Vakansi Seni Rupa di Jakarta
Jakarta Art Hub merupakan pemantik dunia seni rupa Ibu Kota seusai pandemi. Kini, seni rupa merangkul semua.
Seni rupa kerap dipandang sebagai sesuatu yang jauh dari masyarakat umum. Padahal, karya seni rupa selalu mengelilingi di berbagai lokasi. Pascapandemi, seni rupa justru tumbuh menjadi sarana vakansi yang menarik bagi publik. Ekosistem seni kembali menjadi remedi.
Silih berganti rombongan anak muda berlalu lalang di Wisma Geha, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024) sore itu. Ada yang sudah datang sejak siang, ada juga yang baru saja tiba dan sibuk mencari teman janjiannya.
Gedung lama yang semula merupakan tempat perkantoran itu telah bersalin rupa. Di dalamnya bukan lagi berisi kubikel-kubikel dengan komputer dan tumpukan berkas, melainkan karya-karya seni rupa yang menyegarkan mata.
Jakarta Art Hub, begitu sekarang tempat itu disebut. Ada sejumlah galeri yang memenuhi ruangan-ruangan di tiap lantai di Wisma Geha, antara lain Rubanah, Andis Gallery, Jagad Gallery, Vice & Virtue, Galeri Artloka, Rachel Gallery, Unicorn Gallery, Art Agenda, Ryujin Studio, dan toko cendera mata Slab. Sebagian dijalankan anak-anak muda yang tertarik pada dunia seni rupa.
Hari itu, Vice & Virtue milik Wilian Robin (29) yang berada di lantai 3 ramai dikunjungi. Di sana sedang ada pameran bertajuk Other Me yang digelar 13 Januari-20 Februari 2024.
Lukisan-lukisan dari tujuh seniman disuguhkan cukup ringan dan mudah ditangkap maknanya bagi pengunjung yang banyak di antaranya anak muda. Mereka sigap mengeluarkan gawai dan bergantian berfoto di depan lukisan yang mereka sukai.
”Ini ceritanya nyambung enggak, sih? Gambar karakternya sama. Eh, lucu, ada Uno-nya segala. Kira-kira ini ceritanya apa menurut lo?” tanya seorang pengunjung perempuan kepada teman laki-laki di sebelahnya yang berujung membicarakan goresan cat air karya Stefany Zefanya berjudul ”528Hz”.
Di bagian lain galeri seluas sekitar 60 meter persegi itu, obrolan serupa terdengar. Antusiasme seperti itu tidak disangka pemilik galeri.
”Senang udah pasti, tapi enggak nyangka juga. Pernah saat pembukaan itu, pengunjungnya ngantre sampai di luar sini. Akhirnya, dibatasi orang yang masuk agar enggak numpuk di dalam,” tutur Wilian Robin.
Semula, Robin menghidupkan Vice & Virtue dengan cara berpindah-pindah tempat, membangun pop-up gallery. Biayanya cukup besar karena tiap tempat baru memiliki karakteristik berbeda sehingga desain yang digunakan sebelumnya tak bisa terpakai lagi.
Baca juga: Berlebaran Seni Rupa di Yogya
Pertemuannya dengan Enin Supriyanto, pemilik Rubanah, membukakan jalan bagi Robin. ”Ngobrol sama Mas Enin, ditanya kalau bikin pop-up habis berapa? Sampai Rp 100-an juta juga. Dihitung-hitung bisa sewa di sini. Ya udah, ambil sewa 2-3 tahun di sini. Memang ambil lama karena untuk investasi desainnya, kan, sayang juga kalau sewanya cuma bentar,” ungkap Robin.
Sebelum banyak galeri mengisi Wisma Geha, Rubanah menjadi yang pertama beroperasi di situ pada akhir 2018. Menyusul kemudian Art Agenda dari Singapura pada 2019. Dihantam pandemi, jadwal pameran dan operasional galeri mandek sejenak.
Seusai pandemi, Jagad Gallery yang berpusat di Seminyak, Bali, bergabung di Wisma Geha. Galeri Artloka milik Morine Rociana menyewa salah satu ruang di bangunan ini, Juni 2023.
Dia menyewa ruangan untuk Artloka di lantai 3 Jakarta Art Hub seluas 70 meter persegi dengan harga cukup terjangkau bagi perusahaan ataupun pelaku seni rupa.
Ketika mulai menempati ruangan itu, Morine melihat ada galeri-galeri yang bermunculan. Ia pun mulai berpikir menyisihkan ruangannya dan membuat galeri untuk pameran seni rupa. ”Pada akhirnya, kami memutuskan 60 persen ruang yang disewa untuk galeri. Pameran pertama kami mulai pada September 2023,” ucapnya.
Morine menampilkan para seniman yang masih tergolong merintis. Jumlah seniman yang merintis masih terlampau banyak jika dibandingkan dengan jumlah galeri yang sanggup menampung dan memamerkan karya-karya mereka. ”Saya mendorong juga seniman yang belum percaya diri untuk berpameran. Artloka menyediakan tempat pameran bagi mereka,” lanjutnya.
Kemudian, dari mulut ke mulut, galeri-galeri mulai melirik dan tertarik hadir di sana. Mereka pun menghidupkan ekosistem seni rupa di Jakarta. Pembukaan pameran yang terus-menerus di antara galeri yang ada di Jakarta Art Hub sekarang setidaknya menjaga intensitas pengunjung.
