”Setelah Lewat Djam Malam” mengetengahkan isu kontekstual yang tak hanya menyoroti bangsa dengan segala keringkihannya. Muda-mudi yang berdansa-dansi revolusi yang memakan anak-anaknya sendiri dibentangkan dengan subtil.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Karya monumental sutradara legendaris Indonesia, Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, diadaptasi menjadi teater yang dimainkan bintang-bintang mentereng. Keunikan disajikan dengan layar-layar untuk memutar potongan film itu yang bergerak horizontal dan vertikal.
Peti mati dengan foto Iskandar di sampingnya dan empat bangku kosong merepresentasikan kepiluan Setelah Lewat Djam Malam. Lantas, 18 pemain kerabat kerja masuk. Reza Rahadian yang memerankan Iskandar menyampaikan sambutannya selama lebih kurang 5 menit.
”Selamat malam. Kami memulai pertunjukan dari bagian akhir filmnya,” ujarnya membuka drama tersebut di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (1/12/2022). Ia mengemukakan sepasang pertanyaan kontemplatif. Siapa yang harus Iskandar ingat? Apa yang harus kita ingat?
Pementasan itu memang beralur mundur. Cuplikan-cuplikan film Lewat Djam Malam (1954) lantas berseliweran yang sinkron dengan adegan teater. Penonton lantas mafhum dengan judul tersebut yang dibedakan dengan ekshibisi kali ini. Iskandar versi layar lebar ditampilkan bergegas dengan gelisah lantaran khawatir dipergoki petugas patroli.
Revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan belum lama berkobar. Bandung, Jawa Barat, masih diliputi jam malam. Iskandar beruntung. Kalau tidak, ia bisa tewas diterjang timah panas. Entah senang atau tidak, Iskandar bisa bersua dengan tunangannya, Norma (Kelly Tandiono).
Pesan aktual
Terlebih mantan pejuang itu punya andil mengusir penjajah yang hendak bercokol kembali di Tanah Air. Iskandar malah gelisah. Pagi-pagi, ia sudah ditawari untuk berpesta. Tak perlu berlama-lama, pesan yang tetap aktual sejak Indonesia baru menggenggam kebebasannya sudah digaungkan.
”Berpesta? Entahlah, apakah kita pantas berpesta-pesta saat masih banyak rakyat di luar sana yang menderita,” kata Iskandar. Norma yang lugu hanya tertegun karena pesta itu justru untuk merayakan kedatangan kekasihnya. Dialog mereka silih berganti terdengar, antara versi layar lebar dan teater.
Pertunjukan tersebut bagai menghamparkan dinamika dua wahana seni. Layar kaca itu sekaligus memediakan tangkapan layar film, foto Marilyn Monroe, atau sekadar mosaik. Sekuens-sekuens musikal menyelingi konflik dua sejoli, keluarga, dan rekan kerja.
Perjuangan Iskandar dengan darah, keringat, dan air mata malah mengasingkannya dari peradaban. Roda pembangunan mulai bergerak pesat, tetapi ia morat-marit mencari pekerjaan. Kelas menengah atas yang menggeliat, berikut hedonisme dan hipokrisinya, menghantam Iskandar dengan gegar budaya. Jeritan korban yang dulu ia eksekusi terngiang-ngiang.
”Apakah dibunuh dan membunuh bukan sungguh-sungguh? Kau masih ingat dengan teriakan,” kata Iskandar saat mencurahkan keluh kesah kepada kawannya, Gafar (Lukman Sardi). Jeritan perempuan yang ia tembak masih terdengar jelas dalam benaknya. Wajah insan yang ketakutan menjelang ajalnya pun terbayang-bayang di pelupuk mata Iskandar.
”Baru terasa, semua baru permulaan. Aku tak tahu harus mengerjakan apa, bahkan menulis saja mungkin aku tak bisa,” ucapnya. Kekritisan kembali terlontar dengan nepotisme yang sudah terjadi sejak awal kemerdekaan. Ayah Norma menempatkan Iskandar bekerja di kantor gubernur yang justru membingungkannya. Iskandar menghajar kepala bagian yang menegur karena pekerjaannya tak beres.
