Kenisbian menjadi teramat kentara saat manusia berinteraksi dengan setan-setan hingga perbedaannya nyaris tak kasat mata. Roro Jonggrang yang semula diposisikan protagonis dan mencuatkan iba pun tak luput dari keculasan.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Teater Koma mementaskan Roro Jonggrang yang memfokuskan silang sengkarut keculasan tak hanya dua sejoli, tetapi juga lelembut-lelembut yang membuntutinya. Pertunjukan tersebut menyuguhkan tantangan mulai pendalaman karakter hingga gedung yang baru.
Roro Jonggrang terkenal karena kemolekan tiada tara yang bikin banyak raja mabuk kepayang. Semua lamaran ditolak, malahan ia mendambakan pemuda desa yang terus memujanya hingga tua. Roro Jonggrang senantiasa dikuntit dua embannya yang pecicilan. Seorang berlogat Batak dan lainnya kenes.
Alkisah, Roro Jonggrang bersemayam di Kerajaan Boko. Negara itu punya musuh bebuyutan Kerajaan Pengging. Perseteruan tersebut bagai bom waktu yang akhirnya meledak saat Bandung Bondowoso, putra mahkota Pengging, menyiapkan pasukannya untuk menyerbu Boko.
“Aku sakti mandraguna. Boko akan menjadi negaraku. Kalau ditolak maka hanya akan ada kematian,” katanya seraya terbahak-bahak dan menggeram. Manusia setengah raksasa yang harus kekuasaan itu merangsek dengan kekuatan luar biasa. Alhasil, Boko yang menerapkan politik defensif hancur lebur.
Bandung Bondowoso termasuk pangeran yang tergila-gila dengan Roro Jonggrang. Raja dan Ratu Boko yang tak sudi anaknya dipersunting penjajah, maju ke medan laga. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, mereka pralaya dibakar hingga abunya membubung ke angkasa.
Kematian orangtuanya mengantar Roro Jonggrang menduduki singgasana, namun tak lama karena bala tentara Pengging keburu mengharu biru Boko. Saat pilihan di depan mata tampaknya hanya kematian dengan Boko yang terancam luluh lantak jadi abu, Roro Jonggrang lekas bersiasat.
Tentu saja, syarat yang diajukan kepada Bandung Bondowoso sudah tercantum dalam hikayat. Tak lain dari 1.000 candi dan Sumur Jalatunda yang diminta Roro Jonggrang agar Bandung Bondowoso bisa meminangnya. Mas kawin pertama bisa dituntaskan dengan mudah.
Seusai Sumur Jalatunda, giliran candi-candi yang harus dibangun dalam semalam. Bandung Bondowoso yang sudah kadung dibutakan cinta diperdaya Roro Jonggrang untuk membalas kesumatnya. Ia bersumpah melampiaskan amarahnya dengan selaksa muslihat.
Bandung Bondowoso lekas bertemu para lelembut untuk memuaskan hasratnya. Sebelum kokok ayam menggema, candi-candi sudah harus selesai dibangun. Mereka bekerja dengan riang gembira seakan tak tertahankan seiring kegeraman Roro Jonggrang yang juga tak lepas dari kutukannya.
Kenisbian kentara
Pertunjukan selama lebih kurang dua jam itu sejatinya tetap ajek menyodorkan kontekstual Teater Koma yang sangat khas. Di luar legendanya yang bisa dinikmati secara linier, penulis naskah dan sutradara Nano Riantiarno menyisipkan beragam makna lewat tontonan interpretatif.
Kecurangan terjadi di mana-mana, sejak masa lampau hingga kiwari. Kenisbian menjadi teramat kentara ketika manusia berinteraksi dengan setan-setan hingga perbedaannya nyaris tak kasat mata. Roro Jonggrang yang semula diposisikan protagonis dan mencuatkan iba tak luput pula dari keculasan.
Ia toh mengelabui Bandung Bondowoso yang sepatutnya juga menggarap candi dengan jerih payah sendiri tanpa meminta bantuan lelembut sebagai wujud kecurangan. Begitu faktual dengan pertukaran sosial kekinian yang diselubungi saling sikut dalam segala bidang.
