Akulturasi Memberi Kekayaan
Pameran ”Merayakan Kebersamaan” sama halnya merayakan kehidupan.
Tidak lama lagi perupa asal Betawi, Sarnadi Adam (67), akan memamerkan karya-karya lukisan perempuan bergaun khas Betawi-nya di Paris, Perancis, dan Argentina. Sebelumnya, ia rutin dua tahun sekali diminta berpameran di Belanda. Sarnadi meyakinkan, akulturasi di Jakarta pada masa silam memberi kekayaan tersendiri.
Sarnadi bertutur tentang percampuran budaya yang terjadi pada abad ke-16 di Batavia, sekarang Jakarta. Akulturasi berlangsung antara budaya masyarakat lokal dengan bangsa Arab dan China. Perpaduan budaya itu kian kompleks setelah hadir bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Dari situlah budaya Betawi lahir.
”Pada mulanya, kekayaan itu tidak saya sadari ketika saya memutuskan ingin melukis budaya Betawi. Saya kembali ke Jakarta setelah menempuh studi seni rupa di Yogyakarta,” ujar Sarnadi, menjelang pembukaan pameran seni rupa ”Merayakan Kebersamaan” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis (22/2/2024).
Sarnadi menempuh studi seni rupa jenjang S-1 di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sejak 1979. Ia menuntaskan studinya sampai jenjang S-3 di almamaternya hingga 2017 dan kembali ke Jakarta. Selain melukis, Sarnadi kemudian mengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). ”Saya merasa terpanggil untuk kembali ke budaya Betawi,” ujarnya.
Perkembangan pesat di Jakarta sebagai ibu kota negara nyaris tak menyisakan budaya Betawi. Hasil akulturasi berbagai entitas budaya bangsa di abad ke-16 itu terkikis modernitas kekinian.
Baca juga: Ekspresi Cinta Tanpa Syarat
Untuk melihat jejak orisinalitas Betawi sebagai hasil akulturasi di masanya, Sarnadi mengunjungi wilayah yang dikenal sebagai kawasan China Benteng di Tangerang, Banten. Ia sering tinggal berhari-hari di situ, terutama ketika ada hajatan. Masyarakat China Benteng masih mengenakan atribut pakaian lokal yang khas, yang disebut juga khas Betawi, terutama ketika membawakan tarian tradisional cokek.
Sarnadi melihat banyak generasi muda sudah tak bisa menikmati tarian cokek yang terkesan sederhana dan diulang-ulang. Kostum yang dikenakan juga terlihat sederhana meski dengan warna sangat mencolok.
Sarnadi tergerak mengabadikan ke atas kanvasnya. Di pameran ”Merayakan Kebersamaan”, Sarnadi menampilkan tiga lukisan, yakni ”Dua Penari Cokek di Depan Pintu Tradisional” (2021), ”Empat Penari Cokek Menuju Tempat Pentas” (2022), dan ”Dialog Tujuh Penari Cokek” (2022). Lukisan ketiga menampilkan busana perempuan berkain dan berkebaya dengan warna mencolok.
Sarnadi saat ini sudah berkeliling negara-negara di Eropa untuk memamerkan lukisan perempuan Betawi tersebut. Di Amerika Serikat ia pernah memamerkan di New York dan didatangi salah satu pengelola museum dari Argentina. Dialah yang kemudian meminta Sarnadi untuk berpameran di Argentina.
Ternyata, hampir semua makanan yang saya kira sebagai makanan khas Jawa ada di pasar tradisional kota Nanning tersebut. Makanan-makanan khas Jawa itu ternyata berasal dari China.
Selain karya Sarnadi, pameran di BBJ ini menampilkan karya 10 perupa lain, yakni AC Andre Tanama, Fatih Jagad Raya Aslami, Galuh Taji Malela, Hanny Widjaja, Nisan Kristiyanto, Putu Sutawijaya, Sidik W Martowidjojo, Syakieb Sungkar, Teguh Ostenrik, dan Vy Patiah. Pameran berlangsung hingga 29 Februari 2024, dibuka oleh aktris Olga Lydia.
Semangat kebersamaan
Pameran ”Merayakan Kebersamaan” ini merupakan upaya menjaga semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan memungkinkan terjadinya akulturasi yang memadukan berbagai entitas budaya dan melahirkan budaya baru sebagai kekayaan tersendiri.
