Teladan Kawah Candradimuka Koentjaraningrat
Asam garam Koentjaraningrat memang tergolong unik. Selain melewati revolusi yang berkobar, kehadiran Bapak Antropologi Indonesia itu diganti keris saat menikah.
Puncak rangkaian peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat selama sepekan berlangsung dengan pertunjukan wayang orang di Jakarta, Kamis (15/6/2023). Sanggar Suko Reno Sekaring Budhaya memanggungkan epos personifikasi Bapak Antropologi Indonesia tersebut.
Gatotkaca Kinormatan atau Gatotkaca Dapat Beasiswa, demikian lakon yang digelar di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Judul itu saja sudah menggelitik seiring kesatria otot kawat tulang besi yang melegenda dikisahkan menuntut ilmu dari Raden Senggana alias Hanoman.
Alkisah, jagat pewayangan gonjang-ganjing akibat ulah Kala Pracona yang membuat gentar para dewata. Hanya kelahiran Jabang Tetuko harapan untuk menyelamatkan kayangan. Sang bayi digadang-gadang melawan angkara murka, tetapi tempaan yang mesti dilewati sungguh berat.
Tak tanggung-tanggung, ia diempaskan ke kawah candradimuka, neraka yang ternyata memiliki khasiat tiada terkira. Bukannya lebur, putra Bimasena tersebut justru tumbuh layaknya pejuang sakti mandraguna hingga mampu menaklukkan bala tentara yang mengacau swargaloka.
Pahlawan yang berganti nama menjadi Gatotkaca itu lantas menuntut ilmu dengan bimbingan Hanoman, penjaga sisi selatan Bumi. Ia mengembuskan wejangan-wejangan yang merasuki pikiran, jiwa, dan raga pahlawan Pringgandani tersebut dengan kegigihannya.
Di pengujung wiracarita, Gatotkaca pun menggenggam beasiswa. Para penonton tertawa ketika ia diceritakan meraih sokongan untuk menempuh studi dengan sokongan Aminef dari Amerika Serikat, tetapi juga tak kalah riuhnya tepuk tangan mereka seraya berdiri yang menutup pergelaran itu.
Berdurasi sekitar 30 menit saja, Gatotkaca Dapat Beasiswa lebih singkat dibandingkan rata-rata pementasan wayang orang atau dua jam. Surip Handayani yang menyutradarai pergelaran tersebut menyambung pesan putri sulung Koentjaraningrat, Sita Satar, untuk tak berlama-lama agar tetamu tak jemu.
Tak berarti Gatotkaca Dapat Beasiswa minim makna. Selaras dengan pandangan hidup Koentjaraningrat, Surip memadatkan aneka filosofi. Ia, misalnya, mencuatkan anasir-anasir penggemblengan Gatotkaca dengan empat warna yang merefleksikan watak manusia.
Hitam berwatak ingin merengkuh kekuasaan untuk mengatur, bahkan menguasai kehidupan. Sementara merah mengejawantahkan tak hanya amarah, tetapi juga gelora yang melingkupi fisik dan mental untuk mengatasi segala kendala hingga baik atau buruk dalam kehidupan.
Dilanjutkan kuning yang memanifestasikan kesenangan dan keindahan riil yang menyeruak dalam pikiran, hati, bahkan penglihatan untuk mengembangkan cinta karsa agar impian dalam kenikmatan dapat tergapai. Putih tentu dihamparkan dengan hati suci yang melindungi pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Perempuan itu melaburkan pula antropologi lewat busana, tata suara, dan koreografinya. Saat makna merah dipaparkan, umpamanya musik spontan merancak dengan intonasi narator yang tegas. Sebaliknya, sewaktu kuningan diinterpretasikan, irama gamelan berangsur melandai.
Kisah nyata
Kreasi Surip juga sinkron lantaran berdasarkan kisah nyata, Koentjaraningrat memang mengenyam beasiswa saat bertolak ke Amerika Serikat untuk melanjutkan kuliah seusai menuntaskan sarjananya di Universitas Indonesia pada tahun 1952.
