Eksotisme Seni Grafis dalam Jogja International Miniprint Biennale #4
Semangat memperjuangkan tawaran eksotisme seni grafis mendasari Jogja International Miniprint Biennale #4, 15-30 Juli 2021. Peserta dari 33 negara mengikutsertakan karya yang dibatasi maksimal berukuran 20 cm x 20 cm.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Karya seni menawarkan eksotisme, daya tarik keindahan yang bisa membahagiakan, atau setidaknya mengingatkan pada suatu makna di balik banyaknya persoalan kehidupan. Eksotisme seni grafis salah satunya, yang menempuh jalan di tepian dan menjalani kerumitan yang jarang disadari sebagai bagian keindahannya.
Semangat memperjuangkan tawaran eksotisme seni grafis inilah yang mendasari Jogja International Miniprint Biennale (JIMB) #4, 15-30 Juli 2021. Di situ ada pula kompetisi internasional yang diumumkan pemenangnya pada Sabtu (24/7/2021) dan dimenangi seniman asal India, Tarun Sharma, pemenang The First Prize. Pilihan dewan juri berikutnya adalah Anna Trojanowska (Polandia) sebagai juara kedua dan Chang Ling Hsiang (Taiwan) sebagai juara ketiga.
Berikutnya tiga pemenang The Excellent Work berturut-turut Silvana Martignoni (Italia), Kamruzzaman (Bangladesh), dan Martin R Baeyens (Belgia). Panitia memilih satu seniman asal Indonesia, Fakri Syahroni, sebagai pemenang National Emerging Printmaker, seniman grafis yang menjanjikan.
Para juara itu terpilih dari 73 finalis dengan 12 finalis asal Indonesia dan 61 finalis asal 32 negara lainnya. Di sinilah tawaran eksotisme seni grafis dinyatakan. Karya-karya itu harus berukuran mini: 20 sentimeter (cm) x 20 cm atau di bawahnya.
Tarun Sharma yang membalas percakapan tertulis lewat saluran telepon seluler, Rabu (28/7/2021), mengatakan, ”Konsep karya itu dari hasil percakapan saya dengan dua figur yang dapat dilihat dari tautan Youtube. Saya kirimkan tautannya,” ujarnya.
Ia mengirimkan dua tautan yang berisi video singkat. Video pertama tentang kakek berusia sekitar 70 tahun yang menggelandang dan hidup meminta-minta di koridor jembatan penyeberangan di Delhi, India. Sekujur tubuhnya penuh luka akibat gatal tak tersembuhkan sekian lama.
Video berikutnya tentang kehidupan seorang nenek di lingkungan kumuh. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan kakek. Sharma mengukir potret kehidupan mereka ke dalam karya seni grafisnya yang diberi judul, 70 Years of Waiting for Help. Ukurannya, 12 cm x 17,5 cm. Ia melukiskan kakek yang lunglai dan terbaring di koridor jembatan penyeberangan, kemudian di sisi kiri depan bagian bawah ada separuh wajah nenek itu.
Seniman India itu menggunakan metode mezzotint. Metode ini terbilang unik di antara teknik seni grafis lainnya dan masih jarang ditempuh seniman grafis asal Indonesia. Mezzotint menggunakan medium pelat logam dengan permukaan yang dibuat kasar untuk menghasilkan gradasi warna solid gelap ke terang.
”Karya ini dari hasil kerja selama dua tahun, 2018-2020,” ujar Sharma, yang menyertakan karya cetakan ke-15 untuk kompetisi JIMB itu.
Kerumitan proses pembuatan karya seni grafis memang jarang disadari penikmatnya. Seniman grafis asal Indonesia yang meraih National Emerging Printmaking, Fakri Syahroni (32), menyebut karya seni grafis dengan istilah ”kerja dua kali”. Kerja dua kali itu meliputi usaha menemukan gagasan dan menuangkan menjadi drawing (sketsa). Kemudian memilih salah satu metode seni grafis dan mencetaknya.
