Komedi dan Tragedi Film Eropa Masa Kini
Apa yang ditampilkan dalam Europe on Screen 2023 hanya mewakili sebagian persoalan yang dihadapi masyarakat Eropa saat ini. Dan, sebagian persoalan yang mereka hadapi ternyata juga dihadapi masyarakat Indonesia.
Beberapa tahun lalu, film-film Eropa dianggap susah dimengerti, dingin, dan pesimistik. Citra ini ingin dikikis melalui festival Europe on Screen 2023 yang memutar film-film bertema keseharian dengan pendekatan lebih optimistik. Dari situ, kita bisa memahami persoalan Eropa yang mungkin sama dengan persoalan kita.
Isak tangis terdengar lamat-lamat di dalam aula pemutaran film di GoetheHaus, Jakarta, Minggu (18/6/2023) siang. Begitu lampu aula dinyalakan kembali, mata sembab dan hidung yang memerah menghiasi wajah hampir tiap penonton. Lebih dari 100 penonton terhanyut menyaksikan film Comedy Queen.
Jika sekadar melihat judulnya dan awal cerita yang ringan dan lucu, orang akan mengira bahwa Comedy Queen adalah film komedi. Kenyataannya, film ini malah menguras air mata.
Comedy Queen berkisah tentang perempuan remaja, Sasha, yang berusaha berdamai dengan duka setelah ditinggal ibunya yang bunuh diri akibat depresi, malah menguras air mata penonton. Sejak mendapat kabar ibunya meninggal hingga beberapa bulan setelahnya, Sasha sama sekali tak menangis. Ia terus melanjutkan hidupnya seperti biasa dan mengejar cita-citanya untuk menjadi ratu komika.
Tanpa ia sadari, keinginannya menjadi komika merupakan cara Sasha mengalihkan kesedihan yang tak bisa diterimanya. Ia ingin membuat orang lain, terutama ayahnya yang larut dalam duka, untuk tertawa. Sebuah sudut pandang yang agak absurd: berduka tapi ingin melahirkan tawa.
Baca juga: Film Tiger Stripes menang Grand Prize di Cannes
Film asal Swedia besutan sutradara Sanna Lenken ini menghadirkan beragam warna emosi dalam balutan sikap yang optimistik. Film ini misalnya menggambarkan bagaimana sebuah keluarga memahami tentang proses berduka. Kedua tokoh yang berduka yakni Sasha dan Abbe diberi keleluasaan melalui tiap proses yang sulit dengan saling memberi ruang dan dukungan. Hingga di satu titik, keduanya bisa berdamai dengan duka.
Comedy Queen adalah satu dari 73 film dari 24 negara Eropa yang dihadirkan dalam festival Europe on Screen. Festival digelar di 17 tempat di 7 kota yakni Jakarta, Bandung, Bekasi, Denpasar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta pada 16–25 Juni 2023. Festival ini pertama kali digelar pada 1990, disusul kedua kali 1999. Sejak 2003 Festival Film Uni Eropa diadakan setiap tahun di bawah nama Europe on Screen.
Film yang bercerita soal bagaimana keluarga Eropa masa kini melewati duka juga bisa kita lihat dalam Esther's Orchestra dari Denmark. Film ini menggambarkan bagaimana suami Esther, merespons kematian Esther. Alih-alih menangis, ia justru bergumul dengan dirinya mengenai cara yang tepat untuk mengabarkan kepada anak-anaknya bahwa ibu mereka telah meninggal.
Sutradara film ini, Alexander Sagmo, menjelaskan, orang Denmark secara kultural tertutup, apalagi untuk urusan keluarga. ”Tetapi, semakin ke sini, kami mencoba lebih terbuka dan mau terlibat saling membantu,” katanya.
Ia melihat ada perubahan pada masyarakat Denmark terlebih dalam situasi ketika Eropa terdampak oleh perang dan krisis ekonomi. Menurut dia, perubahan itu mesti dipandang sebagai fenomena di mana orang lebih optimistis terhadap realitas yang ada.
Tahun ini tema keluarga dan kesehatan mental seperti yang disajikan Comedy Queen dan Esther's Orchestra juga bisa ditemukan pada film Irlandia berjudul Ann. Film ini diangkat dari kisah nyata tentang seorang gadis berusia 15 tahun bernama Ann Lovett. Ann harus kehilangan nyawa usai melahirkan diam-diam di samping Goa Maria. Anak yang dilahirkannya pun turut meninggal.
Dalam film ini, digambarkan mental remaja yang luluh lantak tanpa dukungan keluarga seusai mengetahui dirinya hamil. Lingkungan sekitar yang sangat religius pun turut menghakiminya. Bahkan empat bulan sebelum kematiannya, Irlandia baru saja mengumumkan hasil referendum yang menolak aborsi untuk menjamin hak hidup bayi.
Film bertema kesehatan mental ini masuk dalam kategori drama. Selain drama, festival ini juga menampilkan film aksi, komedi, animasi, dan horor. Sebagian ceritanya seru, sebagian mengharu biru.
Tidak dingin lagi
Festival Co-Director EoS 2023 Meninaputri Wismurti mengatakan, film Eropa tidak lagi seperti dulu yang susah dimengerti. ”Kalau dulu film Eropa dikenal dingin, sekarang lebih berwarna-warni, dan ceritanya semakin seru,” ujarnya di Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Apa yang disampaikan Meninaputri juga bisa kita lihat dari perubahan nuansa dalam film-film Eropa masa kini. Warna film cenderung cerah alih-alih redup.