Kurator pameran Frans Sartono menyebutkan, kebersamaan menumbuhkan pergaulan dan ruang tumbuh bersama. Dari situ muncul respons satu sama lain, tawar-menawar suatu tindakan yang bersifat kolektif. Misalnya, ketika kuliner rendang masyarakat lokal Padang dirasakan oleh masyarakat pendatang China begitu berat. Masyarakat China merespons dengan membuat rendang yang terasa lebih ringan.
”Di Padang terlahir pula bahasa Minang Pondok yang terpengaruh dialek orang China. Ada proses adaptasi,” kata Frans.
Kebersamaan itulah yang melahirkan dialog kultural. Di situ ada tawar-menawar gagasan. Perubahan secara kolektif bisa melekat dalam rentang waktu lama dan samar asal muasalnya. Seperti dikatakan Teguh Ostenrik yang sudah mengunjungi China enam sampai tujuh kali untuk mengajar seni rupa atau menjadi juri kompetisi seni rupa di sana.
”Ketika saya menjadi juri sebuah kompetisi seni rupa anak muda di kota Nanning, di sela menyeleksi pemenangnya, saya menerima undangan makan malam dari seorang pejabat pemerintahan di sana,” tutur seniman asal Surakarta, Jawa Tengah, ini.
Teguh diajak mengunjungi sebuah pasar tradisional di Nanning. Ia pun kaget ketika menjumpai makanan tradisional di sana banyak yang mirip makanan tradisional di Jawa. Semula, ia menyangka makanan ringan seperti lemper, semar mendem, carabikang, dan sebagainya merupakan makanan asli dan khas Jawa.
”Ternyata, hampir semua makanan yang saya kira sebagai makanan khas Jawa ada di pasar tradisional kota Nanning tersebut. Makanan-makanan khas Jawa itu ternyata berasal dari China,” ujar Teguh, yang di pameran ini menampilkan video seni hasil olahan digital membentuk topeng kayu dengan judul ”Alur Harmoni”.
Peristiwa itu menunjukkan adanya akulturasi budaya China di Jawa. Bahkan, akulturasi yang sudah lama itu sampai-sampai menyamarkan asal muasal suatu tradisi dari budaya yang datang dari tempat lain.
Merayakan kebebasan
Pameran ”Merayakan Kebersamaan”juga diniatkan untuk merayakan tahun baru Imlek yang jatuh pada 10 Februari 2024. General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia Ilham Khoiri menjelaskan, pameran ini sekaligus merayakan kebebasan warga peranakan China selama 23 tahun setelah diperbolehkan kembali merayakan hari raya tersebut.
Di situlah kritik sosial yang ingin saya sampaikan. Di saat perayaan tahun baru Imlek, masih banyak anak yang tidak bisa turut merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya.
Ilham mengisahkan, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 untuk mengizinkan kembali perayaan Imlek di Indonesia. Bahkan, Imlek ditetapkan sebagai hari libur fakultatif, yang berlaku bagi mereka yang merayakannya. Pada 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri resmi menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional.
”Peristiwa ini menjadi penanda keterbukaan bangsa Indonesia. Tak ada lagi diskriminasi bagi peranakan China. Komunitas ini dirangkul sebagai bagian dari anak bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara,” ungkap Ilham.
Perupa Nisan Kristiyanto menampilkan semiotika keterbukaan tersebut lewat tiga lukisan karyanya yang diberi judul ”Memaknai Bunga-bunga (Menyambut Musim Semi/2022)”. Dua karyanya melukiskan bunga flamboyan yang bermekaran. Satu karya lain melukiskan alam dengan warna monokromatik hitam, tetapi ada bunga-bunga berwarna merah yang rontok di rerumputan.
Baca juga: Peleburan Diri Karya Seni
”Bunga flamboyan bermekaran saat musim hujan seperti saat perayaan Imlek yang menyambut musim semi,” kata Nisan.
Lewat pameran merayakan kebebasan dan kebersamaan, kritik sosial pun dilontarkan melalui lukisan karya Syakieb Sungkar. Lukisannya dengan judul ”Bagi-bagi Angpau” menyiratkan peristiwa kebahagiaan sebagian orang yang menerima angpau. Orang-orang itu ada di atas meja. Di sisi lain, Syakieb melukiskan anak-anak yang berada di bawah sedang memperebutkan satu angpau yang terjatuh.
”Di situlah kritik sosial yang ingin saya sampaikan. Di saat perayaan tahun baru Imlek, masih banyak anak yang tidak bisa turut merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya,” kata Syakieb.
Pameran ”Merayakan Kebersamaan” sama halnya merayakan kehidupan. Di situ akan selalu ada dua hal bertolak belakang yang berjalan beriringan.