Sejak dibuka tahun lalu, Jakarta Art Hub tak pernah kosong. Apalagi di akhir pekan, pengunjung bisa mencapai 600 orang sehari. Jam operasional hanya sampai pukul 19.00 WIB. Namun, terkadang molor demi melayani para tamu yang masih ingin melihat-lihat.
Pasar dan edukasi
Pendiri IndoArtNow, Tom Tandio, yang ikut menginisiasi Jakarta Art Hub bersama Enin, mengungkapkan, gagasan ini muncul dari keinginan memberi ruang bagi pelaku seni rupa, terutama yang muda. Tom mengatakan, galeri yang bergabung saat ini juga diperhatikan perkembangannya.
”Mereka wajib bikin program pameran dan aktif di fine arts. Banyak juga galeri baru yang ikut di sini, ada Vice & Virtue dan Artloka. Nanti, sebenarnya akan buka lagi dua galeri. Museum of Toys dan Sewu Satu Galeri. Total akan ada 10 galeri, kemudian toko merchandise Slab, dan studio artis Ryujin Studio,” tutur Tom.
Delapan galeri yang kini sudah beroperasi di Jakarta Art Hub giat berpameran. Setidaknya tiga minggu sampai enam minggu sekali sudah berganti tema. Mereka juga aktif menyelenggarakan diskusi dan bedah buku pada akhir pekan, yang berpotensi juga mendatangkan banyak pengunjung.
”Di Jakarta, ekosistem mulai balik ke normal. Hampir tiap minggu ada pembukaan pameran,” ucap Tom.
Galeri yang dulu berjarak dengan masyarakat umum kini justru menjadi salah satu tujuan rekreasi kaum urban. Uniknya lagi, dominasi pengunjung adalah anak muda dari berbagai kalangan. Ini sesuai harapan Tom yang ingin anak muda bisa mudah menikmati karya seni.
Baca juga: Mengaburkan Batas Seni Rupa
Tanpa disadari, kehadiran Jakarta Art Hub juga menghidupkan pasar baru yang memperkuat ekosistem seni rupa tetap berlanjut. ”Lihat yang datang hari ini saja, kita enggak tahu lho, bisa jadi mereka ternyata punya bakat di seni rupa dan kemudian tertarik mengembangkan diri, atau malah mereka adalah potential buyer baru. Yang tadinya belum pernah beli karya jadi beli karya,” papar Robin.
Seniman baru yang rutin muncul tiap tahun juga memperoleh ruang dengan bertumbuhnya galeri yang kian inklusif ini. ”Ada yang belum pernah (pameran) di galeri, tapi dia selalu pamerin di Instagram. Kami ngobrol, terus bikin pamerannya di sini. Pameran pertama laku semua habis. Dari sini, pasar bisa dikembangkan dan bisa bangun pasar baru. Jadi, enggak lagi berebut di kolam yang sama,” ujar Robin.
Kalau mereka diberi akses dan keringanan, mereka pasti mau.
Di sisi lain, pertumbuhan galeri semacam ini juga jadi wahana edukasi bagi masyarakat umum untuk menghargai karya seni. Salah satunya, tidak menyentuh lukisan atau barang-barang yang dipamerkan agar tidak rusak.
Selamat bersama
Enin mengakui, ide mengumpulkan galeri ini dipicu juga pandemi yang membuat Wisma Geha, tempatnya membangun Rubanah, ikut terdampak. Banyak kantor berhenti sewa. Semula Enin juga terancam tak bisa melanjutkan kegiatan di situ. Namun, ia kemudian berbincang dengan pemilik Wisma Geha.
”Saya dan Tom menawarkan, mungkin ada lho teman-teman yang mau menghidupkan kegiatan seni rupa, khususnya buka galeri dengan ruangan yang tak terlalu besar. Kalau mereka diberi akses dan keringanan, mereka pasti mau. Yang penting, kan, saat ini selamat bersama. Apalagi setelah pandemi. Ternyata, pemiliknya welcome karena memang sama-sama butuh survive, kan,” ungkap Enin.
Dari situ, ia berkoordinasi agar jam operasional gedung bisa disesuaikan dengan kebutuhan galeri. Pemilik sepakat tiap penyewa bisa mengatur penggunaan listrik dan penyejuk ruangan masing-masing sehingga waktu operasional tak mengikuti jam perkantoran seperti sebelumnya.
Enin menegaskan, keterbukaan pemilik Wisma Geha ini patut diapresiasi. Saat ini, pelaku muda dunia seni rupa, baik seniman maupun pemilik galeri, harus berjibaku untuk bisa bertahan. Urusan cuan lagi-lagi kerap dikeluhkan. Kehadiran Jakarta Art Hub meretas hal itu.
Penamaan Jakarta Art Hub muncul kemudian karena dirasa perlu ada satu nama yang memayungi agar mudah dalam mempromosikan galeri-galeri di dalamnya. Kemudahan akses moda transportasi menuju Wisma Geha menjadi berkah tersendiri sehingga Jakarta Art Hub lekas populer.
”Kami tahu Jakarta sering macet dan enggak gampang untuk keliling atau datang ke pameran dari galeri ke galeri. Dengan ini, di satu lokasi bisa dapat 10 galeri. Itu melahirkan kekuatan juga untuk menarik interaksi. Daripada sendiri-sendiri, bersama-sama bisa lebih kuat,” ucap Tom.
Catatan
Paragfar ke-14 mengalami perubahan redaksional untuk menjaga kejelasan informasi dan keutuhan pesan.