Jejak Idealisme Boeng Usmar
Melengkapi kutipan-kutipan dan patung itu, ada lini masa Usmar Ismail, arsip, artefak produksi film, serta film-film karya Usmar Ismail. Ini semua ditampilkan di pameran seni Boeng Usmar Ismail dalam Sinema Indonesia.
Ada sesuatu yang menggetarkan tatkala menatap patung sedada Usmar Ismail (1921–1971). Dalam rentang 21 tahun antara 1949 sampai 1970, Bapak Perfilman Indonesia kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, ini tercatat membuat 41 film panjang.
Tulisan di dinding di belakang patung itu pun tak kalah menggetarkan. ”Kita harus menggunakan medium film untuk membangun negeri ini, dan kita harus menggunakannya dengan cara yang benar.” Di bawahnya tertulis nama Asrul Sani (1927–2004).
Masih ada beberapa kutipan lain di dinding itu. Ada dari tokoh Umar Kayam, Alwi Dahlan, Chalid Arifin, Misbach Yusa Biran, maupun Usmar Ismail sendiri.
Kutipan dari Usmar Ismail berbunyi demikian. ”Seorang seniman Indonesia akan tetap menjadi personifikasi hati nurani rakyat yang rindu akan kemerdekaan, keadilan, dan kemakmuran lahir dan batin dia dan dia akan tetap menentang setiap kezaliman baik mental maupun fisik, jika ia merasakan secara intens setiap denyut jantung rakyat, jika dia memasang jiwanya sebagai layar ladang yang menanggapi segala kejadian yang berlangsung di sekitarnya.”
Usmar Ismail memang seorang seniman. Ia seorang penyair yang kemudian menjadi pembuat film. Ia pun menganggap film sebagai karya seni. Sebagian karya filmnya merespons masa perjuangan revolusi fisik pascakemerdekaan. Ia sendiri pernah terjun di dunia militer tatkala masa revolusi fisik di Yogyakarta.
Usmar ketika di Yogyakarta pernah menampung pejuang dan pencipta lagu Cornel Simanjuntak yang sebelumnya tertembak di bagian pahanya di Jakarta. Akhirnya, Simanjuntak meninggal di Yogyakarta pada 15 September 1946.
Pantas bagi Usmar untuk menerima anugerah sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Oktober 2021.
Arsip keindonesiaan
Melengkapi kutipan-kutipan dan patung itu, ada lini masa Usmar Ismail, arsip, artefak produksi film, serta film-film karya Usmar Ismail. Ini semua ditampilkan di dalam pameran seni bertajuk ”Boeng Usmar Ismail dalam Sinema Indonesia”.
Pameran digelar di ruang pamer Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta Selatan. Publik bisa menikmati pameran yang dikuratori Engel Tanzil ini 28 Maret-28 April 2022.
”Hampir semua film karya Usmar Ismail menjadi arsip keindonesiaan,” ujar Engel Tanzil, Kamis (21/4/2022), di Jakarta.
Baca juga: Merawat Jejak Perempuan Perupa
Selain arsip sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan, film Usmar juga tentang seluk-beluk keseharian masyarakat di era 1950 hingga akhir hayatnya. Usmar meninggal pada 2 Januari 1971 di Jakarta akibat pendarahan di otak.
”Saya melihat, Usmar hampir selalu menampilkan adegan bersantap di meja makan untuk menunjukkan situasi keseharian di masa itu. Kehidupan dialog masyarakat sehari-hari maupun sesuatu yang dimakan itu ditampilkan dengan menarik,” ujar Engel, yang menjadi pengelola sekaligus pemilik ruang pamer Dia.Lo.Gue tersebut.
Saya melihat, Usmar hampir selalu menampilkan adegan bersantap di meja makan untuk menunjukkan situasi keseharian di masa itu. Kehidupan dialog masyarakat sehari-hari maupun sesuatu yang dimakan itu ditampilkan dengan menarik.
Usmar pernah menampilkan di salah satu filmnya, riuh kehidupan masyarakat di Jakarta. Kejadiannya pada tahun 1950-an setelah masa revolusi fisik selesai.
Usmar menampilkan satu rumah yang dihuni sampai enam keluarga. Betapa riuhnya. Mereka bahkan tidak terikat hubungan kekerabatan satu sama lain, tetapi bisa tinggal di dalam satu rumah.
”Usmar ingin menggambarkan situasi Jakarta ketika mulai aman setelah revolusi fisik kemerdekaan. Banyak penduduk dari desa kemudian datang ke Jakarta yang sebelumnya sepi, karena banyak ditinggalkan penduduknya,” ujar Engel.
Usmar sekaligus menyembulkan kritik tentang Jakarta. Jakarta sebagai kota metropolitan yang tumbuh seperti sebuah kampung besar. Napas idealisme Usmar ini ditangkap penulis Asrul Sani. Usmar ingin membangun negeri ini melalui film. Asrul Sani berpijak di atas jejak Usmar Ismail. Ia menyematkan harapan, film bisa menjadi medium untuk membangun negeri ini.
Indonesia itu indah
Dalam setahun, Usmar rata-rata membuat dua film dengan durasi 1,5-2 jam. Ini terhitung dari 41 film yang diproduksi pertama kali berjudul Gadis Desa (1949), sampai film Ananda (1970).
