Miniseri ”Stasion Eleven” yang menggunakan alur maju mundur ini mengupas strategi manusia tetap hidup sambil menggali makna hidup dengan sukacita. Seni, terutama sastra, memegang peran penting di dalam proses tersebut.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Bagaimana nasib dunia setelah dihantam pandemi mematikan? Jawaban terburuknya adalah kehancuran manusia dan peradaban modern. Miniseri terbaru HBO, Station Eleven, mengulik sekelompok seniman penyintas pandemi yang mengenang dan membayangkan dunia kembali dengan merayakan karya Shakespeare.
Cerita pasca-apokaliptik fiksi ini bertempat di Toronto, Kanada. Aktris cilik Kirsten Raymonde (diperankan Matilda Lawler) berkenalan dengan seorang penonton, Jeevan Chaudhary (Himesh Patel), setelah pementasan King Lear di sebuah teater. Perkenalan itu terjadi setelah aktor utama Arthur Leander (Gael García Bernal) tiba-tiba meninggal di atas panggung.
Kirsten dan Jeevan tak diduga harus bersama-sama lantaran pandemi Georgia Flu atau Flu Georgia tiba-tiba menyebar cepat. Tak lama, sekitar 99 persen populasi manusia hilang, menyisakan segelintir penyintas.
Dua puluh tahun berlalu. Kirsten (Mackenzie Davis) telah tumbuh dewasa. Ia bergabung dalam kelompok Traveling Symphony. Kelompok aktor dan musisi nomaden ini kerap melakukan tur pementasan karya Shakespeare di kawasan Amerika Utara.
Dengan pandemi sebagai latar belakang, Station Eleven menunjukkan bentuk mekanisme koping manusia atas perubahan drastis. Mekanisme koping mengacu pada upaya untuk menguasai, mengurangi, atau menoleransi tekanan yang muncul akibat stres.
Berbagai strategi koping muncul dalam Station Eleven. Ada yang fokus mencari sumber daya demi bertahan hidup seperti Jeevan, mengumpulkan barang kenangan di Museum of Civilization, atau menjadi lebih religius seperti karakter The Prophet (Daniel Zovatto). Kirsten dan teman-teman senimannya memilih untuk mementaskan drama.
Pementasan drama Shakespeare menjadi semacam ruang eskapisme bagi Traveling Symphony di dunia setelah pandemi yang serba terbatas dan tak pasti. Kelompok seniman ini terus berkarya dengan mementaskan, antara lain, King Lear, Hamlet, dan A Midsummer Night’s Dream.
Warner Media menyelenggarakan Station Eleven Virtual Press Junket, Kamis (18/11/2021). Sesi wawancara dengan wartawan dari berbagai negara ini, termasuk Kompas dari Indonesia, menghadirkan Mackenzie Davis dan Himesh Patel untuk membahas lebih lanjut tentang Station Eleven.
”Ada suatu katarsis, penting bagi Travelling Symphony memiliki tempat menyalurkan perasaan, pemikiran, dan trauma. Entah bagaimana ini membuat trauma mengalami transmogrifikasi menjadi hiburan juga bagi orang lain,” kata Davis dalam sesi tersebut.
Davis sebagai aktris mengerti dorongan seniman dalam cerita itu untuk bertumpu pada sesuatu yang besar. Apalagi, di dunia literatur, William Shakespeare adalah salah satu penulis termasyhur dunia. Karya Shakespeare telah menjadi klasik dan masih dipentaskan hingga saat ini.
”Saya memahami dorongan untuk mengandalkan struktur kanon tertentu. Orang tidak berhenti menemukan cara untuk masuk ke dalam teks Shakespeare selama ratusan tahun dan melanjutkan legasi dari dunia lama ke dunia baru,” tutur Davis.
Karakter Kirsten juga memiliki obsesi khusus pada komik Dr. Eleven, yang secara tersirat mencerminkan realitas hidup para penyintas. Dr. Eleven menceritakan fisikawan yang tinggal di stasiun luar angkasa setelah kabur meninggalkan Bumi yang dijajah alien. Dr. Eleven juga merindukan Bumi. Komik eksklusif ini Kirsten peroleh dari Arthur Leander saat masih kecil.
