Rindu Nyi Pohaci kepada Anak-anaknya yang Hilang
Nasib petani di negeri agraris ini masih terpinggirkan. Pertunjukan teater ”Bedol Desa: Ode Tanah II” mencoba menjembatani kisah mereka jungkir balik menjaga ketahanan pangan dan masa depan lingkungan.
Bedol Desa: Ode Tanah II
Pementasan Bedol Desa: Ode Tanah II di Taman Budaya Dago Tea House, Kota Bandung, Jawa Barat, baru saja usai, Rabu (5/10/2022) sore. Sebagian penonton berhamburan naik panggung untuk memberikan selamat kepada para penampil dari Celah Celah Langit (CCL).
Akan tetapi, Gilang Cahyana (19), salah satu penampil, justru turun panggung. Ada orang istimewa di kursi terdepan. Ibunya, Ny Imas (60), datang bersama tiga anak lainnya dan seorang cucu. Mereka menembus hujan deras di Kota Bandung untuk melihat penampilan Gilang.
Gilang yang berpeluh disambut pelukan hangat. Penampilannya membuat Imas bangga. Imas bahkan meneteskan air matanya.
”Ibu merasakan kisah perjuangan petani yang kami ditampilkan. Kebetulan, kami keluarga petani yang tengah memperjuangkan lahan dari ulah mafia tanah,” kata Gilang.
Baca juga: Terpengaruh Gejolak Harga, Nilai Tukar Petani Turun
Mirip dengan kisah di panggung, air mata Imas dan keringat Gilang bukan cerita fiksi. Dalam empat tahun terakhir, mereka dan banyak tetangganya ngotot mempertahankan lahan pertaniannya dari ancaman pembangunan rumah mewah di Punclut, Bandung Barat.
Energi yang dihabiskan tidak sedikit. Fokus mengurus kebun seluas 200 meter persegi yang bisa menghasilkan 100 kilogram per panen itu terbagi dengan proses di pengadilan. Di antara lelah berjuang, pentas sore itu menjadi semangat. Petani tidak sendirian.
”Proses itu saya bagikan dalam naskah pentas kali ini. Ada secuil kisah dari perjuangan ibu dan petani lain di Punclut yang menunggu didengarkan banyak orang,” kata Gilang.
Memuliakan petani
Sutradara Bedol Desa : Ode Tanah II, Iman Soleh, mengatakan, pentas ini adalah kelanjutan dari tiga karya lainnya tentang lingkungan dan ketahanan pangan yang masih menjadi masalah besar di negeri ini. Tiga karya itu adalah Air yang ditampilkan 2006-2009, Tanah Ode Kampung Kami (2010-2015), dan Petani, Sawah di Kepalamu (2015-2018).
”Harapannya, proses yang kami lakukan bisa ikut memuliakan para petani di pelosok negeri. Selain di Bandung, akan ditampilkan juga di persawahan Purwakarta, Kuningan, hingga Majalengka,” katanya.
Manajer produksi, Mahesa el Gasani, mengatakan, seperti karya sebelumnya, Bedol Desa : Ode Tanah II melibatkan kisah yang dikumpulkan bersama. Ada 23 petani, aktivis lingkungan, pegiat seni, hingga mahasiswa yang mengolah ide sejak tahun 2019. Gilang adalah salah satunya.
Proses panjang itu, kata Mahesa, menjadi bagian penting. Selain menentukan isi cerita, para penampil turun ke lapangan untuk observasi selama berbulan-bulan. Tujuannya guna mendapatkan pemahaman utuh tentang kebiasaan di masyarakat untuk ditampilkan dalam pementasan kurang lebih 1 jam itu.
Baca juga : Konflik Agraria Ancam Kesejahteraan Petani
Hingga akhirnya setelah melewati proses panjang, Bedol Desa : Ode Tanah II siap ditampilkan tahun ini. Sebelum di panggung Taman Budaya, karya ini sudah digelar di alam terbuka di Ledeng, Bandung, markas CCL, pada 1 Oktober 2022.
Meski tampil di gedung, mewakili kesahajaan petani, para penampil berpakaian serba hitam. Mereka ditemani batang-batang bambu panjang, tangga dari bambu, kain batik, hingga jerami yang menggantung dan berserakan di lantainya.
”Jerami kami cari sampai ke Subang. Susah mencarinya di Kota Bandung,” kata Iman. Jarak Bandung-Subang sekitar 50 kilometer.
Pementasan ala teater rakyat yang cair tetap menjadi pilihan. Tingkah jenaka dan satir menjadi jembatan untuk lebih dekat dengan ratusan penonton, sebagian besar anak muda.
Contohnya, saat penampil dipaksa melihat deru membabi buta pembangunan, ada salah seorang di antaranya yang ingin selalu melihat ke arah kiri. Rekannya yang kesal mengeluarkan celetukan. ”Bener euy maneh mah kekiri-kirian (Benar, kamu itu kekiri-kirian),” kata penampil yang kesal dalam bahasa Sunda.