”Sebagian besar film-film itu bagi saya kuat sekali mengesankan Indonesia itu indah sehingga orang Belanda pun tertarik datang ke Indonesia,” ujar Engel Tanzil, seraya mengemukakan, Usmar dalam membuat film tidak begitu memedulikan persoalan keuangan.
Ada atau tidak ada uang, Usmar tetap getol membuat film. Usmar ingin menebar benih rasa bangga terhadap Tanah Air untuk memantik rasa percaya diri masyarakat dalam mengisi kemerdekaan.
Menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri ini termasuk ke dalam hal tradisional meskipun Usmar sendiri berusaha menempuh jalan modernitas.
Usmar menempuh pendidikan dasar yang dikenal sebagai HIS hingga MULO B di Sumatera Barat. Di situ Usmar belajar berdansa bersama orang Hindia Belanda. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di AMS-A II, yang menjadi SMA Negeri 1 sekarang di Yogyakarta. Ia menamatkan studinya pada tahun 1941.
”Ketika menempuh studi di Yogyakarta, setiap bulan Usmar pun ikut berpesta dansa di Gedung Societet Yogyakarta,” ujar Engel Tanzil.
Baca juga: Liburan Lebaran, Momen Menonton Sinema Indonesia
Film bagi Usmar juga untuk mengikuti gaya modern. Pada tahun 1952 Usmar meraih beasiswa dari Yayasan Rockefeller, Amerika Serikat, untuk belajar film di University of California in Los Angeles (UCLA) hingga selesai pada 1953.
”Saya tetap melihat kepedulian Usmar terhadap hal tradisional, misalnya, dalam suatu adegan di film Tiga Dara (1956). Di situ dibahas mengapa perempuan terutama di Jawa banyak yang menggunakan stagen,” ujar Engel Tanzil.
Stagen merupakan bahan kain yang bentuknya kecil dan memanjang. Ini dikenakan sebagian besar perempuan Jawa dengan melilitkan di bagian perut.
Usmar menggarap perihal berstagen secara berkelakar. Di dalam dialog film itu disebutkan, perempuan berstagen supaya makannya tidak banyak.
Stagen menjadi metafora kehidupan perempuan tradisional yang berusaha menjaga kesehatan dan bentuk tubuh. Akan tetapi, tradisi ini makin menghilang.
Engel mengungkapkan, keindahan alam pun banyak ditampilkan Usmar. Pada 30 Maret 1950, Usmar shooting atau mengambil gambar pertama kali untuk film Darah dan Doa di Subang, Jawa Barat. Ia menggali sisi-sisi keindahan alam Parahyangan untuk mengisahkan perjuangan di masa revolusi fisik kemerdekaan. Peristiwa 30 Maret itu kemudian dijadikan Hari Film Nasional.
Film-film karya Usmar Ismail memiliki kekuatan keindonesiaan dengan mengangkat keindahan alam dan adat istiadat masyarakat.
Engel teringat pula dengan film Usmar yang diberi judul Tamu Agung (1955). Film itu memberikan gambaran tentang suatu desa yang begitu bersih dan asri. Lingkungan dan kehidupan masyarakat desa menjadi ruang keindahan tersendiri.
”Film-film karya Usmar Ismail memiliki kekuatan keindonesiaan dengan mengangkat keindahan alam dan adat istiadat masyarakat,” ujar Engel Tanzil, yang menyebut Usmar sebagai Bapak Perfilman Nasional yang visioner.
Ruang pamer Dia.Lo.Gue didominasi lini masa Usmar dari tahun kelahiran 1921 hingga wafatnya di tahun 1971. Engel pun menyukai film-film Usmar Ismail dan merisetnya sejak sekitar enam tahun terakhir.
Ia mengunjungi beberapa narasumber yang berhubungan erat dengan Usmar Ismail, beserta keluarga Usmar Ismail. Hingga suatu saat pihak keluarga Usmar Ismail menyampaikan keinginan agar kehidupan Usmar dipamerkan.
”Mereka pernah menyaksikan pameran serupa sebelumnya untuk tokoh Pramoedya Ananta Toer di ruang pamer ini. Mereka kemudian menginginkan saya juga memamerkan Usmar Ismail,” ujar Engel, yang semula merasa sulit untuk menemukan arsip serta artefak peninggalan Usmar Ismail.
Sekarang, film nasional yang berkembang searah dengan visi Usmar Ismail memanglah belum begitu kuat. Akan tetapi, hal itu bukan berarti tidak ada.
Mereka pernah menyaksikan pameran serupa sebelumnya untuk tokoh Pramoedya Ananta Toer di ruang pamer ini. Mereka kemudian menginginkan saya juga memamerkan Usmar Ismail.
Engel menyebutkan, film Laskar Pelangi (2008) garapan sutradara Riri Riza memiliki napas sama dengan karya film Usmar Ismail. Film itu menggali sisi-sisi keindahan Pulau Belitung yang masih jarang diketahui banyak orang di Indonesia maupun internasional.
Film Laskar Pelangi akhirnya berkontribusi dalam menunjang dunia pariwisata di Belitung. Banyak wisatawan yang akhirnya ingin mengunjungi Belitung.
Seperti inilah yang dimaksud Asrul Sani. Film menjadi medium untuk membangun negeri ini asalkan tahu menggunakannya dengan cara yang benar.