Eskapisme adalah kecenderungan untuk menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dalam situasi rekaan atau fantasi. Penulis China-Amerika, Yi-Fu Tuan, dalam buku Escapism (1998) menjelaskan, eskapisme itu manusiawi dan tak terhindarkan.
Eskapisme yang melibatkan fantasi tidak ada salahnya selama itu hanya sebagai pelarian sementara atau berupa eksperimen mental atas segala kemungkinan. Namun, Tuan mengingatkan, fantasi yang terlalu lama bisa menipu diri sendiri sebab menjauhkan diri dari realita eksternal.
Dampak negatif eskapisme bisa terlihat dari karakter The Prophet yang menjadi antagonis dalam cerita. The Prophet juga terobsesi pada Dr. Eleven dan kitab suci. Namun, ia memiliki interpretasi subyektif yang dikaitkan dengan pandemi dan menyebarkan pemahaman itu dengan membuat semacam sekte.
Makna hidup
Station Eleven bukanlah cerita pasca-apokaliptik tentang drama dinamika perjuangan manusia bertahan hidup selama atau sesudah pandemi. Beberapa film dengan tema seperti itu telah tersedia, sebut saja Contagion (2011), The Road (2009), atau Cargo (2017).
Miniseri dengan alur maju mundur ini justru lebih mengupas bagaimana manusia tetap hidup sembari mencari makna kehidupan itu sendiri dengan sukacita. Seni, khususnya sastra, ternyata berperan penting dalam menghubungkan manusia sekaligus membantu perjalanan mereka di dunia baru.
”Seni seperti payung besar yang mencakup semua hal, seperti kemanusiaan, empati, dan mencoba memahami orang asing. Hal-hal semacam ini melampaui perbedaan yang penting untuk tetap hidup. Anda dapat berkomunikasi melalui musik atau sesuatu ketika segala sesuatu hancur berantakan,” kata Davis.
Dalam Station Eleven, terlihat bagaimana manusia sebenarnya saling terkoneksi berkat karya sastra Shakespeare dan Dr. Eleven. Garis hidup Kirsten, Jeevan, Arthur, The Prophet, para mantan istri Arthur, dan karakter lainnya bersinggungan satu sama lain, entah sadar atau tidak. Pada satu titik, mereka bertemu dan menemukan makna hidup masing-masing.
Di bawah produksi Paramount Television Studios, Station Eleven dibuat oleh Patrick Somerville berdasarkan novel tahun 2014 berjudul sama karya penulis Kanada, Emily St John Mandel. Dalam ceritanya, Mandel menciptakan wabah Flu Georgia yang membunuh manusia dalam waktu singkat, sedikit mengingatkan pada wabah Flu Spanyol tahun 1918-1919 di dunia nyata.
Ide pembuatan Station Eleven diumumkan sejak 2019. Proses pengambilan gambar berlangsung sejak Januari 2020. Siapa sangka, pandemi Covid-19 terjadi sehingga pembuatan serial ini sempat tertunda.
Adegan-adegan dalam miniseri ini ternyata paralel di dunia nyata saat ini. Aksi belanja panik, penuhnya rumah sakit, pembatasan sosial, pemakaian masker, dan kematian mendadak mengingatkan kita saat pada realitas sekarang. Menonton Station Eleven mungkin akan bisa memicu memori pahit tentang pandemi Covid-19 yang belum selesai.
Namun, miniseri ini juga menyuguhkan sisi terbaik manusia. Orang-orang asing mencari titik temu agar bisa saling membantu dan bertahan. Aktor Himesh Patel menjelaskan, meskipun baru saling mengenal, karakter Kirsten dan Jeevan menjalin ikatan kuat setelah sama-sama kehilangan orang tercinta.
”Saya rasa pesan dalam film adalah semua akan baik-baik saja selama kita tetap bersatu,” ujar Patel singkat. Terdiri dari 10 episode, Station Eleven akan tayang di HBO Go pada 16 Desember 2021.