Merawat Jejak Perempuan Perupa
Para perempuan perupa sebagian besar tidak sekadar mencipta estetika atau keindahan inderawi. Mereka menabalkan kisah kelembutan hidup dan kemanusiaan tersendiri.
Bukan termasuk jumlah yang sedikit ketika karya 46 perempuan perupa dari masa ke masa dipamerkan. Ini untuk merawat jejak perempuan perupa sekaligus menimbang persoalan derasnya pemikiran perempuan menerobos belenggu superioritas laki-laki seniman dan sangkar domestik.
Lukisan ”Wajan Mendidih di Samudera” karya perupa Lucia Hartini memantik imajinasi berbagai upaya perempuan menerobos belenggu yang ada. Ini karya yang dibuat pada 1982 dengan medium cat minyak di atas kanvas berukuran 120 sentimeter x 140 cm.
Lucia melukis sebuah wajan menggelimpang. Wajan ini tampak surealistik. Di atas wajan ada air mendidih yang sedang tertumpah, hingga di bagian tengah permukaan wajan mengepulkan asap. Akan tetapi, wajan itu tidak berada di atas perapian. Wajan itu seperti melayang di udara dan menggelimpang di atas pinggiran sebuah daratan. Air dari wajan tertumpah ke samudera. Asap dari lapisan tengah wajan membubung ke udara.
Ada kejutan menarik. Lucia mengimbuhkan lukisan setetes air berbentuk simbol sel sperma. Mungkin ini sel sperma yang sedang bergerak menuju titik tengah wajan. Ini seperti gerakan satu sel sperma yang paling kuat ketika hendak membuahi sel telur.
Lucia tidak melukis simbolisasi sel telur secara spesifik, selain wajan itu sendiri yang sedikit menggelimpang dengan air tertumpah ke samudera, dengan titik tengah wajan yang mengepulkan asap panas. Mungkin saja, wajan itulah sel telurnya. Wajan menjadi metafora sel telur yang siap dibuahi sel sperma.
Lucia menampilkan kejutan yang berkecamuk. Jika memang itu sel sperma yang meluncur menuju wajan panas, mungkinkah ia tahan dengan wajan sepanas itu?
Lucia seperti mengisyaratkan sel sperma harus kuat, harus tahan panas dari sekadar wajan yang sedang mendidihkan air. Lucia mungkin pula mengisyaratkan pusaran aktivitas perempuan sebagai wajan bagi sebuah rumah tangga yang harus selalu siap berganti peran, siap menghadapi beban-beban kehidupan berikutnya.
Inilah tafsir bebas yang terlahir tatkala menyaksikan lukisan karya Lucia Hartini. Pelukis ini lahir di Temanggung, Jawa Tengah, di tahun 1959. Ia kemudian menempuh studi seni rupa di Yogyakarta, hingga menetap dan berkarya di kota itu.
Lukisan Lucia adalah salah satu karya yang ditampilkan dalam Pameran Seni Rupa Koleksi Bentara Budaya Gores Garis Perempuan. Semuanya ada sebanyak 48 karya dari 46 perempuan perupa. Pameran ini diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta, 14 hingga 23 April 2022.
”Manunggal”
Efix Mulyadi selaku kurator pameran menuturkan, lukisan ”Wajan Mendidih di Samudera” sebagai proses manunggaling kawula lan Gusti. Ini seperti proses penyatuan antara diri manusia dan yang menciptakannya. Di situ pula ada kompleksitas narasi yang cukup panjang.
”Jika kita membicarakannya, mungkin bisa sampai pagi,” ujar Efix ketika memberikan pengantar untuk acara pembukaan pameran itu.
Manunggaling kawula lan Gusti dikenal sebagai konsep atau filosofi dasar masyarakat tradisi Jawa. Di situ terjadi saling kebergantungan di antara pemimpin atau penguasa dan orang-orang yang dipimpin atau yang dikuasai. Saling kebergantungan membuat satu sama lain tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Kesetaraan menjadi hal penting untuk senantiasa dijaga. Keadaan yang saling membutuhkan menopang segalanya dan ini menjadi kesadaran utama.
Lucia Hartini juga menggelorakan napas kesetaraan jender. Ia mendorong penguatan pemikiran-pemikiran feminisme lewat arus surealisme seni rupa.
Lukisan ”Wajan Mendidih di Samudera” ditempatkan di balik panel terdepan ruang pamer. Sebuah lukisan tertua karya Kartika Affandi berangka tahun pembuatan 1973 dipajang di bagian depan panel tersebut.
Lukisan putri maestro Affandi itu diberi judul ”Terminal Andong”. Lukisan ini menggunakan media cat minyak di atas kanvas berukuran 100 cm x 80 cm. Gaya khas Affandi berupa pelototan cat minyak dari tuba sudah terlihat jelas diadopsi Kartika pada tahun itu.
Kartika melukiskan beberapa andong beserta kudanya di bawah rindangnya pepohonan. Ada dua rumah di belakang pepohonan itu. Pelototan cat menghadirkan tekstur dan mempercantik nuansa hijau dedaunan.
