Mengenang Kemurnian Murniasih
Keberanian menjadi sumbu utama kerja kreatif, seperti ditunjukkan perupa I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966-2006). Sebuah pameran digelar untuk mengenang 15 tahun kepergiannya.
Keberanian menjadi sumbu utama kerja kreatif, seperti ditunjukkan perupa I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966-2006). Ia menggenggam erat rasa berani itu untuk menjadi beda dan menerbitkan kemurnian hati dan pikiran lewat lukisan dan beberapa patungnya.
Tahun 2021 genap 15 tahun kepergian Murniasih. Untuk memperingati momentum tersebut, Galeri Gajah yang berbasis di Yogyakarta dan Singapura memamerkan sebanyak 50 karya lukisan dan beberapa patung yang dibuat Murniasih pada periode 1996-2006. Pameran secara fisik digelar di galeri yang ada di Singapura pada 15 Juli hingga 15 Agustus 2021.
”Ketika berkarya, Murniasih seperti mengenakan kacamata kuda, tidak menengok ke kiri dan kanan. Ia terus melukis. Ia memiliki keberanian melukis dan mengikuti kata hati dan pikirannya,” kata pemilik dan pengelola Galeri Gajah, Jasdeep Sandhu, lewat perbincangan di telepon dari Singapura, Rabu (21/7/2021).
Jasdeep menunjukkan pameran di galerinya lewat video telepon selulernya. Sebuah patung kerangka besi membentuk figur manusia muncul pertama kali. Akan tetapi, bukan itu yang ingin ia tunjukkan.
”Ini pintu masuknya,” ujar Jasdeep yang kemudian menyorot pintu masuk galeri.
Dari pintu itu Jasdeep lalu menyorot catatan kuratorial hingga lukisan-lukisan yang terpajang di dinding galeri. Pameran ini dipersiapkan melalui riset selama dua tahun. Menurut Jasdeep, Murniasih merupakan seniman penting asal Bali dengan ide-ide yang sangat maju. Selain itu, kisah kehidupan Murniasih juga dramatik.
Video Jasdeep berhenti cukup lama di sebuah patung lunak (soft sculpture) yang diberi judul ”Thumb”. Patung berbentuk figur manusia perempuan dengan deformasi gaya khas Murniasih ini tidak diketahui tahun pembuatannya. Dimensinya cukup besar, 190 x 125 x 20 sentimeter, terpampang di dinding galeri.
Salah satu peneliti karya Murniasih, Astri Wright, yang terlibat membuat catatan kuratorial, memperkirakan patung lunak itu dibuat pada periode awal sekitar tahun 1996. Sebelum intensif melukis sejak 1993, Murniasih selain pernah bekerja di perusahaan kerajinan perak juga pernah bekerja menjahit di Bali. Patung lunak ini hasil kemampuan menjahitnya.
Jasdeep lalu menunjukkan empat patung lainnya. Kali ini patung terbuat dari lonjoran besi yang membentuk kerangka tubuh manusia. Ruang kosong keempat kerangka patung itu diisi dengan berbagai benda, berturut-turut meliputi beberapa pisau, gunting, ornamentasi genital perempuan, dan ornamentasi genital laki-laki. Keempat patung ini tanpa judul, dibuat pada periode akhir hidup Murniasih, 2005-2006.
Patung lunak dan empat patung kerangka besi itu ditampilkan beserta lukisan-lukisan Murniasih. Menurut Astrid, patung lunak dan patung kerangka tubuh manusia itu seperti simbol yin dan yang, lunak dan keras.
Astri memberikan catatan kuratorialnya bersama tiga penulis lain, meliputi Aisha Amrin, Nicole Soriano, dan Wulan Dirgantoro. Aisha dan Nicole dari pihak galeri, Astri dan Wulan sebagai penulis lepas.
Pemaknaan
Murniasih banyak dikenal lewat karya lukisan erotika yang mengeksplorasi organ intim ketubuhan perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, banyak juga karya lukisannya tentang hal lain, seperti hewan-hewan kesukaan dengan deformasi khas gaya Murniasih. Berikut pula, karya abstrak lainnya yang memiliki narasi menarik. Ini membutuhkan pemaknaan baru.
”Ada yang lebih luas dari sekadar seks. Ini ide baru yang masih harus kita kembangkan, bahwa Murniasih itu berbicara tentang hidupnya, tentang karya seninya, dan tentang menjadi manusia yang bebas mencipta karya seni,” ujar Astri lewat perbincangan telepon dari tempat tinggalnya di Kanada.
Baca juga : Mempertanyakan Waktu lewat Seni Rupa
Menurut Astri, Murniasih terkoneksi dengan mimpi-mimpi manusia secara universal melalui representasi kehidupannya. Murniasih harus dilihat dengan kacamata yang lebih luas, tidak sekadar dari karya-karya yang mengeksplorasi organ vital ketubuhan laki-laki dan perempuan.
Astri pertama kali berjumpa dengan Murniasih di Bali pada tahun 1996. Ia pernah menuliskan kisah Murniasih di harian The Jakarta Post, pertama kali pada 1997.
Astri dalam perjumpaan beberapa kali menangkap esensi hidup Murniasih yang terus menyerap kemampuan dan pengetahuan dari lingkungan dan orang-orang terdekat di sekitarnya. Astri menangkap hal itu selaras dari ekspresi mata seorang perempuan penari Bali.
