Seni Rupa dan Tantangan Sauvinisme
Para seniman peserta menyajikannya berupa simbol atau ikon mengandung metafora yang masih harus diselami oleh para penikmatnya. Mungkin saja makna yang dikandung di dalam simbol-simbol itu tidak mudah untuk ditelan.
Pameran seni rupa kontemporer yang diberi label artina.sarinah untuk pertama kalinya digelar di Sarinah, gedung perbelanjaan modern pertama di Jakarta. Di situ tantangan keindonesiaan dijabarkan, termasuk sauvinisme, perasaan cinta tanah air berlebihan.
Pada malam pembukaan, Jumat (16/12/2022), tantangan sauvinisme tidak tersingkap panjang lebar. Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang membuka pameran ini, lebih banyak merespons persoalan pajak di ranah seni rupa yang sebelumnya disinggung-singgung Direktur Artistik artina, Heri Pemad.
Heri Pemad, yang memiliki nama asli Heriyanto, menjadi penggagas pameran ”artina” (”a” dalam huruf kecil) ini. Ia perintis pameran tahunan Artjog di Yogyakarta sejak 2008 dan Artbali di Bali sejak 2018. artina dari kata ”art” sebagai seni dan ”ina” sebagai singkatan Indonesia, menjadi perluasan pameran seni rupa kontemporer Indonesia.
Sri Mulyani pada kesempatan itu juga menyampaikan, Kementerian Keuangan sudah berhasil mewujudkan janji Presiden Joko Widodo untuk menyediakan dana abadi kebudayaan sebesar Rp 5 triliun. Sauvinisme jauh dari sentuhan percakapan yang serius.
Kurator pameran artina, Agung Hujatnika dan Bob Edrian, memaklumkan persoalan sauvinisme ini di dalam catatan kuratorial yang dituliskan di salah satu dinding pameran. ”Dalam pameran ini, ’Nusantara’ (keindonesiaan) justru tampil dalam wujud yang menghindar dari stereotipe dan sauvinisme budaya yang sempit”.
Seperti apa wujud tampilan karya seni rupa kontemporer yang menghindar dari sauvinisme yang sempit itu? Menurut Agung, para seniman peserta menyajikannya berupa simbol atau ikon mengandung metafora yang masih harus diselami oleh para penikmatnya. Mungkin saja makna yang dikandung di dalam simbol-simbol itu tidak mudah untuk ditelan.
Baca juga: Foto dan Kekosongan dalam Lukisan
Sauvinisme juga seperti apa? Boleh jadi, menurut Agung, justru negara yang paling berkontribusi terhadap sauvinisme budaya. Misalnya, klaim atau pendeklarasian beragam produk kebudayaan sebagai milik bangsa ini seperti batik, wayang, gamelan, atau pusaka keris tanpa disertai upaya maksimal dalam merawat dan mengembangkannya. ”Sauvinisme” seperti ini mudah kita rasakan sekarang.
”Sauvinisme menjadi bagian penting dalam menanamkan nasionalisme, tetapi tentu hal ini ada masanya. Ini akan lebih tepat jika disampaikan pada saat 20 sampai 30 tahun Indonesia setelah merdeka dan sekarang sudah tidak menjadi relevan lagi,” ujar Agung, yang mengambil tema pameran ”Artina, Wastu/Loka/Kala”. Pameran ini berlangsung 17 Desember 2022 hingga 19 Februari 2023.
Tema ”Wastu/Loka/Kala” memiliki sinonim Wujud/Tempat/Waktu. Seni budaya memiliki wujud, tempat, dan waktu, begitu pula seni budaya Nusantara sebagai hasil persilangan dan evolusi berbagai nilai.
Ritual tradisi
Sebagian tradisi juga mengalami sebuah ujian. Ini digambarkan peserta pameran asal Bali, Jemana Bayubrata Murti (25), lewat karya-karya relief yang dicetak dengan teknologi kecerdasan buatan yang bertolak dari realita ritual tradisi di Bali.
”Ritual tradisi yang semestinya menggunakan tetabuhan musik atau gamelan itu sekarang begitu mudah digantikan dengan tata suara yang diambil dari Youtube. Tidak ada lagi orang yang memainkan musik karena lebih gampang dengan menggunakan teknologi itu,” ujar Jemana, yang tinggal di Denpasar, Bali.
Dua tahun yang lalu Jemana lulus dari pendidikan seni di Nanyang Academy of Fine Arts (NAFA) di Singapura. Ia menempuh studi selama empat tahun di sana, kemudian kembali ke Bali.
Tergantikannya tetabuhan musik atau gamelan asli dengan musik dari internet, bagi Jemana, berpotensi menghilangkan proses regenerasi. Kesempatan untuk memainkan alat-alat musik tradisional dikhawatirkan hilang sehingga ada kemungkinan besar menuju kepunahan.
