Peleburan Diri Karya Seni
Sejumlah seniman kini mengadaptasi teknologi rantai blok digital pada NFT untuk dikombinasikan dengan karya fisik.
Belakangan ini nilai mata uang kripto untuk produk seni digital non-fungible token atau NFT mulai merangkak naik. Bukan lantaran itu saja, sejumlah seniman kini mengadaptasi teknologi rantai blok digital pada NFT untuk dikombinasikan dengan karya fisik atau konvensional.
Pencatatan karya secara digital lewat teknologi rantai blok pada NFT di antaranya dimanfaatkan untuk sertifikasi karya lukisan konvensional atau ikatan kontrak royalti. Sejumlah seniman dari beberapa daerah menampilkan adaptasi ini ke dalam pameran bertajuk Phygital Art Show: ArtGorithm - Art in Chain, di Galeri Zen1, Jakarta.
Pameran berlangsung pada 3-24 Februari 2024. Pilihan kata ”phygital” mengacu pada akronim ”physic and digital” (fisik dan digital).
Baca juga: Pasar Kripto Diprediksi Makin Membaik pada 2024
Salah satu peserta, Yahya Rifandaru (43), mengungkapkan, perolehan nilai mata uang kripto pada Agustus 2023 di kisaran 1 ethereum setara dengan Rp 25 juta-Rp 30 juta. Pada Februari 2024, sudah merangkak naik dengan nilai 1 ethereum setara dengan sekitar Rp 43 juta.
”Pada 2020, saya mulai mengundurkan diri dari pekerjaan di bidang desain. Saya melanjutkan menjadi seniman dan mulai mengikuti NFT. Hingga sekarang sudah lebih dari 50 karya terjual di NFT,” ujar Yahya, pria asal Kudus yang kini menetap di Tangerang, Kamis (15/2/2024).
Ketika bekerja di bidang desain, Yahya mengamati persoalan NFT lewat media sosial Twitter. Di situ, ia mengetahui bahwa karakter para kolektor global menyukai karya seni yang dibuat para seniman asal Indonesia yang dinilai lebih menarik serta memiliki konten lebih variatif.
Baca juga: Vakansi Seni Rupa di Jakarta
Menurut Yahya, setiap karya yang diminati dan dibeli kolektor karena related atau memiliki keterhubungan. Ia mencontohkan, pada saat mengikuti pameran Art Moment di Jakarta, Agustus 2023, ia menyertakan karakter karya yang dijual secara gabungan NFT dan konvensional.
Meskipun karya itu terkesan bergaya abstrak, Yahya memasukkan figur-figur kebendaan sehingga tak bisa dibilang sebagai karya abstrak murni.
Ia terpantik dengan pengalaman ketika bersepeda dan mengamati gelombang awan berarak yang berubah-ubah bentuknya.
”Awan-awan itu seperti bergerak membentuk sesuatu. Adakalanya berbentuk seperti anjing, lalu berubah lagi menjadi bentuk lain,” ujar Yahya, yang menempuh studi desain dan komunikasi visual di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya.
Seorang kolektor kemudian ada yang menanyakan perihal karyanya tersebut. Yahya pun menceritakan soal awan tadi. Kolektor merasakan adanya keterhubungan dengan cerita itu. Akhirnya, lukisan tersebut laku dibeli kolektor. Mata uang yang dipakai tetap dengan rupiah, senilai Rp 35 juta.
Sejak Juni 2023 sampai sekarang Yahya bergabung ke kolektif seniman berbasis NFT, Superlative Secret Society (SSS), di Tangerang. Konsep seninya sudah memadukan karya secara fisik dan digital. Cara ini dirasakan cukup membantu pendistribusian karya kepada publik.
”Masa-masa sekarang ini kita masih belum bisa memastikan apakah sedang terjadi transisi dari konvensional ke digital atau bahkan kembali dari digital ke konvensional lagi?” kata Yahya.
Kerepotan
Di bagian muka ruang pamer Galeri Zen1 tampak dipajang sebuah lukisan yang berukuran paling besar. Lukisan tersebut bermedia cat akrilik di kanvas ukuran 400 cm x 150 cm dan terdiri atas empat panel. Lukisan itu berjudul ”We As Your Imagination”. Lukisan ini karya Radetyo ”Itok” Sindu Utomo asal Jakarta yang kini menetap di Yogyakarta.