Ia tak ingin mengernyitkan dahi audiens. Surip memampangkan alur dengan linear hingga mereka yang tak mengakrabi Koentjaraningrat, mudah memahaminya. Dilakoni 16 penari dan 13 penabuh karawitan, Gatotkaca Dapat Beasiswa bisa dinikmati sebagai hikayat regular.
Surip sejatinya hendak menggandeng semangat Koentjaraningrat dengan para undangan, sekalipun jika mereka tak pernah bersua. Poin terpenting ditegaskan dengan suri teladan imbas gojlokan kawah candradimuka yang membingkai asam garam penulis lebih dari 100 buku antropologi itu.
Ia memang pernah terseret pusaran sejarah, terutama semasa revolusi. Koentjaraningrat bekerja di perpustakaan Museum Nasional pada masa pendudukan Jepang demi bisa membaca buku dengan gratis. Di sebelah, markas serdadu-serdadu yang melanggengkan ekspansinya lalu mendatangkan kekalutan.
Banyak buku yang dibakar sehingga Koentjaraningrat memboyong buku-buku yang bisa diselamatkan ke Yogyakarta. Nahasnya, perang yang berkecamuk menyebabkan jalur transportasi terputus. Ia pun bergabung dengan Korps Mahasiswa Universitas Gadjah Mada.
Koentjaraningrat mengajar para pejuang belia berbahasa Inggris meski di sela-selanya, duka menerpa dengan kabar ayahanda, RM Emawan Brotokoesoemo, yang wafat di Jakarta. Ia pun lolos dari maut karena tekadnya melanjutkan kuliah, tetapi teman-teman sepasukannya digempur karena berhaluan kiri.
Selaras dengan Koentjaraningrat, Gatotkaca pun dikenal rendah hati. Ia gagah berani, namun patuh dan rela mengorbankan diri. Tanpa jagoan tersebut, Adipati Karna dipastikan membunuh Arjuna dan timpanglah percaturan balatentara Pandawa yang bakal didera kekalahan.
Meski bergelar Kanjeng Pangeran Haryo, ditambah titel profesor dan doktornya, Koentjaraningrat merasa tak perlu jemawa. Ia juga pernah menjadi guru besar tamu Universitas Utrecht di Belanda, dosen tamu Universitas Illinois di Amerika Serikat, dan mengajar di Universitas Malaya, Malaysia.
Diganti keris
Kegandrungan Koentjaraningrat akan Gatotkaca turut meniupkan nyawa tontonan yang digelar mulai pukul 19.30 itu. Ia beberapa kali memerankan tokoh tersebut, selain gemar melukis dengan cat air dan menggambar sketsa bertema antropologi.
”Kalau menari, yang disukai Pak Koen (sapaan Koentjaraningrat) Gatotkaca. Setagen yang dipakai beliau bertahun-tahun ikut dipamerkan di BBJ,” kata Surip. Ia menyimbolkan beasiswa dengan mahkota raja yang diterima Gatotkaca.
Koentjaraningrat menikah dengan Kustiani Sarwono Prawirohardjo pada tahun 1955. Ia sudah berangkat ke Amerika Serikat sehingga digantikan keris warisan ayahnya, namun dimungkinkan adat istiadat Jawa. Pada hari yang sama, mempelai pria justru pergi ke bisokop bersama teman-teman sekampusnya.
Antropolog Indonesia, Mulyawan Karim, memandang pernikahan itu adalah contoh nyata bagaimana ”kebudayaan” yang merupakan subyek dan fokus utama kajian antropologi, memainkan peran sentral sebagai peta jalan hidup dan pemandu segala tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial.
Pameran Lukisan, Pemikiran, dan Koleksi 100 Tahun Koentjaraningrat diawali ketika Sita berolahraga setahun silam. ”Lagi jalan pagi, saya asbun. Menyatakan keinginan, ternyata disambut antusias teman-teman,” katanya sambil tersenyum.
Sita dan kawan-kawannya bergerak meski perlahan untuk membentuk tim inti dan mengajak berbagai pihak untuk berkolaborasi. ”Syukurlah, sebagian besar dar mereka menyambut dengan baik. Kami mengumpulkan memorabilia, foto, dan dokumen lama. Bikin video lini masa juga,” ucapnya.