Jemana tidak bermaksud untuk memberikan solusi. Ia hanya ingin menggugah kesadaran itu melalui karya relief yang dibuatnya dengan teknologi kecerdasan buatan tersebut.
Ia mengambil citra tiga dimensi sebuah tatahan atau ukiran Bali kuno yang diolah dengan komputer menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Kemudian citra itu dicetak dengan mesin cetak trimatra atau 3D printing.
”Hantu dari masa depan merupakan sebutan Jemana bagi karya-karya yang dilahirkan dengan perangkat-perangkat teknologi terkini itu. Saat ini kita dihadapkan pada teknokultur yang bisa mengaburkan batas-batas waktu antara kini dengan masa lalu.
Peserta lainnya, Eko Prawoto (63), seorang arsitek asal Yogyakarta, menyuguhkan instalasi ”Menguak Jejak Kapak”. Sedikitnya, ada 38 jenis kapak pertukangan mulai kapak batu hingga beraneka bentuk kapak tradisional yang pernah dijumpai melekat pada tradisi masyarakat Jawa.
”Saya ingin menunjukkan fenomena sekarang berupa amnesia budaya. Jejak kapak-kapak tradisional seperti ini mulai tidak dikenali lagi sebagai alat ketukangan di tengah masyarakat,” ujar Eko Prawoto.
Jejak kapak yang dipamerkan itu merupakan rangkaian perkembangan kapak sebagai teknologi pertukangan yang pernah ada. Dimulai dari kapak batu yang diperolehnya dari Pacitan, Jawa Timur, sampai jenis-jenis kapak masyarakat Jawa lainnya, seperti pethel, jingklak, dan wadung.
Jenis kapak pethel berukuran kecil digunakan untuk pertukangan kayu yang paling ringan. Kapak jingklak untuk membelah-belah kayu, sedangkan kapak wadung untuk menebang pohon. ”Ini simbol pengetahuan lokal yang sudah mengalami kepunahan. Alat-alat seperti ini sekarang sudah jarang dipakai,” ujar Eko Prawoto, yang melihat keterputusan penggunaan alat pertukangan lokal berdampak pada kehidupan industrinya.
Seniman asal Papua, Dicky Takndare dan Albertho Wanma, yang kini menetap di Yogyakarta, menghadirkan instalasi karya tiga dimensi yang juga menggelitik. Simbolismenya mungkin saja menyentuh persoalan sauvinisme.
Mereka memungut cerita rakyat Mairi. Mairi merupakan tanah harapan yang penuh kedamaian. Hampir setiap orang yang berusaha menuju Mairi selalu gagal atau hilang di dalam perjalanan.
Baca juga: Antara Ada dan Tiada
Akhirnya, ada satu anak kecil yang bisa menemukan Mairi. Sebelumnya, hanya anak kecil itulah yang mau mendengarkan petuah-petuah dari laki-laki tua yang bijak.
Kisah Mairi menyiratkan pentingnya ketulusan dan kemurnian hati seperti anak kecil yang mau mendengarkan petuah dari leluhurnya. Di sisi lain, Dicky dan Albertho melalui instalasi tiga dimensinya itu menunjukkan kondisi anak- anak yang diabaikan, justru menjadi korban konflik.
”Persoalan-persoalan keindonesiaan begitu tampak jelas di dalam pameran ini,” ujar Heri Pemad, yang mendorong perluasan dan peleburan tradisi penciptaan karya seni kontemporer di Indonesia saat ini.
Pameran ini juga memproyeksikan adanya ranah kreativitas yang menembus kekakuan batas-batas wujud (wastu), ruang (loka) dan waktu (kala). Selain itu, pameran ini menawarkan cara pandang yang dinamis dalam melihat Indonesia hari ini.
Deretan seniman lain yang turut menampilkan karya mereka, antara lain, Asha Darra, Alfiah Rahdini, Bibiana Lee, Citra Sasmita, Dicky Takndare, Dwi Oblo, Dwi Sasono, Eddy Susanto, Eko Prawoto, Galam Zulkifli, Hansen Thiam Sun, Joko Avianto, Made Agus Darmika, Mella Jaarsma, Melati Suryodarmo, Meta Anjelita, Nano Warsono & Jogja Disability Arts, Popok Tri Wahyudi, Putu Sutawijaya, Radi Arwinda, Rubi Roesli, Ruth Marbun, Sasya Tranggono, Sigit Pamungkas & Gregorius Supie Yolodi, Sri Astari, Teguh Ostenrik & Yayasan Terumbu Rupa, Titarubi, dan Yani Mariani Sastranegara.
Para seniman menampilkan khazanah pengetahuan dari tradisi keindonesiaan yang hidup dan bertahan dari waktu ke waktu di tengah tantangan sauvinisme.