Kartika menunjukkan ekspresi yang terasa lebih lembut. Hal ini jika dibandingkan dengan beberapa lukisan ayahnya dengan teknik pelototan cat yang sama.
”Belum diketahui, bagaimana Bentara Budaya memperoleh lukisan Kartika yang dibuat pada 1973 itu. Besar kemungkinan karya ini dibeli PK Ojong atau Jakob Oetama,” kata Efix Mulyadi.
Selain dari hasil pembelian para pendiri Kompas Gramedia, PK Ojong dan Jakob Oetama, banyak koleksi karya seni rupa Bentara Budaya diperoleh dari hibah seniman. Biasanya para seniman menghibahkan karya setelah menggelar pameran di Bentara Budaya yang sebelumnya ada di Yogyakarta, Solo, Bali, dan Jakarta.
Direktur Komunikasi Korporat Kompas Gramedia Glory Oyong membuka pameran Gores Garis Perempuan ini. Ia mengatakan, saat ini ada sekitar 3.000 karya koleksi Bentara Budaya sudah didigitalisasi.
Pameran Gores Garis Perempuan menampilkan sejumlah nama perempuan perupa yang mungkin sekarang di antaranya mulai terdengar asing. Di situ ada nama perupa Alice, Alimah, Asnida Hassan, Astuti Kusumo, Besti Rahulasmoro, Camelia Mitasari & Reza Prastica Hasibuan, Dona Prawita Arissuta, Dyan Anggraini, Dyayi Nuswantari Pranahita, Erica Hestu Wahyuni, Harindarvati, Ida Hajar, Iin Risdawati, Ika Yuni Purnama, Januar Ernawati, Juni Wulandari, Justina Tri Sudjatmi, Kartika Affandi, Koestiyah ES, Laksmi Shitaresmi, Linda Kaun, dan Lucia Hartini.
Selanjutnya ada Mami Kato, Masmundari, Mola, Muntiana, Nabila Nisa Hafidzh (Nisa), Nana Tedja, Paula Isman, Putri Pertiwi, Ramadhyan Putri Pertiwi, Ratmini, Rie Kasahara, Rosya, Siswa Jogja Montessori School Yogyakarta, Siti Neneng Maya, Sri Hartati, Sri Setyawati Mulyani (Cipuk), Sriyani Hudyonoto, Treeda Mayrayanti, Trien ”Iin” Afriza, Wara Anindyah, Wied Sendjayani, dan Wiranty.
”Wajah Perempuan April”
Efix Mulyadi memberi judul catatan kuratorialnya, ”Wajah Perempuan April”. Efix menyinggung bulan April ini terkait hari kelahiran RA Kartini yang diperingati setiap 21 April.
Efix mengemukakan, yang ingin diperlihatkan melalui pameran kali ini bukanlah seberapa tinggi kesadaran perempuan akan posisinya di tengah zaman. Tidak pula berfokus pada kegembiraan tentang berbagai gerakan penyetaraan peran.
Ini juga jauh dari keasyikan bermain wacana tentang perempuan, yang sudah lama menghiasi ruang-ruang diskusi atau perkuliahan. Pameran ini lebih merupakan pertanggungjawaban Bentara Budaya untuk secara berkala menampilkan koleksinya ke hadapan masyarakat.
”Ini pameran kekaryaan para perempuan lintas zaman dan lintas generasi. Wujudnya berupa lukisan, grafis, keramik, dan karya tiga dimensi lain,” kata Efix.
Menurut Efix, setidaknya melalui pameran ini kita diingatkan kembali nama-nama perempuan perupa yang mungkin mulai terlupakan atau sudah tidak lagi tampil. Efix menyebut salah satu nama, yakni Ratmini, yang sekarang semestinya berusia 97 tahun.
Ratmini merupakan istri tokoh Dr Soedjatmoko (1922-1989), yang pernah menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat pada 1968-1971. Pada 1980, Soedjatmoko pernah pula menjabat Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang.
Lukisan Ratmini yang ditampilkan berjudul ”Di Atas Perbukitan” (1976). Goresan cat minyak di atas kanvas berukuran 40 cm x 50 cm itu menunjukkan kekhasan warna dan bentuk. Dedaunan pepohonan dilukiskan dengan gradasi warna yang tegas. Seluruh bidang lukisan itu terdapat pola garis vertikal yang samar.
Ada pula karya dari sosok perempuan perupa Masmundari dengan karya naif atau kekanak-kanakannya. Masmundari meninggal pada tahun 2005 dalam usia sekitar 100 tahun. Masmundari dikenal sebagai pelukis damar kurung dari Gresik.
”Karya-karya ini dikoleksi Bentara Budaya sebagai dokumentasi sosial budaya yang layak untuk disimpan dan dipamerkan. Masing-masing mempunyai riwayat yang khas,” ujar Efix.
Para perempuan perupa sebagian besar tidak sekadar mencipta estetika atau keindahan inderawi. Mereka menabalkan kisah kelembutan hidup dan kemanusiaan tersendiri.