peran antara Da’Vine Joy Randolph, Paul Giamatti, dan Dominic Sessa menjadi kunci.
Randolph sudah berulang kali mendulang pujian atas aktingnya, baik di film-film muram maupun ceria. Sepanjang kariernya, setidaknya sudah 41 kali memenangi penghargaan, mulai dari Astra Film Awards sampai Kansas City Film Critics Circle. Sebagian besar, yakni 34 penghargaan, dia peroleh dari film The Holdovers. Itu masih ditambah sebagai nomine piala Oscar untuk kategori pemain pendukung terbaik. Aktingnya mulai mencuri perhatian dalam film Dolemite Is My Name ketika dia berperan sebagai Lady Reed.
Adapun di film The Holdovers, Randolph menunjukkan kualitas perannya sebagai perempuan pemurung, cenderung pemarah, dan kadang tantrum, tapi sangat peduli pada sesama, terutama kepada Tully dan Hunham. Rentang emosi itu dia mainkan dengan sangat baik sehingga tidak terasa ada yang mengganjal, natural.
Baca juga: Dobrakan Perempuan dari ”Madame Web”
Peran lebih menantang sebenarnya dipegang Giamatti. Dia harus tampil sebagai sosok yang menyebalkan dan cenderung nirempati, manipulatif, lalu sosok yang peduli, sampai rela berkorban. Spektrum emosi yang amat luas itu dia tampilkan dengan meyakinkan. Momen-momen puncak ketika dia menjadi kunci adegan, sungguh dia perankan dengan genius sehingga film ini tidak kehilangan orientasi narasi maupun emosi.
Kematangan Giamatti itu dalam beberapa level diimbangi dengan baik oleh Dominic Sessa. Bisa dibilang dia anak bawang dibanding Randolph, apalagi Giamatti. The Holdovers adalah debutnya di layar lebar. Namun, Payne sebagai sutradara menemukan fakta bahwa Sessa cepat belajar dan begitu natural dalam berakting. Randolph turut membantu membuatnya gampang masuk ke dalam adegan demi adegan, sementara Giamatti banyak memberinya motivasi untuk selalu percaya diri. Tampaknya itu tak sia-sia karena Sessa memang tampil meyakinkan meskipun dalam Oscar kali ini, dia tak masuk sebagai nomine. Ikatan kimia tiga pemain itu menjadi kunci film bernuansa manis getir (sweetbitter) ini enak dinikmati.