Menjelang pesta demokrasi 2024, tidak ada salahnya para elite belajar pada Gayatri—putri bungsu Kertanegara, Raja Singasari, sekaligus nenek Hayam Wuruk, Raja Majapahi—yang hidup pada abad ke-13.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Bergelimang kuasa bukan berarti kehilangan kemampuan untuk menahan diri hingga akhirnya bersedia mundur dari keduniawian. Itulah pesan yang terselip dalam pementasan Opera Majapahit: Gayatri, Sang Sri Rajapatni di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Sabtu (8/10/2022).
Menjelang pesta demokrasi 2024, tidak ada salahnya para elite belajar kepada Gayatri—putri bungsu Kertanegara, Raja Singasari, sekaligus nenek Hayam Wuruk, Raja Majapahit—yang hidup pada abad ke-13. Pesan pentas teater ini sederhana, tetapi dalam, yakni mengingatkan penguasa dan mantan penguasa agar belajar membendung nafsu untuk berkuasa. Lebih baik mereka menata hidup, mempersiapkan jalan pulang.
Naskah pementasan ini ditulis Mia Johannes (46) atau akrab disapa Mhyajo. Ia juga bertindak selaku sutradara. Kisahnya diadaptasi dari kitab kakawin Nagarakertagama yang menarasikan kisah Putri Gayatri dari Kerajaan Singasari.
Sebagai putri bungsu Kertanegara, Gayatri sejak belia memperlihatkan ketertarikan pada pengetahuan tata negara. Ia berbeda dengan tiga kakak perempuan lainnya, yang kemudian semuanya dipinang Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.
Mhyajo menuturkan kisah itu dalam perbincangan yang cukup panjang seusai pementasan latihan terakhir, Jumat (7/10/2022) sore. Ia mengaku terkesan dengan hidup Gayatri yang bergelar Sri Rajapatni.
”Muncul obsesi politik Gayatri yang terlihat cukup besar, setelah peristiwa perebutan kekuasaan ayahnya, Kertanegara, oleh Jayakatwang, Raja Gelang-gelang. Gayatri ketika itu sudah dipinang Raden Wijaya dan sempat ditawan Jayakatwang,” ujar Mhyajo.
Raden Wijaya kemudian menyusun strategi pembalasan. Ia memanfaatkan pasukan Tartar dari Mongol yang datang menyerang dan hendak menaklukkan Kertanegara. Dengan bantuan pasukan Tartar, Raden Wijaya berhasil menjatuhkan Jayakatwang. Selanjutnya, ia mengusir pasukan Tartar kembali ke negerinya.
Raden Wijaya akhirnya mendirikan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Gayatri pun kembali ke pelukan Raden Wijaya.
Kemudian hadir sosok lain yang menjadi istri Raden Wijaya berikutnya. Ia dikenal sebagai Dara Petak, putri persembahan hasil ekspedisi Pamalayu yang pernah ditempuh Kertanegara di masa kekuasaannya.
Dara Petak yang bergelar Indreswari melahirkan Jayanegara yang kelak menggantikan ayahnya sebagai raja Majapahit. Pada kemudian hari, Jayanegara tewas dalam pemberontakan Ra Tanca. Setelah Jayanegara tewas, terjadi kekosongan pemerintahan Majapahit.
Di sinilah peran Gayatri yang cukup besar dalam politik Majapahit terlihat. Gayatri waktu itu diminta untuk menjadi ratu atau penguasa Majapahit. Gayatri berada di puncak kekuasaan.
Di luar dugaan, Gayatri tidak bersedia menjadi Ratu Majapahit. Ia menahan diri. Ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada putrinya, Tribhuwanatunggadewi. Gayatri selanjutnya memilih meninggalkan istana kerajaan dan menjalani masa-masa akhir hidup sebagai Bhiksuni, seorang perempuan yang menjadi pendeta Buddha.
