Di Kala Rimba Bersanding Istana
Lembaga Perupa Kalimantan Timur merespons rencana pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara melalui seni rupa.
Putri Karang Melenu dengan tangan kiri menggapit guci berdiri di punggung hewan mitologi Kalimantan, Lembuswana, yang sedang terbang. Ini lukisan simbol pembawa kemakmuran yang diisyaratkan terjadi di Ibu Kota Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Rohmad Taufiq (55) kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, puluhan tahun menjadi perupa sekaligus pendidik di sebuah SMA di Bontang, Kalimantan Timur. Sebelumnya, ia menuntaskan studi di Jurusan Seni Rupa Fakultas Seni dan Bahasa Universitas Udayana, Bali, pada 1993.
Sekitar lima tahun lalu, ia menghimpun sekitar 45 perupa di Kaltim. Mereka membentuk Lembaga Perupa Kalimantan Timur (LPK).
Saat ini LPK merespons rencana pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara melalui seni rupa. Sebanyak 42 lukisan karya 13 perupa lolos seleksi kurator Galeri Nasional Indonesia (GNI), Citra Smara Dewi. Karya-karya itu dipamerkan dengan tajuk ”Antara Kecemasan dan Harapan” di GNI, Jakarta, 6-28 Mei 2023.
Bentuk kecemasan terpusat pada persoalan ekologi. Dampak keberadaan IKN dan perkembangannya kelak sudah banyak disinggung bakal menyimpan petaka bagi kelestarian hutan tropis dan seisinya di Kalimantan, termasuk ancaman terhadap habitat satwa endemik, seperti orangutan dan burung enggang.
Sebagai perupa yang menggantungkan hidup di Kaltim, Rohmad menyadari bentuk kecemasan-kecemasan seperti itu. Ia berusaha menemukan peluang untuk membalik kecemasan menjadi harapan tentang lingkungan yang harus dijaga.
Rohmad menggali cerita lokal tentang Putri Karang Melenu atau Putri Sungai Mahakam dan Lembuswana. Lembuswana memiliki ekor dan bentuk kepala kombinasi antara lembu yang bertanduk, serta kepala gajah yang memiliki belalai dan gading yang kuat. Lembuswana memiliki dua sayap dan empat kaki dengan cakar elang yang runcing. Ini legenda yang masih berdenyut di benak masyarakat Kaltim.
”Saya menuangkan kisah Putri Karang Melenu dan Lembuswana ke dalam lukisan yang berjudul, ’Merajut Asa di Kala Rimba Bersanding Istana’ (2023). Ini tentang sebuah harapan, jika kelak Ibu Kota Nusantara benar terwujud di Kaltim, bisa mewujudkan cerita perjuangan Putri Karang Melenu demi kelestarian hutan dan seisinya, serta memberi kemakmuran bersama,” ujar Rohmad di Bontang, Kamis (11/5/2023).
Mitologi Putri Karang Melenu dikisahkan menunggang Lembuswana terbang mengitari tanah Kalimantan. Ia memercikkan air dari guci yang dibawanya. Alkisah, air itu memberi kesuburan pada tanah Kalimantan. Percikan air itu juga memberi kekayaan alam berupa kandungan minyak dan batubara.
Bersanding hutan
Masyarakat Kalimantan selama ini sudah hidup bersanding dengan hutan. Ini menjadi sorotan menarik karena kerusakan dan penggundulan hutan terjadi setelah masuknya para pelaku industri dari luar Kalimantan.
Rohmad memiliki istri yang menetap di Samarinda. Setiap akhir pekan ia harus pulang ke Samarinda yang berjarak sekitar 120 kilometer itu. Di sepanjang perjalanan Rohmad sering mampir dan menjumpai masyarakat setempat. Ia menyaksikan di antara mereka memang terjalin keselarasan hidup antara masyarakat dan hutannya.
Beberapa kali dari Samarinda, Rohmad mengunjungi titik nol IKN di Penajam Paser Utara. Beberapa waktu lalu, ia melihat di hutan yang sudah gundul, mulai terlihat ada upaya menghutankan kembali dan sudah tampak menghijau. Ia menjumpai mayoritas masyarakat di sana memiliki kebanggaan atas rencana istana di IKN.
