Christmas Carol, Tradisi Natal Pelipur Lara
Anak-anak berjubah putih lengkap dengan topi Sinterklas bernyanyi kidung Natal dengan merdu. Ini menjadi pertanda. Natal segera tiba....
”Gita surga bergema/’Lahir Raja Mulia!’/Damai dan sejahtera/Turun dalam dunia/...” Alunan tembang ”Gita Surga Bergema” ini bergaung di jalan penghubung sebuah pusat perbelanjaan dari anak-anak berjubah putih lengkap dengan topi Sinterklas. Lagu ini bukan sekadar senandung pujian bagi yang merayakan Natal, melainkan juga menjadi pertanda. Natal segera tiba....
Di samping pohon natal pada Minggu (18/12/2022) sore, anak-anak yang berasal dari Rumah Hati Suci, sebuah panti asuhan di Jakarta Pusat, menyanyikan sejumlah lagu-lagu Natal yang populer juga dengan sebutan Christmas Carol.
Salah satunya ”Gita Surga Bergema” yang dalam versi aslinya berjudul ”Hark, The Herald Angels Sing” besutan Charles Wesley pada 1739. Namun, nada yang kini dikenal merupakan gubahan dari Felix Mendelssohn pada 1840.
Selain lagu ini, judul lain seperti ”Silent Night”, ”Joy to The World”, ”O Come All Ye Faithful”, ”O Holy Night”, ”The First Noel”, hingga ”Jingle Bells” selalu berulang dibawakan kelompok vokal dengan versi yang beragam jelang Natal. Tidak hanya di Indonesia, nyaris banyak negara di berbagai belahan dunia memiliki tradisi ini.
Baca juga: "Christmas Carol" Hangatkan Suasana Jelang Perayaan Natal di Jakarta
Lalu, sejak kapan sebenarnya lagu-lagu Natal yang disebut Christmas Carol menjadi suatu kebiasaan?
Mundur jauh ke abad ke-4, semula lagu berbahasa Latin selalu berkumandang di gereja untuk memuji Tuhan sebagai bentuk ibadah. Namun, pada abad ke-9, kumandang lagu ini makin gencar jelang Natal. Pada abad ke-13, di bawah pengaruh Santo Fransiskus dari Asisi, lagu-lagu Natal yang kemudian berkembang pada lirik-lirik populer saat ini yang tidak lagi terbatas pada kelahiran Kristus diterjemahkan ke berbagai bahasa. Saat itu, ada bahasa Perancis, bahasa Jerman, dan bahasa Italia. Baru pada 1426, lagu-lagu rohani yang bertransformasi menjadi lagu Natal ini diterjemahkan ke bahasa Inggris.
Perlahan, setiap negara mengadopsi sendiri caranya melanggengkan Christmas Carol ini jelang Natal. Di Amerika Serikat, misalnya, awalnya fokus pada anak-anak yang berkeliling dari rumah ke rumah, mirip seperti ketika Halloween. Namun, kali ini, bukan berkostum seram dengan ucapan ”Trick or Treat!”, tapi dengan bernyanyi merdu menyanyikan kidung Natal yang indah.
Ini mirip juga dengan di Yunani dan Siprus. Terlebih pada 1872, saat budaya Christmas Carol ini diadopsi. Anak-anak akan berkeliling. Tidak hanya bernyanyi, sebagian anak bahkan membawa alat musik akustik untuk mengiringi para penyanyi.
Berderma
Kegiatan ini pun kian berkembang tujuannya. Dari berkeliling untuk menghibur, mulai menjadi sarana untuk mengumpulkan derma di malam Natal. Ya, Christmas Carol ini mengambil momentum saat malam Natal.
Anak-anak yang berkeliling pun kian spesifik. Salah satunya anak-anak panti asuhan. Serupa dengan yang dilakukan anak- anak dari Rumah Hati Suci. Selain mengetuk orang untuk terpanggil berdonasi, bagi anak-anak Rumah Hati Suci bernyanyi kidung Natal ini merupakan suplemen jiwa dan wujud penghiburan bagi mereka.
”Memang keluarga kita enggak selengkap orang-orang pada umumnya, Natal bisa berkumpul keluarga. Namun, karena kita hidup dengan anak-anak panti asuhan, ya keluarga kita adalah teman-teman yang tinggal bersama. Namun, biasanya kita enggak merasa kekurangan sih karena ada saja berkatnya,” tutur Clara Liliani (22), yang merupakan salah satu anggota kelompok vokal dari Rumah Hati Suci ini.
Sebagai seseorang yang telah tinggal selama 12 tahun di Panti Asuhan Hati Suci, Clara telah menganggap seluruh warga panti jadi kakak dan adiknya. Kehangatan yang diperolehnya jadi bekal untuk melangkah selama ini.
Baca juga: Mereka yang Rindu Kasih Ibu
Anak dari panti asuhan yang sama, Florentin Dwirona Putri (14), menyatakan hal serupa. Ia tak menampik jika banyak orang berpikir anak panti asuhan menyedihkan karena latar belakangnya.
