Kebaikan dan Kejahatan yang Relatif
Tokoh-tokoh drama tersebut memutarbalikkan kebaikan dan kejahatan yang menjadi relatif dalam dunia nyata. Betapa kebajikan belum tentu menang saat dihadapkan dengan kekuasaan.
Theatre Company Shelf asal Jepang menggelar ”The Pierced Heart” atau ”Rintrik” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (9/12/2022). Pertunjukan selama lebih kurang satu jam itu menarasikan lakon asal Indonesia sekaligus keluwesan kerabat kerjanya mengalihwahanakan karya tersebut.
Hujan, angin kencang, dan petir yang melengking memicu kecemasan warga. Sekencang-kencang suara mereka, geledek yang memecah terus saja menelannya. ”Kami kalah. Kami menyerah. Kami pasrah,” ujar mereka berulang-ulang dengan bahasa Jepang.
Layar di atas panggung mencantumkan terjemahan ujaran mereka. Kuintet pemeran menjadi narator yang bermonolog soal plot secara bergantian. Perempuan di sudut pentas diceritakan tengah dirundung malapetaka. Ia terus saja meracau tentang burung, padi, dan bumi.
Pemain-pemain lain menjerit-jerit untuk memanggil sang penyelamat. Rintrik, demikian ia disapa, tak lain hanya sekadar nenek kurus, berkulit hitam, buta, dan berbaju compang-camping. Dulu, ia gadis yang cantik. Kini, kerjaan Rintrik hanya menggali berhari-hari.
Ia mengais tanah untuk bayi-bayi yang malang. Lembah itu sebenarnya indah dan termasyhur pada masa silam. Banyak suami istri muda dan pengelana singgah untuk menyaksikan pemandangan yang menawan. Lantas, banyak bayi yang dibuang ke sana, yang mencapai 30 korban per hari.
Tak heran, lembah tersebut menjadi angker lagi senyap lantaran begitu banyak nyawa yang tak berdosa dijerembapkan. Sebab itulah desa setempat dilanda azab. Rintrik kemudian tiba untuk mengubur bayi-bayi, tak peduli hujan, bahkan badai.
Bayi-bayi merah yang tak bernyawa dicuci dengan air hujan sebelum dikebumikan. Lantaran kemuliaan hati Rintrik, ketakutan masyarakat berubah menjadi hormat hingga menganggapnya juru selamat. Mereka menawarkan nasi, lauk-pauk, dan tikar, tetapi Rintrik menolaknya. Tak malu-malu, warga tetap mengiba dengan padi yang tercerabut, harta musnah, dan badai mengamuk.
Baca juga: Dinamika Dua Wahana
Petir menyambar dan letusan dahsyat terdengar sehingga warga kocar-kacir. Suatu ketika, datanglah laki-laki lalu mengaku dirinya salah satu bayi yang dibuang. Jelas saja ia merutuki semua manusia.
Belakangan diketahui, Rintrik ternyata berayahkan perampok dan pembunuh. Ibu Rintrik diperkosa, kemudian bunuh diri. Masyarakat yang sekonyong-konyong murka, dibakar amarahnya dengan provokasi pemburu. Akhirnya, Rintrik malah jadi sasaran caci maki.
Warga menuding Rintrik antisosial, sok suci, hingga mendewakan dirinya. Pemburu dan begundal-begundalnya menggelar pengadilan jalanan. Perempuan-perempuan menangis tak berdaya menyaksikan harapan mereka satu-satunya menghadapi takdir yang mengenaskan.
Karya Danarto
Pertunjukan itu diangkat dari karya cerpenis Danarto yang memenangi lomba yang digelar majalah Horison tahun 1968. Sutradara ”Rintrik””, Yasuhito Yano, mengemukakan tragedi, akhlak, sampai tipu daya untuk menggenggam hegemoni meski dengan kesewenang-wenangan.
Tokoh-tokoh drama tersebut memutarbalikkan kebaikan dan kejahatan yang menjadi relatif dalam dunia nyata. Betapa kebajikan belum tentu menang saat dihadapkan dengan kekuasaan.
Kejahatan tak pernah usai bertarung dengan kebajikan di muka bumi, tetapi bukan berarti batasan-batasannya menjadi mutlak.