Fakri mencontohkan proses karya yang dimenangkan di kompetisi JIMB. Judulnya, One Breath (2020), dengan ukuran 12 cm x 17 cm. Ia memilih metode etsa dan aquatint untuk mencetak gambar yang merespons tema JIMB, ”Trans-Pandemic”. ”Saya menggunakan pelat aluminium. Permukaannya saya tutup dengan aerosol, cat semprot, kemudian permukaan cat itu dilukai untuk menghasilkan gambar yang ingin dicetak,” ujar lulusan Jurusan Seni Grafis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2013 itu.
Tidak berhenti di situ. Fakri kemudian mengasam atau memberi larutan yang bersifat asam ke permukaan pelat yang sudah tergores. Larutan asam kemudian membentuk ceruk-ceruk di permukaan yang dilukai sebagai jalur tempat tinta cetak. Fakri masih menempuh satu proses berikutnya. Ia memberi lapisan serbuk gondorukem yang terbuat dari getah pohon damar ke bagian tertentu pada permukaan pelat tadi. Dengan bahan ini, Fakri ingin meraih hasil cetakan warna gelap yang lebih solid.
Kejutan itu membahagiakan, sekaligus menantang untuk menaklukkan.
”Setelah pelat selesai, diberi tinta dan siap dicetak dengan mesin pres,” ujar Fakri. Kerumitan itu membawa kenikmatan tersendiri.
Akan tetapi, Fakri juga menemukan hal lainnya. Ada kejutan dari setiap hasil cetakan karena selalu ada saja bagian imaji yang muncul di luar perhitungan dan harapannya. ”Kejutan itu membahagiakan, sekaligus menantang untuk menaklukkan,” kata Fakri.
Pasar karya seni grafis di Indonesia memang belum cukup menggairahkan. Akan tetapi, ada pengalaman menarik salah satu finalis JIMB asal Indonesia lainnya, Yassir Malik. ”Pasar karya seni grafis sekarang makin terbuka lewat pemasaran di internet,” kata Yassir, yang memutuskan pensiun dini sebagai dosen Universitas Tarumanegara, Jakarta, sejak 2017, dan menjalani profesi seniman grafis.
Beberapa karyanya bahkan dibeli peminat asal Amerika Serikat. Semuanya dipasarkan melalui internet. Melalui internet pula ia bergabung dengan komunitas seniman grafis dari berbagai negara. Di situ, ia meraih banyak pengetahuan terkini, sekaligus mendapat akses memperoleh material untuk proses karya seni grafisnya.
Ada usaha keras tersembunyi di balik ketentuan membuat karya seni grafis berukuran mini. Salah satu anggota dewan juri, Agung Kurniawan, menyebutkan, karya mini bukan dari karya besar lalu dikecilkan. ”Karya berukuran kecil membuat tantangan menjadi lebih besar. Sejak awal harus direncanakan dalam ukuran kecil,” ujar Agung, seraya menambahkan, ukuran kecil sebagai pilihan estetik yang harus dihormati.
Agung bersama dewan juri lainnya, yakni M Dwi Marianto (Ketua), Deborah Chapman, Edi Sunaryo, dan Deni Rahman, tak jarang menemukan karya yang tidak direncanakan sebagai karya berukuran kecil, seperti sekadar memotong dari karya yang berukuran lebih besar.
Kurator sekaligus Direktur JIMB Syahrizal Pahlevi menambahkan, karya seni grafis itu sederhana, tetapi memiliki kerumitan dengan sejumlah alasan yang jarang terkemuka. Sekarang tantangan persaingan kian bertambah dengan munculnya fenomena teknik digital. Sudah ada teknik laser untuk membuat acuan cetak melalui komputer yang jauh lebih ringkas.
”Pada 2017 saya pernah residensi di China Printmaking Museum, Guanlan, di Shenzhen, China. Saya melihat ada upaya Pemerintah China menarik ke akar tradisi seni grafis mereka yang sudah berusia ribuan tahun,” ujar Syahrizal.
Di Indonesia, seni grafis mungkin memiliki akar tradisi seperti di dalam proses membuat batik cap, bukan batik tulis. Akan tetapi, teknik seni grafis terhenti pada proses membuat cap.