Ekspresi Cinta Tanpa Syarat
Terkait Hari Valentine, para seniman mencoba menggambarkan narasi cinta tanpa syarat.
Sejumlah 23 anak muda berkumpul dengan pilihan jalan hidup menjadi seniman, fotografer, penulis, dan desainer. Terkait Hari Valentine, mereka mengekspresikan cinta tanpa syarat dan menuangkannya ke dalam karya seni rupa yang menggetarkan.
Ada yang mengemas seni instalasi 10 lukisan dengan media campuran di atas kertas membentuk mandala atau melingkar tanpa ujung. Seni instalasi karya Yunara (Wina & Yusha) itu diberi judul ”Float (Inf)”. Mereka sepasang kekasih yang mencoba memaknai bahwa cinta tanpa syarat adalah cinta yang tanpa awal dan akhir, seperti mandala.
Berbeda dengan Camilla Astari. Ia melukis gugusan awan berarak sebagai metafora indahnya cinta. Di masa tertentu muncul bulan sabit seperti menyobek awan. Camila ingin bercerita, bulan sabit itu juga cinta, sekaligus luka. Cinta yang tanpa syarat adalah kesanggupan menerima luka. Cinta tanpa syarat diawali dengan mencintai diri sendiri, meski di situ juga penuh luka.
Masih seputar soal cinta itu luka. Prajna Dewantara Wirata melukis ketubuhan seorang perempuan. Ia memakai model berbusana. Akan tetapi, ketika melukis, Prajna menggunakan imajinasinya untuk menanggalkan busana model perempuan tadi. Jadilah, seri lukisan dengan media cat akrilik di atas kanvas yang diberi judul ”Bloom in Gloom I–V”. Prajna melukiskan keindahan tubuh- tubuh perempuan menggeliat itu sebagai cinta, sekaligus luka.
Sebanyak 24 pigura berisi sepotong daun kering atau bunga kering dihadirkan Bagus Ari Saputra. Setiap bingkai diberi kata-kata puitik yang menyiratkan cinta tanpa syarat.
Baca juga: Peleburan Diri Karya Seni
Sejumlah karya ini ditampilkan di ruang seni Creativite Indonesia, Neha Hub, di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Pameran bertajuk Unconditional Love(Cinta Tanpa Syarat) itu berlangsung pada 17 Februari sampai 17 Maret 2024.
”Pameran ini dipersiapkan selama 1,5 bulan lamanya. Ketika itu diawali perbincangan bagaimana memaknai Hari Valentine tahun 2024 yang bertepatan dengan pemilihan umum,” ujar Gie Sanjaya, kurator pameran Unconditional Love, Jumat (16/2/2024), sehari menjelang pembukaan pameran tersebut.
Gie pada Jumat malam itu mempertemukan Kompas dengan empat dari 23 peserta pameran yang masih bertahan di ruang pamer itu. Sebanyak 23 peserta berasal dari Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Mereka diajak bercerita tentang dunia mereka, dunia anak muda yang diwarnai romantika dan perasaan cinta.
Luka
Perasaan cinta tidak selamanya memberikan suasana atau peristiwa yang indah dan menyenangkan untuk dijalani. Ada luka yang mengiringi cinta dan luka itu ternyata bisa menciptakan energi tersendiri. Energi ini bisa diluapkan, salah satunya untuk melukis.
”Saya penyintas kekerasan seksual dan selalu merasakan luka itu. Akan tetapi, dari rasa luka itu lahirlah inspirasi-inspirasi melukis seperti ini,” ujar Prajna, yang menempuh studi seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Lukisan Prajna mengulik sisi keindahan tubuh perempuan. Di satu sisi, keindahan memberikan tawaran sukacita dan membahagiakan. Di sisi lain, keindahan sekaligus kerapuhan yang mudah mendatangkan luka.
Cinta tanpa syarat adalah sebentuk kebijaksanaan Ilahi yang menyentuh ruang terdalam dari diri kita. Cinta tanpa syarat itu memberi kehangatan yang tidak memandang perbedaan.
Prajna mendefinisikan karya-karyanya itu demikian. Mungkin hidup ini bukan persoalan bagaimana menghindari luka. Mungkin saja hidup ini adalah upaya mengumpulkan bekas-bekas luka. Ada kekacauan dan penderitaan di dalam hidup ini.
”Pakailah air mata seperti perhiasan. Sebuah permata yang indah tidak bisa dipoles tanpa merasakan gesekan,” kata Prajna.
Begitu pula, gesekan dalam kehidupan manusia. Gesekan-gesekan itulah yang akan menyempurnakan hidup manusia.
Luka bagi setiap manusia akan selalu ada. Bagi Prajna, luka semestinya diubah menjadi kebijaksanaan. Di situlah keindahan akan menang. Keindahan atau sebuah kecantikan akan membawa penghiburan. Ketika penghiburan mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan, maka hidup menjadi layak untuk dijalani. Begitu mendalam ungkapan-ungkapan Prajna ini.
