"Jang Ganggu", Tonggak Baru Kemasyhuran Musik Pop Daerah
Sejumlah lagu berbahasa daerah meraih popularitas di seluruh negeri selama 2021. Platform musik digital membuka akses bagi musisi daerah untuk memperluas cakupan penikmat karya mereka.
“Oh adoh-adoh jang ganggu/ Yang itu sa punya jang ganggu/ Ko pi cari yang lain sudah/ Tra usah jadi penganggu…”
Penggalan refrain lagu “Jang Ganggu” milik grup vokal asal Jayapura, Papua, Shine of Black, bergema di setiap sudut kota terbesar di “Bumi Cenderawasih” itu selama penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional 2021, 2 hingga 15 Oktober lalu. Di masa rehat pertandingan cabang sepak bola di Stadion Mandala, Jayapura, lagu itu pun selalu diputar.
Setelah pesta olahraga itu berakhir, Shine of Black mulai dikenal oleh pecinta musik di seluruh Indonesia. Video musik lagu itu yang berlatar Pantai Holtekamp, Jayapura, mengalami peningkatan nyaris 20 juta penonton sejak akhir September.
Sebelum PON 2021 lalu, video musik itu mencatatkan sekitar 51 juta penonton. Hingga di pekan terakhir tahun ini, video musik itu telah disaksikan lebih dari 69,5 juta kali. Versi cover Lagu "Jang Ganggu" pun kian banyak hadir di Youtube.
Dampak lainnya, grup vokal yang berisi 16 personel itu telah tampil di tiga stasiun televisi swasta pada periode Oktober-November tahun ini.
Baca Juga: Duduk dan Angguk-angguk di Konser Rock
Prestasi Shine of Black pun diakui oleh Presiden Joko Widodo. Dalam pidato pembukaan PON 2021, 2 Oktober lalu, Jokowi menyebut lagu “Jang Ganggu” sebagai wujud nyata kreativitas anak muda Papua yang tidak kalah dengan daerah lain di Indonesia.
“Lagu "Jang Ganggu" dari Shine of Black pasti akan diikuti oleh karya-karya lain yang tidak kalah hebatnya oleh anak-anak muda Papua,” kata Presiden yang disambut gemuruh para penonton yang menghadiri pesta pembukaan itu di Stadion Utama Lukas Enembe, Sentani, Jayapura.
Berkat lagu yang mengisahkan tentang seseorang yang khawatir kekasih hatinya direbut orang lain itu, Shine of Black merasakan popularitas yang belum pernah dicapai sebelumnya oleh grup vokal asal Papua.
“Tahun 2021 bisa dikatakan tahun yang luar biasa bagi musik Indonesia timur, khususnya Shine of Black. Banyak berkah yang kami rasakan, ini adalah tahun terbaik dalam karier kami sejauh ini,” ujar Salmon Wospakrik, manajer Shine of Black, yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (26/12/2021).
Shine of Black mulai merekam lagu sendiri sejak 2017 lalu. “Jang Ganggu” adalah lagu ke-100 grup itu yang diproduksi di studio rumah milik salah satu personel, Stevi. Lagu itu diciptakan melalui perpaduan piano, drum, bass, dan gitar, kemudian diberi sentuhan sound electronics untuk menambah kesan catchy.
Kaya kosakata
Untuk urusan lirik, seluruh personel Shine of Black memiliki andil. Beragam latar belakang personel membuat lirik lagu itu kaya kosakata. Lirik di lagu itu tidak hanya berasal dari aksen Papua, tetapi juga ada kata bahasa Makassar, seperti talekang dan tabe’ serta kata bahasa Inggris, yaitu my love dan crazy.
“Keberhasilan ‘Jang Ganggu' menjadi penyemangat kami untuk terus berkarya. Di tahun depan, kami akan merilis beberapa lagu baru dan bermimpi melakukan tur keliling Indonesia,” tuturnya.
Lagu 'Jang Ganggu' dari Shine of Black pasti akan diikuti oleh karya-karya lain yang tidak kalah hebatnya oleh anak-anak muda Papua. (Presiden Jokowi)
Tidak hanya dari Indonesia timur, lagu daerah yang menjadi fenomena di tahun ini ialah “Panek Diawak Kayo Diurang”. Tembang berbahasa Minang itu menghadirkan tonggak baru bagi musik pop Minang.
Pasalnya, lagu, yang dinyanyikan oleh duet Fransisco Ariesta dan Fauzana, bisa menembus lebih dari 100 juta penonton di Youtube atau tepatnya ditonton lebih dari 112 juta kali. Belum ada lagu berbahasa Minang yang bisa mencapai catatan fenomenal itu sebelumnya.
Menurut Fransisco, dari segi musik dan lirik, lagu yang diciptakan Rozac Tanjung itu memang sudah bagus. Nada-nadanya indah dan liriknya sangat dalam dengan bahasa petatah-petitih Minang. Materi yang bagus itu coba disampaikan serta dihayati sebaik-baiknya oleh Frans dan Fauzana.