Hilang
Pentas ini dibuka dengan keceriaan dua remaja perempuan, Irma dan Canda. Ditemani lantai yang penuh jerami, mereka akrab dan kompak bermain dan menari.
Akan tetapi, keceriaan itu tidak lama. Zaman mengubahnya. Tidak ada lagi tawa. Mereka terjebak di antara produk kapital yang mahal dan rentan tanpa ujung.
Bukan tanpa alasan mereka menjadi korban. Tempat tinggal mereka digerogoti berbagai praktik jahat. Tambang ilegal, konflik agraria, mafia tanah, tingginya harga pupuk, dan kehadiran buldozer membuat Irma, Canda, dan manusia lainnya pergi. Bedol desa sulit dilawan. Nyi Pohaci kini sendiri.
Kondisi itu dengan cepat memicu kesuraman. Apabila dulu mereka bisa mengolah lahan sendiri dengan penuh kebanggaan, kini ada godaan untuk menjadi pekerja bagi orang lain. Pertanian bukan lagi kemuliaan. Bekerja di pabrik mendadak jadi pilihan.
”Jadi petani itu tidak enak. Tidak punya tunjangan sosial dan kesehatan,” begitu kata seorang petani.
Baca juga : Warga Wadas yang Ditangkap Dijamin Bebas Hari Ini
Akan tetapi, sebagian petani lainnya bukan tanpa usaha untuk bertahan. Mereka mencoba melawan dengan mengangkat bambu. Bambu yang dulu dijadikan sarana menanam padi, di atas panggung digunakan sebagai alat menjerat pelaku kejahatan.
Entakan musik kontemporer berirama cepat ikut mengiringi petani yang berlarian kesana kemari. Satu per satu beragam masalah ditangkap. Riuh, cemas, ramai, dan memacu adrenalin.
”Lihat ada mafia tanah," kata mereka sembari menjerat dan menguncinya dengan bambu.
Akan tetapi, berulang kali ditangkap, ”hama-hama” itu selalu datang lagi. Petani bahkan terjebak di antara konflik. Ujungnya kelam. Sawah dan kebun yang tersisa kesulitan memberikan masa depan yang bahagia.
”(Dulu) masa depan di tangan petani, (sekarang) menjadi petani di negeri ini adalah kutukan. Dulu benih jadi tanaman, sekarang yang tumbuh batang beton berakar besi,” kata beberapa petani bersahut-sahutan.
Suasana bertambah runyam karena sawah dan kebun yang hilang bukan lagi sekadar persoalan mengisi perut. Rantai kehidupan di dunia juga rentan lenyap. Bakteri pengurai bangkai yang menjadi salah satu bekal melanjutkan siklus kehidupan bisa ikut mati. Manusia bisa jadi tidak ada lagi.
Bersama kembali
Mendengar kegelisahan itu, Muchammad Argya (17), siswa SMKN 12 Bandung, seperti terentak. Dia adalah satu dari banyak anak sekolah yang bertahan menonton hingga pertunjukan usai.
Warga Majalaya, Kabupaten Bandung, itu baru sadar petani tidak hanya menghasilkan beras. Mereka juga penjaga kehidupan. Tanpa sawah, ladang, dan kebun, mikroorganisme yang berperan penting bagi kehidupan, bisa ikut pergi.
Wajar apabila Argya sangat dekat dengan kisah itu. Lahan pertanian di sekitar tempat tinggalnya mulai berkurang. Majalaya yang dulu dikenal dengan hasil pertaniannya lalu berubah menjadi sentra industri tekstil, kini sedang tertatih.
Dalam banyak pemberitaan media massa, kawasan ini rentan diterjang banjir dan pencemaran air. Belakangan, bisnis di daerah tepi Sungai Citarum ini tidak begitu menggembirakan akibat persaingan usaha yang semakin ketat.
”Dulu, kakek saya petani, sekarang keluarga tidak ada lagi yang menjadi petani. Saya mungkin tidak tahu apa-apa tentang cara bertani. Namun, semoga sawah yang tersisa tetap ada dan terjaga,” ujarnya.
Baca juga : ”Food Estate” dan Petani Milenial
Meski berat harapan-harapan itu tentu tidak boleh ikut mati. Di ujung pementasan, dengan peluh yang semakin deras membasahi tubuh, awak panggung seperti ingin membalikkan makna bedol desa.
Bukan lagi kisah tentang warga yang pergi, melainkan mengajak mereka bersama-sama kembali. Mereka sepertinya percaya, Nyi Pohaci masih setia menunggu dalam rindu. Dia terus memanggil anak-anaknya yang hilang.
”Pulang, pulanglah kalian dari tempat yang salah. Dari kantor, pabrik, dan jalanan yang dipenuhi kendaraan. Kembalilah pada ladang dan sawah. Pulang, pulang, pulang ke tempat asal kalian.”
Baca juga : "Pertempuran" di Sungai Citarum