Pada mulanya hanya sekadar gerak tubuh, kemudian gerak menjadi potongan arti yang disusun oleh para penonton pantomim. Tanpa bahasa yang keluar dari mulut, pesan mereka dapat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Tanpa kata, tanpa ucapan, Abdul Khafidz (31) dari Institute Tingang Borneo Teater (ITBT) Palangkaraya, bergerak ke sana kemari memanfaatkan ruang di Cengkrama Café dan Resto, Selasa (12/4/2022) malam.
Di dalam kafé itu, Khafidz berdiri di dalam sebuah ruangan. Tak ada siapa pun di dalamnya, Khafidz dan penonton dibatasi ruang kaca. Meski ruangan itu cukup luas, Khafids terlihat sesak napas. Ia tergesa-gesa, mendorong-dorong dinding hampa di sekelilingnya. Ia mungkin di dalam peti, kehabisan napas.
Begitu berhasil keluar ia mencari kursi goyangnya. Duduk lalu menyesap kopi, membaca koran, dan mengisap rokoknya. Tak ada asap yang keluar dari mulutnya, tetapi ia terlihat terbatuk. Batuknya bukan karena rokok, tetapi kaget atas apa yang ia baca di koran. Tentu saja hanya Khafidz yang bisa melihat koran itu.
Belum usai tepuk tangan riuh rendah dari penonton, tetapi Khafidz kembali bergerak. Kali ini ia panik!
Khafidz balik lagi ke dalam ruang sempit atau mungkin peti. Ia mendorong, memukul-mukul kepalanya, lalu jatuh terduduk. Ia tak bisa keluar dari ruang sempit itu. Khafidz menangis, tangisannya sendu, bukan dari suaranya tetapi dari raut wajah yang putih diolesi cat minyak.
Air matanya tak keluar, tetapi ia meringis kesakitan. Khafid jatuh terduduk berkali-kali, berusaha keluar dari peti, tetapi tak ada yang menolongnya. Ia sendirian, jatuh lagi, lalu ruangan menjadi gelap.
Begitulah potongan pertunjukan pantomim dari Abdul Khafidz. Malam itu adalah malam terakhir dari 22 hari ia berpantomim keliling Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Bapak dua anak itu sudah berkali-kali membuat pertunjukkan, tetapi kali ini agak berbeda.
Saya tidak memberikan tema pada pantomim saya, jadi orang bebas menginterpretasi makna di baliknya.
Biasanya Khafidz menggelar pertunjukan di pinggir jalan, tempat pembuangan sampah, lahan terbakar, bahkan di atas tumpukan kelapa di tengah kebun. Kini ia menyerang 22 tempat mulai dari resto, kedai, hingga kafe. Ruang yang tak biasa menyajikan pertunjukan pantomim diserang oleh seni gerak itu.
”Pantomim Attack”, begitu ia menyebutnya. Pertunjukan itu dilakukan sejak Selasa, 22 Maret 2022 lalu, sebagai bentuk peringatan Hari Pantomim Sedunia. Sederhana alasannya, ia ingin membuka ruang pertunjukan pantomim di tempat atau ruang yang tak biasa.
Selama 22 hari Khafidz berpantomim di tempat yang berbeda, penonton dan respons yang berbeda. Dalam sehari ia bisa melakukan aksinya mulai dari 5-10 menit yang kemudian dilanjutkan diskusi untuk melihat respons penonton.
”Saya tidak memberikan tema pada pantomim saya, jadi orang bebas menginterpretasi makna di baliknya,” kata Khafidz.
Selain pantomim, ada juga pembacaan puisi dan pertunjukan musik dari Sendvriang, duo asal Kota Palangkaraya yang diisi oleh Herman dan Yoga. Musiknya sungguh memanjakan telinga, apalagi saat itu malam hari. Nada yang jatuh ke telinga sendayu, sedikit keroncong, tetapi mengentak tiba-tiba. Seirama dengan gerakan Khafidz yang tak terduga.
”Awalnya saya jadi bintang video klip Sendvriang, dalam dua hari saya berpindah tempat tujuh kali dan mengulang gerakan yang sama tiga kali. Dari situ, saya pikir kayaknya bisa nih buat pertunjukkan dengan tempat gak biasa dan berpindah-pindah,” ungkap Khafidz.
Kerinduan
Aksi Khafidz dan kawan-kawan lainnya menjadi dahaga seni di tengah pandemi. Selama lebih kurang dua tahun, Kota Palangkaraya melarang pertunjukan seni secara luring.
Pantomim Attack bisa jadi aksi luring pertama yang dilakukan di tempat publik. Hal itu diperbolehkan setelah hampir 90 persen warga Palangkaraya mendapatkan vaksin.
Tak hanya luring, acara tersebut juga tetap bisa dinikmati secara daring melalui berbagai media sosial.
”Sudah lama enggak pernah lihat konser musik live, apalagi ada aksi baca puisi dan pantomim. Ini hiburan yang bikin mikir,” ungkap Purnama Sari (20), salah satu pengunjung yang tak sengaja menghadiri acara tersebut.
Tempat pertunjukan itu memang tidak terlalu besar, tetapi sudut ruangan cukup penuh diisi para penikmat seni di Kota Palangkaraya.
Khafidz mengakhiri serangan pantomim itu dengan harapan muncul banyak pengagum dan penerus seni gerak tanpa dialog itu. Gerakannya itu bebas dan bebas itu tidak berhenti.
Di ruang mana pun kebebasan akan terus dicari dan dinikmati. Seni menunjukkan jalan menuju kebebasan meski dalam pantomim orang bisa saja terjerat atau bahkan terkurung dalam peti.