”AH”, Potret Kondisi Dokter di Daerah
Cerita mengenai mirisnya kondisi dokter di daerah pedalaman diangkat dari kisah nyata oleh Teater Mandiri dalam lakon berjudul ”AH”.
Perjuangan dokter di pelosok daerah tak ada yang mudah. Kisah mereka mengundang perhatian masyarakat. Pentas Teater Mandiri yang mengangkat cerita dokter Uli menggugah hati penonton.
”Pendidikan dokter, kan, mahal sekali. Dan saya masih ingin berguna,” kata dokter Uli (diperankan oleh Laila Uliel El Na’ma) saat diminta oleh kakeknya untuk kembali ke kota. Uli menolak meninggalkan desa tempatnya mengabdi. Ia berkorban waktu, materi, tenaga, perasaan, dan bahkan bertaruh nyawa demi masyarakat.
Cerita mengenai kondisi dokter yang miris di daerah pedalaman diangkat Teater Mandiri dalam lakon berjudul ”AH”. Ceritanya diangkat dari kisah nyata. Pertunjukan yang ditulis dan disutradarai Putu Wijaya itu diselenggarakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Senin (17/7/2023) malam.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, jumlah dokter di Indonesia mencapai 123.691 orang (per 31 Desember 2020). Namun, sebaran dokter tidak merata karena masih berpusat di Pulau Jawa, yaitu 57,63 persen atau sebanyak 71.286 dokter. Peringkat selanjutnya diisi Sumatera (26.193 dokter), Sulawesi (7.034), dan Kalimantan (7.022). Sementara Maluku dan Papua hanya memiliki 2.661 dokter.
Minimnya jumlah dokter membuat layanan kesehatan tidak maksimal akibat kekurangan dokter. Di banyak pelosok desa, dokter merangkap sebagai pegawai tata usaha dan banyak pengelola puskesmas terpaksa mengandalkan perawat dan bidan sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan (Kompas, 14/7/2023).
Sudah jumlahnya sedikit, apa yang dihadapi dokter di pelosok Indonesia sering tak terbayangkan. Pertunjukan Teater Mandiri menggambarkan tantangan dan perjuangan dokter di pelosok Indonesia. Lakon ”AH” diperankan oleh Gandung Bondowoso, Jose Rizal Manua, Laila Uliel El Na'ma, Ari Sumitro, Siti Rukoyah, Taksu Wijaya, Penny Moehaji, Imron Rosyadi, Khairul Fiqih Firmansyah ”Achonk”, Lalu Kartawijaya, dan Agung HS.
Meskipun sudah pernah ditayangkan secara virtual pada 2022 karena situasi pandemi, pementasan di panggung tidak kehilangan taringnya dengan cerita yang tetap relevan dengan situasi terkini. Ditampilkan dengan humor, pertunjukan ini mengajak penonton memikirkan nasib dokter di pelosok Indonesia.
Nasib dokter
Cerita dalam pertunjukan ini dibuka oleh tokoh bernama Uli, seorang dokter muda yang mengabdi di sebuah desa terpencil di salah satu provinsi di Indonesia. Daerah itu relatif tak terjangkau kemajuan teknologi. Jangankan dijangkau teknologi medis, untuk komunikasi sehari-hari saja sulit karena sering susah sinyal.
Berkali-kali, kakeknya Uli menelepon meminta cucu kesayangannya kembali ke kota. Tetapi, Uli menolak. Di daerah perdesaan yang terpencil dan serba terbatas itu, Uli melayani masyarakat.
Umumnya masyarakat di desa itu percaya pada hal-hal magis serta berbau klenik dan mistis. Suatu hari, istri seorang warga desa dikabarkan sakit keras. Bukannya langsung dibawa ke dokter, pasien justru dibawa ke dukun setempat (Jose Rizal Manua).
Begitu dukun tidak bisa menangani pasien, barulah ia dirujuk ke puskesmas. Ketika dibawa ke dokter, pasien sudah dalam kondisi meninggal. Dokter Uli dipaksa untuk membedah dan menghidupkan kembali pasien yang sudah meninggal. Minimnya alat medis memadai membuat sang dokter terpaksa mengoperasi pasiennya dengan alat seadanya, yaitu pisau silet.
Bagaimanapun caranya, pasien yang sudah meninggal tak bisa dihidupkan lagi. Penduduk desa marah dan mengancam akan membunuh dokter karena gagal menyelamatkan nyawa manusia. Setelah dokter menyodori sejumlah uang, ancaman kepada dokter dibatalkan.
Sejak saat itu, banyak orang meninggal dibawa ke puskesmas untuk dihidupkan lagi. Penduduk desa baru pergi kalau sudah diberi uang. Lama-kelamaan uang dokter habis.
Suatu waktu muncul anak kepala suku dengan membawa kepala bapaknya (kepala suku) yang sudah terpenggal. Anak kepala suku meminta dokter untuk menghidupkan kembali ayahnya.
Baca Juga: Eksplorasi Emosi dan Rasa ”Bambie Zero”
Dokter panik. Ia tidak memiliki uang lagi. Di sisi lain, ia juga merasa sudah waktunya berterus terang menjelaskan kepada masyarakat bahwa orang mati tidak bisa dihidupkan lagi.
Kepada anak kepala suku, dokter mengatakan, ”Pahlawan tak pernah mati karena akan terus hidup abadi di hati setiap orang.” Anak kepala suku terenyuh dengan kata-kata sang dokter. Ia menerima ucapan itu dan akhirnya bisa melepaskan ayahnya pergi untuk selamanya.