”Menurutku, tinggal di panti asuhan juga suatu berkat karena enggak semua orang di luar sana bisa merasakan apa yang aku rasakan,” kata Florent.
Dalam perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini, Clara dan Florent kembali menggunakan suara emasnya untuk bernyanyi di hadapan orang banyak bersama anak panti lainnya menggemakan lagu Natal yang menghangatkan suasana Desember yang dingin.
Walau demikian, seluruh warga panti asuhan menerima dengan terbuka uluran tangan para donatur. Tindakan ini sekaligus upaya jalin kasih sekaligus memupuk persaudaraan antarsesama.
Menurut kakak asuh anak-anak panti, Martha Veronica, interaksi anak-anak dengan beragam orang baru kemudian tampil di hadapan publik merupakan bagian pembelajaran. Kegiatan-kegiatan itu diharapkan bisa mendongkrak kepercayaan diri mereka.
Ilmu kehidupan pun terselip kala anak-anak berlatih menyanyi sebagai tim paduan suara. Pengajar vokal dan paduan suara, Luciana Dharmadi Oendoen, kerap menekankan bahwa pertemuan dengan banyak orang jadi modal untuk menyambut dunia yang sesungguhnya.
Berbicara ilmu kehidupan, hal ini mengingatkan pada buku Charles Dickens yang bertajuk A Christmas Carol. Buku ini kemudian diadaptasi menjadi komik hingga film.
Meski tak berisi lantunan nada indah, kisah yang diceritakan Dickens lewat tokoh utama Ebenezer Scrooge yang membenci Natal ini memberikan makna keindahan kasih saat Natal yang juga termuat dalam kidung Natal.
Scrooge pun memperoleh teguran melalui hantu masa lalu, hantu masa kini, dan hantu masa datang. Dalam babakan kisahnya, ada yang mengisahkan juga Scrooge kerap mengusir anak-anak yang mengetuk pintunya untuk menyanyikan kidung Natal. Alih-alih meluluhkan hatinya, ia berkata kasar pada anak-anak saking bencinya ia dengan Natal. Namun, akhirnya Scrooge memahami makna kasih, seperti pesan dari lagu-lagu Natal.
Berkembang
Kegiatan Christmas Carol ini wajar di negara yang umumnya telah menjadikan Natal sebagai tradisi budaya, tidak lagi ritual keagamaan. Di Indonesia, hal ini tentu jarang. Kidung Natal wujudnya kerap kali di ruang tertutup dan terbatas pada yang merayakan Natal dari sisi keagamaan.
Namun, sejak 2018, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menampilkan Christmas Carol sebagai bagian dari acara jelang Natal. Menariknya, nyanyian kidung Natal dari kelompok paduan suara ini tidak berada di rumah ibadah atau ruang yang hanya fokus pada kelompok tertentu, tetapi ditempatkan di ruang terbuka.
Namun, kegiatan ini terhenti ketika pandemi Covid-19 menyebar pada 2020. Dua kali perayaan Natal, sudut kota Jakarta yang sempat meriah dengan lagu-lagu Natal ini senyap.
Kepala Dinas Pariwisata dan Perekonomian Kreatif DKI Jakarta Andhika Pratama, di Jakarta, Selasa (20/12), mengumumkan agenda Christmas Carol ini kembali lagi mewarnai Jakarta jelang Natal. Acara ini dimulai sejak 19-23 Desember 2022 di tiga lokasi.
Lokasi yang ditunjuk kali ini adalah terowongan Kendal yang pernah populer gara-gara Citayam Fashion Week, Bundaran Hotel Indonesia, dan Kota Tua. Dibandingkan dengan tahun sebelum pandemi, titik ini berkurang banyak. Semula di beberapa kawasan Sudirman, Jakarta, juga dihadirkan hiburan ini.
Baca juga: Dari Kidung Natal hingga Jakarta Light Festival
Untuk jamnya, sengaja dihadirkan pada pukul 15.30-17.30 WIB, bertepatan dengan orang-orang pulang dari kerja. Lalu lalang orang-orang pun terhenti untuk menyaksikan penampilan dari kelompok paduan suara yang mengenakan kostum warna-warni ini. Keindahan suara mereka nyatanya mampu meredakan ingar bingar kendaraan di pusat kota Jakarta yang memekakkan dan bikin pening.
”Ha-ha-ha, enggak apalah ada beginian. Malah terhibur ini pulang kerja lihat beginian. Walau tahunya cuma lagu ’Jingle Bells’ ini,” ujar Sinta (27), warga Bekasi, yang berhenti sejenak menyaksikan aksi Christmas Carol di terowongan Kendal.
Sinta sendiri tidak merayakan Natal, tetapi baginya hal-hal semacam Christmas Carol ini menarik dan tidak kemudian mengganggu keyakinannya dalam beragama.
Jika ditelisik lagi, dengan nada indah lagu Natal, lara pun bisa sirna.