Meski menyeret ke masa lampau, seni kriya terakota mampu menawarkan wajah lain seni rupa kontemporer global. Seniman Indonesia bakal menghadirkannya di ajang festival seni rupa kontemporer Liechtenstein Triennale.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Meski menyeret ke masa lampau, seni kriya terakota mampu menawarkan wajah lain seni rupa kontemporer global. Seniman Indonesia bakal menghadirkannya di ajang festival seni rupa kontemporer Liechtenstein Triennale di sebuah negara yang masuk deretan paling kecil di dunia sekaligus salah satu yang termakmur.
Liechtenstein diapit wilayah Swiss dan Austria di pegunungan Alpen, Eropa. Liechtenstein Triennale untuk ketiga kalinya akan berlangsung pada 22 Agustus-3 Oktober 2021. Seniman asal Indonesia, Fauzi As’ad (52), yang tinggal di Liechtenstein, mengajak seniman kriya Endang Lestari (44) yang menetap di Yogyakarta untuk berpartisipasi di ajang seni rupa kontemporer tiga tahunan tersebut.
Tari, sapaan Endang Lestari, pun terlebih dahulu menggelar pameran karya seni keramiknya di Soboman 219 Art Space Yogyakarta, 18 Juli-27 Agustus 2021 ini. Tari menyadari bahwa material seni terakota dari tanah liat akan menyeret audiensnya ke masa lampau.
Terakota atau yang juga dikenal sebagai tembikar, gerabah, atau keramik, menggiring ingatan kepada masa lalu. Bahkan, menggiring ke masa ditemukannya api untuk mengeraskan material yang dibuat dari tanah liat. Awal terjadinya hal itu tentu sudah ribuan tahun silam. Akan tetapi, Tari ingin memperlihatkan sisi lain dari seni terakotanya.
Spiritual
Ada pesona dan keindahan yang liat. Seni terakota Tari menyentuh persoalan spiritual. Tari tidak segan-segan memaparkan sisi spiritual dari semua karya yang dipamerkan. Ada sebanyak 14 judul karya.
”Karya ini simbol sesuatu yang tidak tampak, tetapi bisa kita dengar. Sesuatu itu udara. Ketika ditiupkan melalui karya-karya terakota ini akan menimbulkan suara dan bisa kita dengar,” ujar Tari melalui perbincangan telepon dari Yogyakarta, Rabu (21/7/2021).
Karya terakota, yang antara lain menghasilkan bebunyian ketika ditiup, itu diberi judul ”Rock Sound” atau ”Suara Batu”. Tari membuatnya dalam jumlah banyak dan disusun di atas sebuah rak kaca. Selintas karya itu terlihat seperti bongkahan-bongkahan tanah liat yang tidak beraturan. ”Rock Sound” menjadi sebuah semiotika keyakinan terhadap sesuatu yang tidak tampak, tetapi kehadirannya bisa kita rasakan. Udara sebagai sesuatu yang tidak tampak itu bahkan memberi kehidupan.
Karya ini simbol sesuatu yang tidak tampak, tetapi bisa kita dengar. Sesuatu itu udara. Ketika ditiupkan melalui karya-karya terakota ini akan menimbulkan suara dan bisa kita dengar. (Endang Lestari)
”Kita merasakan sesuatu yang tidak terlihat dengan mendengar suaranya,” ujar Tari, alumnus program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia meyakini siklus kehidupan adalah awal kehidupan yang baru. Spiritualitas semacam ini diwujudkan ke dalam karya lainnya.
Tari membuat peleburan terakota yang pecah. Terakota pecah itu sebuah perayaan kelahiran baru. Dari proses kelahiran itu ia membentuk menjadi beberapa karya seri ”Unlimited Seemless”.
Ada yang berbentuk botol, ada pula bulatan seperti jeruk. Sebanyak 26 botol terakota itu disusun rapi di atas rak. Deretan butir seperti jeruk sebanyak 130 butir ditata dan dipajang di dinding.