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna/kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga/orang berkata ”kami ada maksud baik”/dan kita bertanya: ”maksud baik untuk siapa?”// Demikian syair berjudul ”Sajak Pertemuan Mahasiswa” karya Rendra yang menggambarkan pertentangan tak berkesudahan itu.
Yano mengeset panggungnya dengan minimalis. Hanya tampak sebuah kursi, lembar plastik yang besar, dan mainan piano. Bukan berarti ”Rintrik” berlangsung monoton. Ia dengan lihai mengadaptasikan pergelarannya hingga sama sekali tak susah dicerna penonton lokal.
Lihat juga: Menghadirkan "Rintrik" di Lebaran Teater
Yano tak kesulitan pula menerjemahkan cerpen yang sarat dengan elemen mistis. Ia pun mahir menghadirkan irisan serupa antara konteks di tanah airnya dan Indonesia. Sutradara asal Tokyo, Jepang, itu, umpamanya, mendeskripsikan pemburu dengan kepongahannya.
Antagonis tersebut kerap menggenggam pelantang yang digunakannya untuk berkoar-koar. Ia mengenakan jaket, tanpa dalaman, lemah, dan berbadan begeng, tetapi sering membesar-besarkan omongannya. Pemburu memang figur yang sangat simbolis dalam ”Rintrik” dengan dominasi di desanya.
Di negara mana pun, peribahasa tong kosong nyaring bunyinya senantiasa berlaku. Yano menjabarkan perspektifnya dengan konteks politik. ”Dalam makna demikian, pemburu membuat dirinya kuat. Berlagak saja seperti bos besar,” kata pendiri dan Direktur Artistik Theatre Company Shelf tersebut.
Yano mengeksplorasi karakter tersebut dengan pelantang untuk menyuarakan pesan terbesarnya kepada pengunjung soal kelemahan dan kekuatan. ”Saya turut merelasikannya dengan situasi sulit. Covid-19, peperangan, perubahan iklim, sampai resesi ekonomi sangat meresahkan dunia,” katanya.
Tantangan terbesar
Seniman kelahiran Nagoya, Jepang, tahun 1975, itu hendak menguatkan audiens agar tetap tak kehilangan harapan untuk menyintasi segala kesulitannya. ”Saya pun mengalami tantangan terbesar ketika menyadur ceritanya. Susah karena saya bukan Muslim,” ucapnya.
Sementara itu, kisah asli ”Rintrik” diperkaya dengan religiusitas. Yano pun banyak berdiskusi dengan Bambang Prihadi dari Lab Teater Ciputat yang sekaligus mengenalkannya pada kreasi-kreasi Danarto. Ia pertama kali mengetahui ”Rintrik” pada 2019.
”Saya cari informasi lebih jauh dari internet. Bersama Bambang, saya juga diskusi semakin dalam lewat panggilan video,” ujarnya.
Yano pernah menggelar pementasan tersebut di Tokyo pada 2020. Ia masih bertukar pikiran dengan Bambang hingga menjelang pertunjukannya di Jakarta.
Saya tak pakai banyak properti panggung karena mau melibatkan audiens lebih aktif. Filosofinya, imajinasi penonton sangat penting.
”Persiapan sekitar satu bulan. Saya tak pakai banyak properti panggung karena mau melibatkan audiens lebih aktif. Filosofinya, imajinasi penonton sangat penting,” ujarnya. Yano meminimalkan musik, pencahayaan, dan kostum, tetapi memaksimalkan visi penonton.
Pertunjukan itu merupakan bagian dari puncak apresiasi Festival Teater Jakarta (FTJ) atau Lebaran Teater dengan tema ”Ingatan dan Kemudian” yang berlangsung pada 1-12 Desember 2022. Program tersebut diselenggarakan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Melalui FTJ, ekosistem teater dikuatkan mulai hulu hingga hilir sembari menciptakan ruang kondusif bagi pengembangannya di Jakarta. ”Harapannya, menghadirkan manfaat bagi masyarakat dalam memperoleh alternatif tontonan yang mampu mengasah kepekaan sosial dan daya sensitivitas,” kata Ketua DKJ Danton Sihombing.