Berlebaran Seni Rupa di Yogya
Lebaran seni rupa itu saling mengunjungi, saling memberi selamat, dan saling berbagi waktu untuk menyelamati pameran. Orang bersilaturahmi ke galeri-galeri atau ruang pamer, dan merasakannya seperti berlebaran.
Lebaran seni rupa. Seperti mengada-ada istilah ini. Nyatanya istilah ini makin akrab di telinga tatkala pameran seni rupa Artjog berlangsung dan diikuti ratusan peristiwa seni di Yogyakarta dan sekitarnya. Orang bersilaturahmi ke galeri-galeri atau ruang pamer dan merasakan berlebaran seni rupa di Yogyakarta itu nyata.
”Berlebaran seni rupa itu saling mengunjungi, saling memberi selamat, dan saling berbagi waktu untuk menyelamati pameran,” ujar Titik Suprihatin (35) di Galeri Ruang Dalam, Bantul, Yogyakarta.
Titik yang mengelola Galeri Ruang Dalam bersama suaminya, perupa Gusmen Heriadi, menggelar pameran lukisan bertema Nyap untuk mengiringi Artjog. Pesertanya Gusmen Heriadi, Rizal Mizilu, Radetyo ”Itok”, Syam Terrajana, dan Tan Maidil, berlangsung 25 Juni hingga 7 Agustus 2023.
Selain menggelar pameran di galerinya, Titik juga membawa rombongan pencinta seni yang datang dari kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Bahkan, ada rombongan dari Australia yang tergabung di forum seni Indonesia-Australia.
Dalam rentang lima hari menuju pembukaan Artjog 30 Juni 2023, Titik mengajak tetamu rombongan pencinta seni mengunjungi galeri-galeri lainnya. Di antaranya Galeri Kiniko, Museum dan Tanah Liat, Sarang Building, Indieart House, Bale Banjar Sangkring, dan Gajah Gallery.
”Saat pembukaan Artjog, kami semua sepakat untuk datang di acara tersebut. Kami semua juga sepakat, tidak ada galeri lain yang membuat acara pembukaan pameran bersamaan dengan pembukaan Artjog,” ujar Titik.
Artjog 2023 digelar dua bulan dari 30 Juni sampai 27 Agustus. Tahun ini, ajang yang telah berlangsung 16 kali ini menampilkan karya 51 seniman dewasa dan 22 seniman anak-anak dengan tema Motif: Lamaran. Lokasinya masih di Jogja National Museum (JNM). Kuratornya Hendro Wiyanto dan Nadiah Bamadhaj,
Pengunjung tak henti hilir mudik keluar masuk Jogja National Museum. Artjog menempati gedung tiga lantai itu yang tak kunjung sepi hingga malam. Mereka beramai-ramai mengecap karya partisipatif di ruang yang sejuk. Tak sedikit seni instalasi yang hanya bisa diamati, tetapi sama memukaunya.
Selepas hari pembukaan Artjog, Titik masih melanjutkan lebaran seni rupa. Ia mengajak tetamu di galerinya maupun komunitas pengelola galeri di Yogyakarta mengunjungi Galeri Srisasanti, Jogja Gallery, RJ Katamsi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan lain-lain. Mereka masih memiliki rencana mengunjungi peristiwa seni berikutnya, seperti Rumah Komik Ugo Untoro atau It’s Ready Space. Beginilah, gambaran lebaran seni rupa di Yogyakarta.
Titik menggerakkan segenap orang. Begitu pula, ini juga dilakukan pengelola galeri lain. Jadilah, saling kunjung, saling menyelamati. Ekosistem seni seperti ini belum pernah terjadi di kota-kota lain di Indonesia, mungkin juga di luar negeri.
Tata kelola seni
Bukan hanya pameran seni rupa, ada juga berbagai diskusi atau kuliah umum di kampus selama lebaran seni rupa berlangsung. Salah satunya, kuliah umum di Concert Hall ISI Yogyakarta, bertajuk Tata Kelola dan Masa Depan Seni Rupa Kita, Kamis (6/7/2023).
Untuk menghangatkan suasana sebelum kuliah umum dimulai, pembawa acara menunjuk salah satu peserta agar tampil ke muka. Peserta itu dijanjikan mendapat kesempatan berfoto bersama para narasumber meliputi Maya Rizano (Head of Corporate PT Bank UOB Indonesia), Heri Pemad (Direktur Artjog), St Eddy Prakoso (pendiri galeri Srisasanti), dan Suwarno Wisetrotomo (akademisi ISI Yogyakarta).
Ketika itu, peserta I Made Arsana (20) angkat tangan dan akhirnya ditunjuk oleh pembawa acara untuk tampil. Arsana seorang mahasiswa semester enam Universitas PGRI Mahadewa Indonesia di Bali, yang khusus datang ke Yogyakarta untuk ikut merayakan lebaran seni rupa.
”Saya datang dari Bali pas pembukaan Artjog, 30 Juni. Ini yang kedua kalinya saya datang ke Yogya dan untuk pertama kalinya menyaksikan Artjog dan pameran di galeri-galeri lain,” ujar Arsana, yang tinggal di Bale Banjar Sangkring, Bantul, Yogyakarta, sebuah galeri milik perupa Putu Sutawijaya.
Arsana berencana hanya seminggu tinggal di Yogyakarta. Sewaktu Kompas berkunjung ke Bale Banjar Sangkring, Arsana ada di antara para peserta Sanggar Dewata Indonesia (SDI) yang sedang berpameran di situ. Ada di antaranya, I Made Djirna, Nyoman Darya, Putu Sutawijaya, dan beberapa lainnya sedang bercengkerama.