”Masyarakat setempat pada umumnya bangga atas rencana bentuk istana yang dibuat seniman Nyoman Nuarta. Nuarta mengusung identitas bersama dan tugas saya sekarang menggugah semangat masyarakat lokal dengan kisah Putri Karang Melenu dan Lembuswana,” ujar Rohmad.
Dari seluruh lukisan yang dipamerkan, tak ada yang frontal atau tegas menolak rencana IKN di Penajam Paser Utara. Upaya menghadirkan unsur mitologi masyarakat setempat juga dinilai sangat strategis dalam merawat hubungan yang harmoni.
Baca juga: Kisah Si A Piao yang Tak Selalu Lucu
”IKN sebagai ibu kota negara yang baru adalah spirit baru, paradigma berpikir baru, akselerasi pembangunan baru demi melahirkan peradaban baru, demi menyempurnakan peradaban yang lama,” ujar Citra.
Selain harapan baik, kecemasan yang ada juga patut diperhatikan. Wilayah IKN mungkin saja akan terkelola dengan baik. Hutan-hutan di sekitarnya mungkin saja tumbuh dan terawat dengan baik. Namun, proyeksi tumbuhnya kota-kota besar baru sebagai penyangga IKN bukan mustahil bakal mendatangkan persoalan tersendiri di kemudian hari.
Di dalam pameran ini, Citra menetapkan hasil karya 13 perupa Kaltim yang meliputi Surya Darma, Syamsul Arifin, Rudy Prasetya (dari Balikpapan), Rohmad Taufiq dan Mintosari (Bontang), Amir Patang, Harianto, dan Sugeng Haryanto (Samarinda), Kusdirokit dan Julia Tejaningsih (Tenggarong), Agus Panca Wardany, Agung Suroso, dan Dharmawan Budhi Utomo (Kutai).
Guci pertaruhan
Ada lukisan seorang pria Dayak sedang membawakan tarian perang. Pria itu membawa sebilah pedang dan sebuah tameng. Di depannya ada sebuah guci yang sedang ia jaga. Lukisan karya perupa Mintosari itu diberi judul ”Guci Pertaruhan” (2023).
”Ini kisah pemuda Dayak yang ingin turut menjaga amanah dalam mewujudkan IKN di Penajam Paser Utara,” kata Mintosari.
Mintosari terinspirasi peristiwa Presiden Joko Widodo yang mengumpulkan tanah dan air dari semua provinsi di Indonesia. Tanah dan air itu kemudian dipersatukan di dalam sebuah guci. Mintosari menyebutnya sebagai guci pertaruhan karena ini menjadi pertaruhan bagi masa depan bangsa dalam mempertahankan persatuan dan kesatuannya.
Ada kesamaan guci yang digunakan Presiden Joko Widodo dan Putri Karang Melenu. Keduanya dibingkai menjadi narasi yang sama sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemakmuran bersama.
Memperjuangkan IKN tentu tidak mudah. Mintosari menampilkan karya lukisan berikutnya yang diberi judul ”Tetap Tegar di Masa yang Sukar”.
Ia menampilkan lukisan patung seorang pria Dayak membawa lembing beserta senjata lainnya. Lukisan patung itu dibuat dengan warna bernuansa batu, bukan kayu sesuai tradisi seni pahat Dayak. Mintosari mengambil metafora batu karena tidak lekang oleh waktu. Batu tidak akan melapuk seperti kayu.
Pesan tajam juga dilukiskan perupa Dharmawan Budhi Utomo dalam karyanya ”Antara Aku, Ibuku, dan Ibu Kota” (2023). Seekor induk orangutan menggendong anaknya yang masih kecil meninggalkan hutan yang sudah berubah menjadi gedung-gedung tinggi.
”IKN nantinya akan memiliki luas 256.142 hektar atau empat kali luas DKI Jakarta. Eksploitasi alamnya pasti berdampak pada makhluk hidup di dalamnya,” ujar Dharmawan.
Konsep IKN menjadi smart forest city harus terus dikawal. Habitat manusia dengan insfrastruktur kota harus menjadi bagian dari ekosistem hutan. Maka, wajarlah jika kecemasan dan harapan seperti dua wajah dari satu keping koin mata uang yang sama.