”Karya ini juga sudah menjadi karya kombinasi fisik dan digital meskipun secara harfiah saya hanya mengerjakannya sebagai lukisan secara fisik,” ucap Itok.
Ia mengaku sampai saat ini masih terlalu kerepotan untuk menjadikan karya yang dibuatnya secara fisik menjadi karya digital. Di pameran kali ini, Itok dibantu kolektif SSS untuk menjadikannya sebagai karya digital.
Bagi sejumlah seniman, menautkan karya seni yang dibuat secara fisik menjadi karya digital ke dalam rantai blok NFT menjadi kesulitan tersendiri. Seperti Itok yang sebagai seniman sudah terlalu disibukkan dengan pergulatan ide serta eksekusinya menjadi sebuah lukisan di atas kanvas. Pekerjaan untuk menjadikannya sebagai karya digital NFT tak tergarap.
Karya ini juga sudah menjadi karya kombinasi fisik dan digital meskipun secara harfiah saya hanya mengerjakannya sebagai lukisan secara fisik.
”Saya setuju dengan konsep phygital yang mengombinasikan karya digital dengan konvensional. Namun, sejauh ini seniman seperti saya masih membutuhkan pihak yang bisa membantu,” tutur Itok.
Pameran yang dikurasi akademisi ISI Yogyakarta, Sudjud Dartanto, ini menghadirkan seniman yang dipilih Galeri Zen1 dan Galeri Superlative. Galeri Zen1 menampilkan karya Andry ”Boy” Kurniawan, Made Bayak, Radetyo Itok, Syakieb Sungkar, Teja Astawa, dan Yudi Sulistyo. Galeri Superlative menampilkan karya Acul Caos, Arief Witjaksana, Dhado Wacky, Rijan Maulana, dan Yahya Rifandaru.
Meleburkan
Sudjud Dartanto mengatakan, kombinasi antara karya fisik dan digital merupakan upaya meleburkan diri ke dalam teknologi rantai blok pada NFT. Hal ini akan memberi beberapa manfaat bagi seniman.
Setidaknya, ada empat manfaat dari peleburan itu. Pertama, karya memiliki sertifikat digital yang dibutuhkan dalam setiap transaksi. Kedua, di sertifikat digital bisa dinyatakan surat kontrak, di antaranya surat kontrak untuk mengikat adanya royalti bagi seniman setiap kali terjadi transaksi penjualan kembali.
Manfaat berikutnya, dengan peleburan secara fisik dan digital, hal itu membuat jejak karya bisa dilacak asal-usulnya. Kemudian, keempat, teknologi rantai blok memberikan solusi keaslian karya.
”Kita pernah mengalami maraknya lukisan palsu dan ini menurunkan kredibilitas seniman Indonesia di mata dunia internasional. Dengan phygital, kita bisa mengurangi risiko pemalsuan lukisan,” ujar Sudjud.
Karya-karya yang dipamerkan kali ini, menurut Sudjud, mencerminkan keragaman ekspresi, bentuk, dan gagasan. Mulai dari ekspresi neomodern hingga kontemporer. Kemudian, dari karya bercorak doodling hingga naratif, simbolik, abstrak, dan figuratif.
”Karya-karya itu merefleksikan berbagai jenis kesadaran dan semangat zaman yang fragmentaris, melibatkan berbagai persilangan elemen, seperti seni jalanan, budaya populer, tradisi, dan global,” ungkapnya.
Baca juga: Seni Tak Boleh Berhenti
Konsep phygital atau kombinasi antara fisik dan konvensional ini tidak terelakkan karena adanya penurunan nilai mata uang kripto yang terjadi sejak 2021-2022. Sejak itu, NFT pun melesu. Namun, akhir-akhir ini NFT dan nilai mata uang kripto mulai naik kembali.
”Yang menyimpan mata uang kripto bitcoin yang diperoleh dari tahun-tahun lalu bisa untung besar. Dalam setahun, nilai 1 bitcoin yang semula sekitar Rp 400 juta, sekarang jadi sekitar Rp 730 juta,” tutur Sudjud.
Melalui pameran karya kombinasi phygital ini, Sudjud mengajak para seniman mempersiapkan diri.