“Kami berupaya memberikan rasa dan nyawa pada lagunya. Alhamdullillah, banyak yang menerima. Kami percaya kalau bernyanyi tidak dengan hati, maka pesan lagu itu tidak akan sampai ke pendengar,” kata Frans.
Ia menjelaskan, selain materi yang bagus, momen rilis lagu itu juga sangat tepat. Tak berapa lama setelah rilis pada pertengahan Februari 2020, virus Covid-19 merebak di Indonesia. Selanjutnya, ada kebijakan pembatasan sosial dari pemerintah yang membuat ekonomi masyarakat terpuruk, terutama para pedagang yang menjadi mata pencaharian warga Minang di perantauan.
Pendengar terhipnotis dengan alunan musiknya, mereka tak peduli liriknya. (Marthinus Kurman)
Judul lagu itu dianggap mewakili kondisi para warga Minang yang memahami bahasa itu di tengah situasi pandemi saat ini. Lirik “Panek Diawak Kayo Diurang,” secara gampang bisa diterjemahkan sebagai, “kita yang penat berusaha, orang lain yang kaya.”
“Korona datang, masyarakat merasa dirugikan. Ada yang kena pemutusan hubungan kerja (phk) dan sebagainya,” kata pria kelahiran Sibarambang, Kabupaten Solok, 28 tahun silam.
Efek platform digital
Salmon dan Frans sepakat kehadiran penyedia layanan musik digital, seperti Youtube dan Spotify, hingga media sosial, misalnya TikTok dan Instagram, membantu musik daerah didengar oleh orang yang tidak memahami bahasa itu.
“Kehadiran layanan digital itu membuat musisi dari daerah mendapat kesempatan yang adil untuk meraih kesuksesan. Kami senang karya kami bisa didengar di seluruh Indonesia, bahkan pendengar kami juga berasal dari beberapa negara di Asia Tenggara,” ucap Salmon.
Frans menambahkan, tiga bulan pertama, peningkatan grafik penonton lagu “Panek Diawak Kayo Diurang” di YouTube belum begitu drastis. Bulan berikutnya, grafiknya meningkat tajam, bahkan pada bulan keenam sejak rilis telah mencapai 25 juta penonton.
Grafik jumlah penonton terus melonjak di tahun 2021. Kepopuleran lagu itu, kata Frans, bermula dari viralnya versi remix “Panek Diawak Kayo Diurang” di TikTok pada tahun ini. Dari sana, pendengar kemudian mencari lagu aslinya ke YouTube.
Berdasarkan data YouTube studio, sebut Frans, menunjukkan, lagu ini tidak hanya diputar pendengar dari Indonesia, tetapi antara lain juga dari Malaysia, India, dan Filipina. Dari kolom komentar, terlihat pula para pendengarnya juga ada dari Amerika Serikat dan Belanda.
Ia memperkirakan kebanyakan pendengar adalah para perantau Minang dan keluarga yang merasa senasib dengan lagu itu. Namun, dari kolom komentar juga terlihat pendengarnya di Indonesia dari berbagai suku dan daerah, tidak hanya orang Minang.
“Karena perantau sering memutarnya, jadi terdengar oleh orang lain di tempat mereka merantau,” ujar Frans, yang memulai kariernya sebagai pendendang di Sanggar Pelangi Ranah Minang ini.
Baca Juga: Ketika God Bless dan Soneta Berbagi Panggung
Marthinus Kurman, musisi tunanetra asal Nusa Tenggara Timur (NTT), juga merasakan dahsyatnya efek platform digital. Ia mengaransemen ulang lagu daerah klasik asal NTT berjudul “Dende Reo” pada tahun ini.
Lagu yang tidak diketahui nama pengarangnya itu diaransemen oleh Marthinus dengan tempo agak cepat. Ritme berpadu melodi membuat gembira hati pendengar. Padahal, lirik lagu itu bercerita tentang kesedihan hati seseorang yang jauh dari kampung halamannya di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT.
"Kalau liriknya dalam bahasa Indonesia, mungkin tidak viral seperti sekarang. Ini 'kan lirik dalam bahasa daerah Lamaholot jadi banyak orang tidak mengerti. Pendengar terhipnotis dengan alunan musiknya, mereka tak peduli liriknya, " kata Marthinus. Bahasa Lamaholot berasal dari Flores Timur.
Lagu itu kemudian diunggah di akun Youtube miliknya pada September 2021 lalu. Ia tak menyangka, respons pendengar musik Tanah Air begitu tinggi. Lagu itu sempat viral di media sosial TikTok. Di akun milik Marthinus, penontonnya mendekati 2 juta.
Menurutnya, kanal Youtube menjadi media paling praktis untuk memasarkan karyanya. Mereka tak perlu menghabiskan biaya besar ke Jakarta, dan menyewa studio rekaman.
Kemasyhuran tiga lagu berbahasa daerah itu menunjukkan kembali musik sebagai bahasa universal. Tanpa memahami lirik, setiap orang tetap bisa menikmati alunan musik yang mencandukan.