Mengaburkan Batas Seni Rupa
Selain mengaburkan batas seni rupa, ini cermin bagi generasi berikut untuk menjadi manusia seperti apa.
Pameran seni rupa kolektif Designthesis di Yogyakarta mempertemukan karya beragam profesi, seperti desainer, seniman, arsitek, perajin, ataupun praktisi manajemen seni. Mereka mengaburkan batas berkesenian demi meraih sesuatu dalam kebersamaan yang lebih bermakna.
Ada sebuah lorong dengan susunan potongan bahan seperti cermin menjadi lorong gerbang selamat datang. Inilah karya arsitek Janu Dananjoyo sebagai cermin refleksi keakuan atau individualistik yang harus ditanggalkan.
Janu merangsang hasrat individu agar melebur bersama individu lainnya. Leburan individu itu mengada dan menjadi satu kesatuan energi kebersamaan.
Beginilah, seni instalasi karya pembuka ruang pameran yang diberi tajuk Mamalungsa di Galeri Cemeti, Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta, 4-24 Agustus 2023. Ketika Kompas berada di dalam lorong yang diberi judul ”Pengela Elo” itu, Rabu (9/8/2023) sore, pantulan atau refleksi cermin menampakkan gambar diri dalam banyak wajah yang sama. Tidak ada penjelasan atau caption karya di situ.
Ketiadaan penjelasan ini, disampaikan Dyah Soemarno, peserta dan aktivis kolektif Designthesis, sebagai kesengajaan. Ini dimaksudkan sebagai ajakan terhadap audiens untuk benar-benar mengalami karya seni tanpa terperosok larut menelaah penjelasan.
Melalui karya itu, Janu mengajak audiens menelusuri pengilon-ilon. Ungkapan berbahasa Jawa ini bermakna lelaku becermin diri yang menjadi sebuah permainan. Refleksi cermin membuat kita terpaku melihat apa yang ada di cermin. Akan tetapi, ketika becermin di lorong gerbang itu, kita disadarkan untuk selekas mungkin meninggalkannya. Di sinilah, keakuan dihilangkan. Ini karya pembuka untuk menikmati pameran Mamalungsa.
Mamalungsa sebagai istilah baru dipetik sebagai akronim dari kata berbahasa Jawa, mamalia lakuning manungsa. Kurator pameran, Ary Indra dan Nina Widjaja, memaklumkan evolusi manusia sebagai mamalia yang berbeda dibandingkan jenis mamalia lain.
Mamalungsa menjadi perayaan pengalaman berkehidupan. Lakon individu manusia menjadi arsip yang hidup. Mamalungsa menghimpun arsip-arsip tersebut. Di balik itu, Mamalungsamenyiratkan keinginan untuk pencarian laku yang benar-benar berakar dari adegan manusia yang hidup. ”Pameran Mamalungsa memantik eksplorasi audiens merenungkan kembali perilaku manusia,” ujar Nina Widjaja.
Kurator memberi alur tema karya. Karya Janu Dananjoyo yang paling awal itu bertemakan ”Legacy” atau ”Warisan”. Kemudian berturut-turut karya peserta lainnya dengan tema ”Berdiet”, ”Berwaktu”, ”Berideologi”, ”Bercinta”, ”Kelincahan Jempol”, ”Berbahasa”, ”Bertahan”, serta ”Menyusui” dan ”Berpostur”.
Bayangan
Karya dengan tema ”Bercinta” diwujudkan peserta Condro Priyoaji. Sarjana seni rupa lulusan Institut Teknologi Bandung pada 2016 ini memainkan semiotika bayangan yang menetap atau tidak bisa hilang. Ia mengumandangkan pengalaman bercinta yang meninggalkan bayangan menetap seperti rasa kehilangan atau patah hati. Ia mewujudkan lewat karya berjudul ”Empty Vase”. Ia menampilkan sebuah vas kaca bening berbentuk guci diterpa sinar terang. Bayangannya terbentuk di dinding dan di kanvas. Di kanvas itu ada bayangan bunga mawar dari vas kaca bening, yang semestinya tidak pernah ada.
Gambar bayangan bunga mawar mengilustrasikan bayangan yang menetap, tidak pernah hilang. Condro mengisyaratkan perilaku manusia dalam bercinta sering meninggalkan kenangan yang tidak bisa terlupakan. Inilah bayangan yang menetap.
Yosef Arizal mengungkit tema ”Berideologi” dengan karya berjudul ”Mata-mata Jarum”. Ia menyuguhkan seni instalasi patung lunak berupa kutang yang tertusuk-tusuk jarum besar di beberapa bagiannya. Ia begitu lugas menyampaikan ideologi yang berlangsung sampai sekarang, yakni dogma membendung birahi lebih ditekankan bagi perempuan daripada laki-laki. Misalnya, jika terjadi percabulan, perempuan dipandang sebagai penyebab karena dandanan atau perilakunya yang membuat laki-laki mencabulinya.