Lain halnya, Camilla Astari menyinggung persoalan luka dalam hidupnya sebagai pilihan yang tidak pernah peduli dan cinta terhadap dirinya sendiri. Dimensi luka bagi Camilla cukup personal, dan ia memutuskan luka harus ditutup dengan cinta terhadap diri sendiri. Cinta terhadap diri sendiri inilah cinta tanpa syarat.
Cinta tanpa awal dan akhir pada karya hasil kolaborasi Wina & Yusha mengibaratkan seperti aliran air. Dari susunan 10 lukisan membentuk mandala tadi, mereka melukiskan cinta seperti air yang mengalir di selang yang meliuk-liuk. Akan tetapi, air yang ada di dalamnya dalam keadaan berbeda warna.
Pada mulanya, mereka menginginkan pameran seni rupa ini bukanlah seperti pameran seni rupa lainnya yang serius-serius itu. Pada akhirnya, tetap saja ini sebagai pameran anak muda yang cukup serius.
Cinta menjadi perpaduan air yang berbeda warna. Ketika bertemu, di titik temu itulah mungkin terjadi peleburan warna. Satu sama lain bisa terpengaruh dan memengaruhi. Akan tetapi, air yang jauh dari titik peleburan tetap pada warna masing-masing. Cinta seperti aliran air yang tetap menghargai warna-warni masing-masing.
Labirin kehidupan
Gie memberikan catatan bagi kurasinya. Ia meletakkan cinta tanpa syarat sebagai kekuatan dalam labirin kehidupan yang dilalui semua orang. Cinta tanpa syarat itu bahkan dibahasakan Gie sebagai kebijaksanaan Ilahi.
”Cinta tanpa syarat adalah sebentuk kebijaksanaan Ilahi yang menyentuh ruang terdalam dari diri kita. Cinta tanpa syarat itu memberi kehangatan yang tidak memandang perbedaan,” ujar Gie.
Bagi Gie, setiap peserta pameran berhasil menyuguhkan kreasi yang menciptakan ruang refleksi. Setiap karya yang ditampilkan mampu mengajak penikmatnya untuk merenung. Penikmat diajak untuk merenungkan adanya kekuatan luar biasa dari cinta yang tanpa syarat.
”Pameran ini simfoni visual yang mengeksplorasi cinta beraneka segi. Ini sebuah rajutan benang untuk membangkitkan cinta yang menumbuhkan inklusivitas, empati, dan rasa tanggung jawab,” kata Gie.
Lebih jauh lagi, harapan Gie melalui pameran ini adalah untuk merayakan keajaiban cinta tanpa syarat dalam menghadirkan dunia yang lebih damai. Cinta tanpa syarat dapat menghadirkan ruang bertumbuh dan berkembang yang menghargai keberagaman.
Selebihnya, deretan nama peserta pameran Unconditional Love ini meliputi Aila Affandi, Alienpang, Bani Arbieta Amir, Demas Fajar Ariya, Fachriza Jayadimasyah, Felisa Tan, Ferdy Thaeras, Gracia Veronica, Intan Anggita Pratiwie, Lampurio, Mira El Amir, Natasya Kamalia. Berikutnya, Nirwan Sambudi, Rio Setia Monata, Tempa, Tulus Mulia, Vindy Ariella, Vonny Ratna Indah, dan Walid Syarthowi Basmalah.
”Pada mulanya, mereka menginginkan pameran seni rupa ini bukanlah seperti pameran seni rupa lainnya yang serius-serius itu. Pada akhirnya, tetap saja ini sebagai pameran anak muda yang cukup serius,” kata Gie.
Baca juga: Lukisan Kaca Menanti Hidup Kembali
Selintas terlihat ada upaya menampilkan karya-karya supaya terlihat menjadi ringan dan santai. Akan tetapi, ketika mengikuti alur narasinya, ternyata tidak juga ringan dan santai. Seperti karya Alienpang yang dituangkan dalam bentuk kipas besar.
Salah satu karya Alienpang itu diberi judul ”Pertukaran Jiwa”. Karya seni yang dicetak di atas kain sutra ini bertolak dari kucing piaraannya bernama Apoy Iamachine, yang ditengarai bisa mengendus roh jahat atau roh baik.
Memang tercipta kesan yang ringan dan santai. Akan tetapi, ruang refleksi yang diberikan terasa berat juga dengan pertanyaan yang dilontarkan Alienpang. Ia memberikan pertanyaan, apa yang terjadi jika sembilan nyawa kucing ditukar dengan satu nyawa manusia yang memiliki karakter mirip?
Pameran Cinta Tanpa Syarat pada akhirnya menyuguhkan ruang kontemplasi dari anak muda untuk siapa saja.