Jumlah yang banyak menawarkan narasi lain. Narasi itu tentang hidup menjalani keasyikan sesuatu yang berulang-ulang. ”Membuat terakota akan menemukan keasyikan tersendiri yang ingin selalu diulang-ulang,” ujar Tari, yang juga ingin menyampaikan hal itu dalam lokakarya di Liechtenstein Triennale nanti.
Di Liechtenstein nanti, Tari tidak hanya akan memamerkan karya-karyanya. Ia akan berinteraksi dengan publik lewat diskusi dan lokakarya untuk menciptakan terakota dengan rasa dan nilai spiritualnya. Terakota akhirnya bukan menjadi sekadar benda dari peradaban kuno dan lampau, tetapi menjadi simbol spiritual kekinian bagi setiap orang.
Pertemuan lampau dan kekinian juga menjadi perhatian menarik bagi Tari. Ia mewujudkannya ke dalam karya seri lainnya yang diberi judul, ”Stone Milker” atau ”Pemerah Batu”. Konsep karya ini terinspirasi terakota yang tergerus waktu di kompleks pemakaman Sunan Pandanaran di Klaten, Jawa Tengah.
”Untuk mengaitkan masa kekinian, saya menempatkan terakota seperti batu bata di atas rumput sintetis. Saya ingin menunjukkan terakota yang mampu terus bertahan digerus waktu,” ujar Tari, yang lahir di Banda Aceh dan memiliki garis keturunan ayah yang berasal dari Klaten itu.
Di atas tumpukan batu bata ditempatkan bentuk-bentuk terakota yang lonjong. Jumlahnya cukup banyak dan terdiri atas berbagai ukuran. Karya seri ”Stone Milker” lainnya berupa bulatan-bulatan lonjong terakota yang digantung.
Terakota memiliki daya hidup di segala zaman. Ini narasi yang juga dikemas Tari ke dalam karyanya yang diberi judul ”Natura Magical”. Karya terakota ini berbentuk pohon beringin dengan akar-akar yang tumbuh di atas kerangka besi berisi bebatuan. Akar pohon beringin berhasil menembus lapisan batu di dalam kerangka besi. Sama halnya terakota di masa kekinian yang mampu menembus dan melewati setiap perubahan zamannya.
Terakota bisa menjadi medium estetika dan saluran ekspresi. Tari memberi contoh lewat karya lainnya yang diberi judul ”Randomization”. Ini sebuah karya seri beberapa lempengan terakota yang diberi ekspresi goresan tangan tidak beraturan. ”Saya membebaskan goresan tangan di atas lempengan-lempengan keramik ini. Ini sebuah pengulangan dan seperti menjadi karya lukisan abstrak,” kata Tari.
Saya membebaskan goresan tangan di atas lempengan-lempengan keramik ini. Ini sebuah pengulangan dan seperti menjadi karya lukisan abstrak. (Endang Lestari)
Tidak kalah unik, ketika menengok karya lain yang diberi judul ”Red Layer Under Skin”. Tari membuat citra gambar di dua lapisan. Lapisan pertama di atas kaca, lapisan berikutnya di atas kertas yang ada di balik kaca tersebut.
”Ini sebuah karya eksperimen drawing untuk melihat manusia di balik lapisan kulit adalah semua sama,” ujar Tari, seraya menambahkan betapa tipisnya lapisan kulit manusia yang justru kerap dijadikan alasan pembeda bagi sesamanya.
Terkait Liechtenstein, ini adalah negara tanpa militer dan tidak memiliki utang dengan pendapatan perkapita penduduk terbilang tinggi. Melalui seni, Liechtenstein memberi jalan baru bagi diplomasi dan relasi dengan Indonesia.
”Pada 2020 ditunjuk Konsul Kehormatan pertama kalinya untuk perjanjian dagang Indonesia dengan Liechtenstein,” kata Duta Besar RI untuk Konfederasi Swiss dan Liechtenstein, Muliaman D Hadad.
Muliaman menyampaikan hal itu secara daring ketika membuka pameran Tari yang diberi tajuk ”Endless” atau ”Tanpa Akhir”. Hubungan secara intensif Indonesia dengan Liechtenstein juga baru dimulai pada 2018. Liechtenstein meski negara dengan wilayah kecil, tetapi memiliki investasi dengan nilai yang tinggi di dunia.