”Karya ini dibuat untuk mengartikulasikan sebuah fenomena aturan berpakaian yang membatasi atau menghakimi perempuan sebagai bentuk kontrol dan stereotipe jender yang kaku,” ungkap Yosef, sarjana seni rupa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2016.
Berlindung
Karya kolaborasi Ipeh Nur dan Dyah Soemarno mengambil tema ”Bertahan” dan menampilkan karya instalasi paling besar berjudul ”Berlindung dalam Perangkap”. Mereka membentuk bubu atau perangkap ikan yang cukup besar terbuat dari bilah-bilah bambu. Tiang-tiang penyangga sekaligus diwujudkan sebagai tangga untuk memasuki ruang bubu. Tangga ini bisa dimasuki audiens paling banyak dua orang dewasa.
Karya kolaborasi ini bertolak dari ruang jelajah kreativitas Ipeh dan Dyah. Ipeh Nur sebagai seniman visual tergerak untuk menjelajahi ruang-ruang masyarakat pesisir dengan segala macam tantangan yang dihadapi. Dyah sebagai desainer produk upcycle sedang berfokus mengeksplorasi material kayu dari kapal bekas atau kapal karang yang banyak terbengkalai di pesisir.
Material kayu yang menjadi sampah di laut juga dipungut Dyah. Data dan informasi dari masyarakat lingkungan pesisir yang diperoleh Ipeh dan Dyah dipersatukan ke dalam karya.
Bubu atau buaro biasa dipakai masyarakat nelayan tradisional Mandar, Sulawesi Barat. Masyarakat tradisional menempatkan bubu ke dalam dua fungsi yang sebetulnya berlawanan. Di satu sisi, bubu untuk memerangkap ikan. Di sisi lain, bubu juga diperuntukkan bagi ikan-ikan bertelur dan berkembang biak.
Dyah menautkan sedikit dengan konteks kehidupan, meski tanpa memperjelas secara panjang lebar. Di dalam perangkap seperti itulah, kadang perempuan akan berlindung.
Tema ”Berbahasa” digarap peserta Rudi Hendriatno. Karyanya berupa kursi kayu berjudul ”Terduduk Ikuti Irama”. Kaki kursi terdapat empat buah, satu di antaranya dibuat berbeda. Rudi membuat bentuk realis telapak kaki di salah satu mata kaki kursinya.
Ada sensor dipasang untuk menggerakkan kaki yang dibentuk mulai dari bawah mata kaki tersebut. Telapak kaki akan bergerak dan mengetuk ke lantai dengan irama tertentu. Kursi digunakan manusia untuk beristirahat, duduk merenung, atau resah menunggu yang tak kunjung datang. Kursi sebagai benda keseharian dipersonifikasi oleh Rudi untuk membahasakan itu semua, membahasakan arsip perilaku manusia yang mendudukinya.
Hampir semua karya yang ditampilkan di pameran Mamalungsa menyimpan metafora tersendiri. Kurator Ary Indra menyebut, ”Semua berangkat dari diri kami sendiri dan bukti yang terjadi pada kami.”
Peserta berikutnya, Wisnu Ajitama, yang menempuh studi pascasarjana penciptaan seni murni di ISI Yogyakarta, menampilkan tema ”Berdiet”, dengan karya berjudul ”Semusim di Esofagus”. Ia menawarkan refleksi tentang keserakahan dalam kehidupan.
Bayu Bawono, desainer produk interior, merespons tema ”Berwaktu”. Bayu menampilkan karya berjudul ”Datang dan Menghilang”. Ini sebuah refleksi tentang waktu yang berjalan linier dan menghapus segala peristiwa yang berlangsung.
Gatot Indrajati merespons tema ”Kelincahan Jempol” dengan karya ”Radiorama”. Ia menampilkan seni instalasi dari sebuah radio. Kemudian masih ada lagi Budi Agus Kuswara dan Ruby Sofyan yang merespons tema ”Berpostur” dan ”Menyusui” dengan instalasi seni yang diberi judul ”Datang” dan ”Berserah di Jalan Sembah”. Ada lagi Ruth Marbun yang menorehkan baris kata di dalam karya Bayu Bawono, dan Elghandiva Astrilia yang menghadirkan performance pada hari pembukaan pameran.
Pameran Mamalungsa dimaksudkan menjadi arsip lakon manusia. Selain mengaburkan batas seni rupa, ini cermin bagi generasi berikut untuk menjadi manusia seperti apa.