”Gayatri kemudian menetap hingga akhir hayatnya di daerah Tulungagung. Di masa sekarang, saya menempuh perjalanan selama empat jam dari Trowulan ke Tulungagung dengan mengendarai mobil,” ujar Mhyajo, yang sejauh ini meriset sejarah Gayatri hingga memperoleh informasi bahwa akhir hidup Gayatri itu moksa.
Gayatri diyakini meninggal dalam keadaan jasadnya menghilang atau ikut terangkat ke alam lain bersama rohnya. Ia moksa di pertapaan di Tulungagung.
Mhyajo sempat menunjukkan foto lokasi pertapaan yang ada di telepon genggamnya. Tempat moksa Gayatri itu berupa ceruk berbentuk kotak persegi panjang di tebing vertikal.
Gayatri semasa hidupnya sudah menjalankan peran politik dengan sebaik-baiknya hingga membuat masa keemasan Majapahit tercapai di bawah kekuasaan cucunya, Hayam Wuruk.
Selanjutnya, Gayatri menanggalkan keduniawian. Ini menjadi teladan yang baik dan cukup kontekstual di masa sekarang. Setelah menjalankan peran politik sebaik-baiknya, Gayatri meninggalkannya demi menata hidup untuk menuju jalan pulang.
”Ini sulit terjadi di masa sekarang. Meskipun sudah menjalani masa kepemimpinannya, tokoh-tokoh politik kita masih terlibat untuk berebut kekuasaan,” ujar Mhyajo, yang menggandeng musisi etnik Franki Raden untuk menggarap Opera Majapahit-nya.
Opera Majapahit dirancang menjadi sebuah trilogi. Gayatri menjadi garapan pertama.
Pementasan sakral
Menurut Franki Raden, Opera Majapahit menjadi sebuah pementasan sakral. Baginya, sakralitas Opera Majapahit dinyatakan melalui alunan musik opera dengan iringan alat-alat musik tradisional yang tersebar di Nusantara.
”Bukankah pada mulanya alat-alat musik tradisional kita sakral dan digunakan untuk berkomunikasi dengan roh-roh leluhur?” ujar Franki, yang merancang musikalitas Opera Majapahit dengan 45 ensambel tradisional Nusantara.
Dengan berbagai pertimbangan, pada akhirnya diputuskan hanya 12 ensambel atau alat musik tradisional yang digunakan, di antaranya alat musik dari Manado, Minangkabau, Nusa Tenggara, dan Jawa.
Selain itu, tidak hanya iringan musik menggunakan alat-alat musik tersebut, Franki juga memasukkan unsur vokal manusia yang selama ini disebut sebagai mantra dari Kalimantan dan Nusa Tenggara. Sama halnya dengan musik tradisional, mantra juga upaya berkomunikasi kepada leluhur.
Mhyajo tidak memungkiri pementasan Opera Majapahit menjadi pementasan sakral. Selain menjadi sutradara, Mhyajo juga berperan sebagai satu dari dua narator. Kedua narator itu menyampaikan kisah Opera Majapahit dalam dua bahasa, yakni bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
”Pementasan Opera Majapahit yang sakral menggunakan konsep seperti lukisan monokromatik. Ini pilihan untuk memudahkan dalam melukiskan kehidupan Gayatri yang sesungguhnya penuh warna,” kata Mhyajo.
Pementasan monokromatik divisualkan dengan rancangan kostum oleh Radinindra Nayaka Anilasuta dengan nuansa warna perak atau keabu-abuan. Nayaka sendiri menemukan inspirasi monokromatik abu-abu dari arca-arca candi peninggalan masa Singasari dan Majapahit di Jawa Timur.
Hanya kostum Gayatri yang dipadu dengan warna emas. Ini menunjukkan penekanan pada karakter kemuliaan Gayatri yang seperti emas.
”Gayatri mewakili peradaban yang setara, yang tidak patriarkal di abad ke-13. Ini suatu nilai kearifan lokal dari sejarah kita yang sekarang luntur kembali,” demikian Mhyajo, yang memaknai kemuliaan Gayatri moksa meraih kesempurnaan hidup sekaligus menunjukkan emansipasi perempuan yang turut andil membentuk peradaban.