Kabar tentang pembedahan yang dilakukan dokter telanjur sampai Jakarta. Dokter muda ini lantas diberi sanksi karena dianggap malapraktik. Meski demikian, bagi masyarakat—terutama bagi anak kepala suku—ia tetap pahlawan yang berjuang tanpa pamrih.
Sutradara teater, Augusto Boal, dalam pengantar buku berjudul Teater bagi Kaum Tertindas (judul asli: Theatre of the Oppressed) menyelisik seni bukan sebagai entitas yang berada jauh di angan-angan, tetapi berada di tataran praktis hidup harian. Dengan demikian, seni (dalam hal ini teater) tidak lain merupakan cerminan dari kehidupan manusia.
Senada dengan pernyataan di atas, penulis Andreas Spiegl dalam artikel yang dipublikasikan Afterall, pusat penelitian University of Arts London (2000), menuliskan teater bekerja dalam ruang dan dengan orang yang secara material dan visual cocok dengan pemahaman kita tentang realitas—dan karena itu dapat dianggap sebagai realitas—tetapi pada saat yang sama teater bertujuan untuk menduplikasi realitas ini yang kemudian ”muncul” sebagai sebuah konstruksi.
Baca Juga: Sintesis Tari Klasik dan Modern
Teater Mandiri memotret kehidupan masyarakat di pelosok daerah dan betapa mirisnya kondisi dokter melalui karakter Uli. Dokter itu menghadapi tantangan dalam berbagai lini kehidupan, mulai dari budaya, ekonomi, sosial, hingga akses informasi dan komunikasi.
Tantangan ekonomi terlihat dari gaji yang baru diterima tiga bulan sekali. Sebagian gaji itu bahkan habis terpakai untuk mengongkosi pasien yang datang kepadanya. Tantangan sosial yang dihadapi, misalnya, terkait ketidakpercayaan masyarakat terhadap tindakan medis. Masyarakat lebih percaya pada hal-hal yang berbau klenik dan mistis daripada medis.
Suara perempuan
Dokter Uli juga menghadapi tantangan budaya dan sosial dari sistem patriarki yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Dalam beberapa adegan, Uli ditekan, disudutkan, dan diancam akan dibunuh kalau tidak segera melakukan tindakan medis sesuai perintah kepala desa.
Kepala desa dan penduduk laki-laki juga sukar menerima pendapat perempuan. Misalnya, kepala desa meminta Uli menghidupkan kembali pasien yang sudah meninggal. Meski Uli sudah menjelaskan bahwa orang meninggal tidak bisa dihidupkan lagi, kepala desa memaksa.
Ia bahkan mengancam akan membunuh Uli dengan mengatakan, ”Kalau tidak mau melakukan apa yang aku mau, aku akan panggil rakyatku. Kamu akan disate.”
Kekerasan seksual secara verbal terlihat dari kalimat yang dilontarkan oleh dukun kepada Uli, yaitu ”Kamu masih perawan, ya? Kok, baunya tidak enak?” dan ”Dokter masih singel, belum merasakan surga dunia.” Untungnya, Uli diselamatkan oleh Pao (diperankan oleh Ari Sumitro), warga desa yang selalu membantunya dalam berbagai kondisi.
Suatu ”konstruksi” atau sudut pandang baru ditawarkan oleh karakter anak kepala desa Anna (Siti Rukoyah) yang berusaha melawan pengucilan terhadap perempuan. Oleh masyarakat, Anna dianggap bisu. Rupanya ia hanya berpura-pura tidak bisa bicara ”agar mereka (kelompok laki-laki) tidak merasa terancam oleh kami perempuan”. Menurut Anna, kalau ia banyak bicara, kelompok laki-laki yang merasa terancam akan membunuhnya.
Setelah berkali-kali melihat ketidakadilan, Anna memberontak. Ia mulai bersuara dan melawan kesewenang-wenangan. ”Aku ngomong karena sudah waktunya perempuan ngomong agar tidak dianggap bodoh lagi,” katanya.
Meskipun menghadapi banyak tantangan di pelosok desa, Uli melayani masyarakat dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang. Ia tetap melayani pasien yang datang kepadanya dan berusaha menyembuhkan mereka bagaimanapun caranya.
Putu Wijaya, yang muncul dari balik layar setelah pertunjukan berakhir, mengatakan, kita harus memperlakukan orang-orang di pedalaman dengan kasih sayang. ”Jangan pernah menghina kesederhanaan mereka,” katanya.
Bagi Putu Wijaya, dokter adalah patriot kesehatan. Dokter di daerah sudah bekerja keras untuk masyarakat. Karena banyaknya tantangan, kekurangan dokter di daerah adalah sesuatu yang harus dimaklumi.
Baca Juga: Teladan Kawah Candradimuka Koentjaraningrat
”Mereka bekerja untuk kemanusiaan, harus dimaklumi. Seharusnya ada aturan yang melindungi mereka,” kata sastrawan serba bisa ini.
Kelompok Teater Mandiri yang berdiri pada 1971 di Jakarta didaulat sebagai salah satu grup tertua di Indonesia selain Teater Koma dan Teater Populer. Pementasan yang berlangsung di Jakarta merupakan sebuah perayaan bagi Teater Mandiri untuk memperingati usia Jakarta yang menginjak 497 tahun.