Sutradara teater kawakan Yudi Ahmad Tajudin menggelar kepiawaiannya. Bersama sutradara film pertunjukan Setelah Lewat Djam Malam Yosep Anggi Noen, mereka bermain-main dengan platform berbeda. Reza umpamanya, berdialog dengan Gunawan (R Ismail) yang ditayangkan dengan filmnya.
Saat Gunawan menawari rokok dalam klip, Reza seakan-akan menyambut dan mengambilnya dari kru yang menyodorkannya dari balik layar. Rokok disulut dan Reza mengembuskan asap. Beberapa penonton terdengar mengikik. Lain waktu, aktor itu juga menerima kertas sungguhan.
”Memang, pejuang bukan aku saja. Tapi, aku tak pernah mencemarkan nama kawan-kawanku sendiri. Penipu, pengkhianat, iblis,” bentaknya. Gunawan, rekan Iskandar yang bergelimang harta, mewanti-wantinya untuk enyah saja jika ingin hidup jujur.
Segendang sepenarian, Puja (Sal Priadi), kolega seperjuangan lain Iskandar, terperosok dalam lembah hitam bersama Laila (Dira Sugandi). Ia memang berpenghidupan, tetapi masyarakat menganggapnya sampah. Kecanggungan Iskandar menghadapi kehidupan menggamblangkan ironi setelah teralienasi mereka yang menikmati buah perjuangannya.
Pergelaran selama hampir dua jam itu mengetengahkan isu-isu kontekstual yang tak hanya menyoroti bangsa dengan segala keringkihannya. Pergaulan muda-mudi dengan dansa-dansi, Gunawan dan masa lalu yang kelam, hingga revolusi yang memakan anak-anaknya sendiri dibentangkan dengan subtil.
Sejumlah pemain, antara lain Reza, Kelly, Dira, dan Sal, turut bernyanyi. Aksi mereka tak monoton karena diselingi tarian kontemporer dan musik instrumentasi, berikut set yang apik lagi kokoh. Atraksi itu dilengkapi oleh seniman tari Josh Marcy sebagai Adlin yang bergaya flamboyan.
Amat sulit
Yudi sudah menggagas Setelah Lewat Djam Malam dengan diskusi pada akhir tahun 2021. Persiapan dilanjutkan dengan lokakarya pada Maret 2022. ”Kalau casting (pemilihan pemain) Juli dan latihan mulai dengan reading (membaca naskah) September lalu,” ucapnya.
Yudi mengakui kreasinya yang amat sulit dengan menggabungkan film dan teater. Setiap wahana punya kerumitannya. ”Karakter, batasan, dan kekuatannya sendiri-sendiri. Kompleksitasnya ganda, tapi orientasi, bentuk, dan ide akan menyeleksi ekspresi yang bisa disampaikan,” ujarnya.
Yudi memilih Setelah Lewat Djam Malam karena sangat senang menonton filmnya. Usmar dinilai visioner dibandingkan dengan zamannya. ”Gagasan kebangsaannya dan tokoh seperti Laila sangat kuat. Konstruksi saat itu tak dielaborasi lebih jauh, tapi sudah memungkinkan karena restorasi filmnya,” katanya.
Ia sampai berdialog, baik lewat film, buku, dan tulisan, maupun kerabat Usmar. Yudi bertemu beberapa anak sineas bapak perfilman nasional tersebut. ”Usmar juga punya sejarah lintas disiplin dengan mendirikan Maya (kelompok sandiwara), tonggak teater Indonesia,” ujarnya.
Karakter, batasan, dan kekuatannya sendiri-sendiri. Kompleksitasnya ganda, tapi orientasi, bentuk, dan ide akan menyeleksi ekspresi yang bisa disampaikan.
Reza pun tak memungkiri tantangan terberatnya dengan ketepatan untuk bekerja sama, bukan hanya dengan pemain lain, melainkan juga pekerja di balik layar. ”Baru kali ini saya tampil dengan dua wahana. Buat saya jadi milestone (tonggak). Saya berdialog dengan apa yang disuguhkan kru,” katanya.
Berdialog dengan film mengondisikan Reza yang tak punya kesempatan menoleransi gangguan teknis, menunda gestur, dan melewatkan kesempatan untuk bicara. ”Dialog sama film, kalau tidak pas bisa tabrakan. Maknanya, teater tak harus kaku dan panggung bisa sangat dinamis,” katanya.