”Perempuan penari Bali memiliki ekspresi yang dramatis ketika membuka matanya lebar-lebar dan tajam. Murniasih seperti itu. Ia membuka matanya lebar-lebar dan menyerap segala sesuatu dari lingkungan di sekitarnya,” ujar Astri.
Murniasih banyak belajar tentang hal baru dan populer, tetapi banyak pula tentang tradisi Bali. Karya-karyanya memiliki karakter yang berdampak, penuh energi, berbentuk sederhana, otodidak, dan universal. Semestinya, ini masuk wacana dan peta dunia seni rupa global.
”Murniasih memiliki kemiripan kisah kehidupan dengan Frida Kahlo (1907-1954) asal Meksiko, tetapi karya seninya jauh berbeda,” ujar Astri, seraya menambahkan, saat ini Murniasih membutuhkan penulisan lebih intensif untuk dikenalkan kepada dunia.
Murniasih memiliki kekhasan gaya tersendiri untuk menyuarakan kebebasan dalam berkarya. Lukisan erotika bukanlah sebuah halte perhentian untuk pemaknaan terhadap Murniasih lebih lanjut. Murniasih memiliki ide tentang kebebasan.
Astri menyorot pula pelukis asal Spanyol, Pablo Picasso, pun banyak melahirkan lukisan erotika. Akan tetapi, Picasso memiliki pemaknaan lebih dari sekadar karya-karya erotika. Salah satunya, Picasso populer dengan kubisme dan diikuti banyak seniman lain dari masa ke masa.
”Murniasih dengan kekhasan gayanya itu melukis dengan sangat simpel. Saat ini Murniasih sudah dikenal secara regional di Asia Tenggara sampai Australia. Masih ada tantangan untuk mengenalkan ke belahan dunia lainnya,” ujar Astri.
”Support system”
Riwayat Murniasih yang terlahir di Tabanan, Bali, mudah dijumpai di berbagai buku atau media lain seperti internet. Di masa kecil Murniasih tumbuh di tengah keluarga dari Bali yang kemudian pernah bertransmigrasi ke Sulawesi Selatan.
Di usia remaja ia meninggalkan Sulawesi Selatan ke Jakarta untuk menjadi asisten rumah tangga. Untuk periode ini, Astri menyebut kota lain, yaitu Surabaya.
Pada akhirnya, Murniasih pulang untuk bekerja di sebuah perusahaan kerajinan perak dan menikah di Bali. Dari sini terlihat kembali karakter keberanian Murniasih. Ketika suaminya memilih perempuan lain dengan alasan Murniasih tidak bisa memberikan anak, Murniasih menggugat cerai.
Ahli sejarah seni Wulan Dirgantoro, yang juga menulis catatan kuratorial untuk pameran Murniasih kali ini, mengungkap catatan penting periode pascaperceraian Murniasih pada 1993. Murniasih mendapatkan support system, sebuah kondisi yang memungkinkan Murniasih tumbuh berkembang sebagai perupa otodidak.
”Saya meriset Murniasih sejak 2005 dan menjadikan bahan disertasi doktoral saya di Universitas Tasmania, Australia, selesai 2007,” ujar Wulan, yang sudah belasan tahun mengajar di Universitas Melbourne, Australia.
Wulan menyebut peranan support system bagi Murniasih di dunia melukis itu sangat penting. Ini ditandai dengan Murniasih belajar melukis dari seorang pelukis tradisi asal Pengosekan, Ubud, Bali, yang bernama Dewa Putu Mokoh. Senyampang hal itu, Murniasih belajar melukis juga dari seniman asal Italia, Edmondo Zanolini, yang kemudian menjadi pasangan hidup Murniasih.
Baca juga : Berharap Mukjizat, Merawat Harapan
Pasangan hidup yang akrab disapa Mondo itu berperan besar dalam menyediakan berbagai kebutuhan melukis Murniasih. Mondo juga melukis, tetapi tidak pernah memengaruhi gaya melukis Murniasih.
Wulan mengatakan, di tempat tinggal mereka ada dua studio melukis yang terpisah. Satu untuk Mondo, yang lainnya untuk Murniasih. Lukisan Mondo pernah dilihat Wulan, lebih bertekstur. Mondo pula yang mendorong Murniasih untuk melukis yang berbeda dengan lukisan-lukisan lainnya.
”Saya mulai meriset karya Murniasih dari isu periode pasca-Reformasi 1998. Karya Murniasih mencerminkan isu feminisme dengan sangat berani. Ia cerdas. Lukisan dengan judul-judul karyanya itu membuat kita berpikir keras,” tutur Wulan.
Sejak 2005 Wulan sempat mengikuti proses lahirnya patung Murniasih yang terbuat dari lonjoran besi tadi. Pada tahun itu Murniasih sudah didiagnosis kanker.
Baca juga : Uang Kripto Merambah Seni
Murniasih berniat membuat patung yang terbuat dari bahan yang lebih tahan lama, yaitu besi, supaya karyanya tetap dikenang di masa-masa kemudian. Hingga setahun kemudian, 2006, Murniasih meninggal akibat kanker.
Sebelum meninggal, Murniasih dengan banyak karya seninya menginginkan pula untuk memiliki sebuah museum. Akan tetapi, sampai sekarang keinginannya itu belum terwujud.
”Murniasih sebagai seniman pencipta imaji yang tekun. Ia seniman otodidak yang tidak terikat konvensi-konvensi tradisional ataupun akademis,” ujar Wulan.