Usut punya usut, motif Bandung Bondowoso pun tak lepas dari kesejarahan Pengging yang pernah diserang Boko pada zaman dulu kala. Kecurangan berganti dengan iri dan dengki yang diwariskan turun-temurun. Selaras dengan intrik-intrik yang tak bisa dilepaskan dari para raja, patih, hingga empu di Nusantara untuk berebut takhta.
Pergelaran itu menyisakan tanya dalam benak penonton soal tekad untuk keluar dari siklus kecurangan tak berkesudahan, ataukah tetap terseret dalam lingkaran setan kemelut yang tiada akhir. Roro Jonggrang juga ditampilkan dengan kompleksitas lapisan emosi, kewibawaan, tanggung jawab, kecerdasan, keelokan, sekaligus kekuatan.
Ia pun menangis tanpa air mata demi menahan semangat juang kawulanya. Bandung Bondowoso juga tak bisa dimungkiri lekat dengan maskulinitas yang toksik. Ia memaksa mengawini sang pujaan hati, padahal sudah membunuh orangtuanya. Pada akhirnya, kebaikan dan kejahatan menjadi samar-samar lantaran insan yang terlihat baik bisa saja berlaku manipulatif.
Batas buram
Pementasan kali ini terasa lebih cerah dibandingkan narasi-narasi Teater Koma yang sebelumnya terkesan gelap. Pentas tersebut justru menegaskan bahwasanya iblis tak selalu menyeramkan dengan batas baik dan jahat yang semakin buram sebagai sarkasme.
Pemimpin Produksi Teater Koma Ratna Riantiarno mengungkapkan persiapan pertunjukannya yang penuh aral melintang. “Persiapannya sejak Juli (2022). Tadinya, mau dipentaskan September lalu, tapi gedung masih baru. Kursi-kursinya belum ada,” katanya sambil tertawa.
Pertunjukan itu diselenggarakan di Graha Bhakti Budaya, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) pada 14-16 Oktober 2022. “Luar biasa. Stres. Malah, dua hari lalu, Nano sampai marah-marah. Semua dimarahi soal lampu. Beberapa pemain mau ke gedungnya juga sempat nyasar,” kata Ratna.
Lakon yang dimainkan 45 orang dan didukung 10 pemusik itu digarap sebagai bagian dari rangkaian perayaan wajah baru PKJ TIM dan merayakan kembalinya Graha Bhakti Budaya. Atmosfer reuni jelas mengemuka karena Teater Koma adalah kelompok pertama yang berpentas di gedung itu pada tahun 1983. Lebih-lebih, Teater Koma menggelar pentas besar terakhir sebelum pandemi, yakni pada November 2019.
Ratna juga mengutarakan ikhtiarnya untuk mempersingkat durasi pertunjukan dibandingkan biasanya, atau tiga hingga empat jam. “Kalau pandemi, orang takut pulang malam. Teman-teman juga kalau latihan begitu. Kalau pakai interval saat pertunjukan, sebagian penonton enggak disiplin waktu masuk lagi,” katanya.
Teater Koma mementaskan lakon Roro Jonggrang perdananya. Naskah baru pun disiapkan dengan pertimbangan mereka menganggap penting perlunya mengangkat hikayat Nusantara. “Anak muda sekarang kiblatnya Korea dan Jepang. Padahal, kita punya kekayaan legenda,” ucapnya.
Sekar Dewantari mengakui kesulitannya yang begitu besar memerankan Roro Jonggrang. Perempuan itu diibaratkan Venus, dewi cinta dan kecantikan. “Tantangan yang sangat berat untuk sungguh-sungguh percaya Venus memang memasuki diri saya,” ujarnya.
Tabiat perempuan itu penuh liku-liku dan tak terduga. Sekar membaca dokumen tentang Boko, Candi Sewu, dan ratu-ratu di masa lalu untuk mendalami peranannya. “Sering berdiskusi dengan senior-senior juga. Kita harus beradaptasi untuk meminimalisir gangguan,” ujarnya.