Dalam memilih film, Meninaputri Wismurti bermitra dengan Festival Co-Director Nauval Yazid menempatkan diri sebagai penonton Indonesia. Mereka berburu cerita pada festival-festival film internasional. Sejumlah cerita menarik yang temanya terhubung dan bisa diterima penonton dibawa ke Indonesia.
”Dari tahun ke tahun tren film berubah. Tahun ini genre komedi dan ringan banyak dinikmati karena ada semacam eskapisme atau keinginan lepas dari pandemi,” ujar Nauval.
Stigma mengenai film festival Eropa yang susah dimengerti coba didobrak melalui pemilihan film pembuka komedi romantis asal Austria berjudul First Snow of Summer yang ditayangkan di ruang pertemuan kebudayaan GoetheHaus Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Film dibuka dengan suasana stasiun bawah tanah Vienna, Austria, yang tidak pernah tersentuh sinar matahari. Di stasiun ini terdapat pertemuan, perpisahan, dan cerita kehidupan yang jarang diketahui orang. Tempat ini menjadi dunia bagi Alexander yang setiap hari bekerja di sana.
Sejak kecil Alexander berjanji tidak akan pernah jatuh cinta agar ia tak hidup seperti ayahnya yang kesulitan move-on setelah sang istri meninggal. Di stasiun, Alexander melanggar janjinya setelah secara tak sengaja bertemu penjual topi bernama Caro. Selama 30 menit pertama, cerita berjalan lambat dan agak membosankan. Cerita tersebut berkembang dan menjadi sulit diprediksi setelah Alexander mengetahui sisi lain Caro.
Kisah ini dibawakan dengan nuansa dongeng lengkap dengan narasi yang dibacakan oleh pengisi suara, serta dilengkapi oleh momen-momen lucu, seru, dan menggugah.
Nauval Yazid mengakui pemilihan film pembuka itu didasarkan pada kecenderungan penonton Indonesia yang suka menonton film drama komedi, yang lebih mudah untuk dimengerti.
Ragam isu film Eropa
Kisah lain dengan tema serupa berjudul She’s the One asal Italia.She’s the One danFirst Snow of Summer punya kesamaan dalam mendramatisasi hubungan asmara dengan kadar manis dan asam yang masih dapat diterima, serta nyaris tanpa cela dalam hal estetika. Kedua film ini sama-sama menghibur.
Sutradara asal Italia, Marco Martani, mengatakan, rasa penasarannya terjawab setelah melihat respons penonton. ”Ada hal yang menurut publik Italia lucu, ternyata di Indonesia juga sama,” ujarnya.
Dalam membuat film, Marco berhati-hati dengan elemen komedi. Cerita komedi umumnya melebih-lebihkan suatu kejadian sehingga berhasil mengundang tawa penonton. Elemen komedi pada setiap masyarakat berbeda tergantung latar belakang, konteks, dan strukturnya.
She’s the One memuat kisah tentang Andrea yang menjelang pernikahan ragu-ragu terhadap pasangannya, Laura. Pada suatu malam, tokoh utama film ini bangun dalam dimensi waktu berbeda. Struktur metaverse mengingatkan pada petualangan penuh aksi dan sci-fi dalam film Everything Everywhere All at Once.
Marco menjelaskan, film itu didasarkan pada pengalaman personal lalu digabungkan dengan sisi irasional. Tokoh Laura yang ceroboh, pandai menulis dan menggambar, serta mudah insecure, merupakan gambaran istrinya. Hubungan Andrea yang renggang dengan ayahnya juga mencerminkah relasi sang sutradara dengan ayahnya.
Film ini dibuat di tengah masa pandemi. Situasi pandemi membuat aktivitas serba terbatas. Marco kemudian mengembangkan ide film ini bersama istrinya. Menurut Marco, hal paling penting dalam membuat film yang menyentuh adalah menceritakan hal yang benar-benar terjadi. ”Tidak ada kepura-puraan di situ, dengan begitu film bisa diterima.”
Baca juga: Angin segar untuk film Indonesia
Meski demikian, Europe on Screen 2023 tetap menyisakan ruang untuk film-film dengan tema yang lebih politis dan lebih rumit dari sekadar tema keluarga dan urusan cinta. Film Somewhere Over the Chemtrails dari Republik Ceko dan Totem dari Belanda, misalnya, mengangat isu identitas dan rasisme. Meski demikian, kedua film ini tetap mudah dimengerti karena dikemas dengan cara menggugah dan bernuansa komedi.
Film Somewhere Over the Chemtrails mengungkapkan bagaimana ujaran kebencian terhadap kelompok pendatang membuat masyarakat yang tadinya hidup rukun jadi saling curiga. Sementara itu, Totem mengangkat kisah Ama, bocah berusia 11 tahun asal Senegal yang berjuang mencari suaka agar bisa tinggal di Belanda. Dalam proses pencarian itu, Ama dibantu oleh hewan spiritual berupa landak raksasa bernama Totem.
Apa yang ditampilkan dalam Europe on Screen tahun ini barangkali hanya mewakili sebagian persoalan yang dihadapi masyarakat Eropa saat ini. Dan, persoalan-persoalan yang mereka hadapi ternyata juga dihadapi oleh masyarakat Asia dan Indonesia seperti persoalan kesehatan mental, remaja yang merana karena hamil sebelum menikah, konservatisme, dan terorisme.
Di luar itu, masih banyak persoalan lain yang dihadapi masyarakat Eropa hari ini mulai persoalan besar seperti dampak perang Ukraina-Rusia dan krisis ekonomi hingga persoalan serbuan jutaan tikus di Paris, Perancis, yang dijuluki kota nan romantis.
Persoalan yang ketiga ini entah kita pandang sebagai apa: komedi atau tragedi?
Terserah Anda saja!