”Kebetulan kami sedang memperbincangkan, mengapa di Yogya bisa terjadi lebaran seni rupa seperti ini, sedangkan di Bali tidak,” ujar Putu Sutawijaya, yang membagi tiga pameran di galerinya untuk lebaran seni rupa kali ini.
Ketiga pameran itu meliputi pameran kelompok Yogya Annual Art 2023 ”Infin#8”, SDI X SDI, dan pameran tunggal karya Nasirun bertema Wayang Carangan.
Baca juga: Komedi dan tragedi film Eropa masa kini
Di dalam perbincangan itu, I Made Djirna mengemukakan, kondisi masyarakat yang bisa menerima siapa saja yang datang dan ingin belajar di Yogyakarta merupakan prasyarat penting terjadinya lebaran seni rupa. Ia teringat, sewaktu menempuh studi di ISI Yogyakarta di era menjelang 1980-an. Ia indekos di daerah Ngasem, dekat Keraton Yogyakarta.
”Sewaktu indekos, saya sempat tidak bisa membayar kontrakan selama lima tahun. Pada waktu itu bisa terjadi, karena masyarakat benar-benar menerima orang yang datang dan ingin belajar di Yogya,” ujar Djirna.
Hal serupa dihadapi Putu Sutawijaya selama indekos di Nitiprayan, Bantul. Ia juga pernah tidak kuat membayar kontrakannya dan dibiarkan begitu saja oleh keluarga yang menampungnya.
Saudara, bukan saudagar
Pengalaman I Made Djirna atau Putu Sutawijaya ini memberi gambaran penting mengapa Artjog bisa tumbuh dan membangkitkan peristiwa yang kemudian disebut sebagai lebaran seni rupa di Yogyakarta.
Direktur Artjog Heri Pemad menyebut, selama proses mempersiapkan Artjog, ia bertemu orang-orang sebagai saudara, bukan saudagar. ”Terakhir kali saya tidak bisa mempertahankan Artina di Jakarta. Karena di Jakarta, saya tidak bertemu dengan saudara, melainkan bertemu dengan saudagar-saudagar,” ujar Heri Pemad.
Ini sindiran Pemad yang menohok ekosistem seni kita. Ekosistem seni tidak akan berlangsung baik jika digerakkan oleh motif ekonomi dari para saudagar. ”Selalu ada alasan untuk bergerak. Jangan-jangan kalau mapan, seniman malah mati. Enggak semua bisa menghasilkan karya bagus dengan uang banyak,” ujar Pemad.
Inisiatif mengumpulkan rekan-rekannya untuk perayaan bersama menyalakan semangat Pemad sejak dulu. Ibarat mesin, seniman-seniman menggerakkan Artjog. Seiring tersedianya galeri, ruang pertemuan gagasan-gagasan baru dalam kesenian dan kreativitas itu tak boleh berhenti untuk diperingati.
”Lebaran seni rupa mesti dirayakan supaya ekosistem bergerak. Ekosistem, kan, luas banget. Enggak hanya ngomongin duit, tapi napas dan gerak,” ujar Pemad.
Jika Artjog yang juga kerap disebut hari raya seni rupa tak terselenggara, banyak pihak bakal menyalahkan tak hanya Pemad, tapi juga pemerintah daerah. ”Sekarang, 73 seniman memajang karyanya. Realisasinya, ratusan seniman dilibatkan karena digandeng untuk menggarap karya. Kolaborasi, makanya ada kelompok-kelompok,” ujarnya.
Baca juga: Pemburu kisah film dari benua biru
Ia menyebut Dicky Takndare & The Sampari yang memilih tema pembebasan Irian Barat saja merangkul lebih dari 10 seniman. ”Kalau seniman yang tampil memang sedikit dibandingkan totalnya di Yogyakarta, apalagi Indonesia, tapi Jogja Art Weeks saja isinya sudah ratusan event (acara),” ucapnya.
Heri Pemad menyitir pembeda Artjog tahun ini paling kentara dengan perubahan dibandingkan saat pandemi mencapai puncaknya. ”Kadang-kadang, dibutuhkan momen untuk berubah. Pandemi lumayan jadi pemicu, misalnya dengan pembukaan yang dulu enggak pakai undangan,” katanya.
Pengunjung yang digratiskan untuk menyimak peresmian itu bisa berjumlah hingga 15.000 orang sehingga Pemad dan kolega-koleganya sempat kewalahan.
”Pakai makan-makan. Sponsor mau bayar separuh. Akhirnya, semua makan dan senang. Sekarang, sudah endemi. Pengunjung masih hati-hati,” katanya. Pemad menghilangkan penyajian hidangan saat Artjog 2023 dimulai dan pengunjung dipersilakan membeli tiket. Perubahan diimplementasikan dengan pembatasan.
”Hanya undangan yang menghadiri pembukaan. Kemeriahannya berbeda meski sponsor mau ramai, tapi terjadi keletihan. Dananya juga terbatas,” ucapnya.
Sebagai edukasi publik, anak-anak dan penyandang disabilitas pun diberi ruang. Artjog punya khalayak yang besar. Heri Pemad meyakini ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman estetika itu membangun perkembangan seni terbaru dan menjadi kewajiban.
Keharusan mendidik publik dan berapresiasi tidak sekadar untuk segmen tertentu yang bisa menikmati seni. Ini sekaligus demi mewujudkan kesetaraan melalui seni.
Selamat berlebaran seni rupa. Tidak perlu maaf-maafan!