Dokumenter Lingkungan Sajian Plastik di Atas Piring
Perundungan manusia atas bumi yang menghidupinya, dengan mencampakkan aneka sampah, digaungkan lewat ”Pulau Plastik”.
Perundungan manusia atas bumi yang menghidupinya, dengan mencampakkan aneka sampah, digaungkan lewat ”Pulau Plastik”. Keegoisan untuk menggunakan produk sekali pakai bakal berakhir menyengsarakan penggunanya sendiri. Pesan yang teramat kontekstual untuk menggedor kesadaran soal ancaman plastik.
Kolase informasi mengenai sampah plastik membuka film tersebut. Eksperimen beberapa penyelam di dasar laut sekitar Bali menyajikan substansi betapa plastik telah berdampak terhadap semua lini kehidupan. Tayangan menjijikkan masih berlanjut.
Gunungan sampah spontan turut menyentak benak. Sorotan kamera bergerak menampilkan camar-camar yang melayang di atas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Denpasar, Bali. Pandangan menyusuri hamparan buangan dengan drone itu diikuti adegan yang tak kalah mengenaskan.
Botol, kemasan makanan, dan kantong plastik yang mengapung di perairan Bali diikuti keterangan soal sampah kiriman yang terjadi hampir setiap tahun hingga 25 ton per hari. Setelah Kuta, Sanur dan beberapa pantai berganti dipadati sampah.
Gede Robi turut menunjukkan kenyataan yang amat menyesakkannya. Kurang dari lima menit menyusuri Pantai Sanur, kedua tangan vokalis Navicula itu sudah penuh menggenggam sedotan plastik. Ia juga mengungkapkan peredaran sedotan plastik lebih dari 93 juta tangkai setiap hari.
”Indonesia saat ini menyandang gelar sebagai negara kedua terbesar di dunia penyumbang sampah plastik ke lautan,” ujar Robi di sela konsernya. Navicula sudah 20 tahun melanglang Indonesia, bahkan dunia, untuk mengetuk pemahaman publik, termasuk mengatasi sampah plastik.
Organisasi konservasi lingkungan Ecoton ikut mengungkapkan fakta yang mengenyak. Plastik yang terdegradasi lantas menyelinap dalam rantai makanan. Mikroplastik yang ditemukan dalam sajian laut otomatis juga memasuki tubuh penyantapnya.
Jeroan bandeng yang diteliti, umpamanya, menunjukkan bioakumulasi dalam pencernaan manusia. Obrolan tentang dampak sampah itu terhadap lingkungan di warung hidangan laut sekelebat membersitkan imaji tentang sajian plastik di atas piring.
”Apa yang kita buang akan kembali ke meja makan kita,” kata pendiri Ecoton, Prigi Arisandi, soal lingkaran setan sampah plastik yang terus berputar. Tak heran, ia gencar mengampanyekan #Stop Makan Plastik untuk menghentikan pencemaran itu.
Kognisi penonton masih digiring dengan cuplikan-cuplikan yang memasygulkan. Penyelam yang berenang di lautan sampah plastik berpapasan dengan pari. Sekitar 40 persen plastik yang dibuang di Indonesia juga berakhir di laut. Pada 2050, plastik di laut diperkirakan lebih banyak daripada ikan.
Masalah nasional
Dandhy Laksono masih melabrak nalar lewat ide-ide liar dengan kekritisannya. Kali ini, ia menjukstaposisikan Bali dengan limbah. ”Pulau Dewata” dengan sampah plastik. Kedewaan yang sepatutnya diagung-agungkan, dibenturkan amat kontras dengan onggokan tak bernilai yang terserak.
”Judul film itu memang dipicu begitu banyak sampah sehingga memunculkan kekhawatiran Bali jadi pulau plastik,” katanya. Dandhy dikenal lewat dokumenter-dokumenter investigatif macam Sexy Killers, Yang Ketu7uh, dan Samin vs Semen.
Kali ini, ia bertandem dengan Rahung Nasution menyutradarai Pulau Plastik. Film itu tak sekadar berkutat tentang Bali karena sampah plastik, tetapi juga masalah nasional. Mereka pun bergeser ke Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, sampai Jakarta.
Karut-marut di Bali terus bergulir dengan kemasan makanan usang buatan tahun 1980-an di pantai, polusi hasil pembakaran sampah yang menyebarkan racun, hingga bongkar muatan truk di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Perjalanan itu diselingi mengecek sungai-sungai besar. Selain Robi dan Prigi, Pulau Plastik menampilkan Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Dandhy dan Rahung menyiapkan filmnya selama tiga tahun hingga bisa ditayangkan di bioskop-bioskop.
”Sebenarnya, Pulau Plastik sudah selesai sebelum pandemi. Waktu itu, sampah impor dari Eropa dan Amerika juga lagi ramai-ramainya,” kata Dandhy. Pagebluk ternyata tak kunjung usai. Ia pun menunggu beberapa eksperimen yang sedang diselesaikan.
Walhasil, film tersebut mengikutsertakan penelitian jejak sampah plastik terhadap 100 sampel feses manusia. Penonton juga bisa menyimak hasil pengecekan plastik yang diklaim ramah lingkungan setelah ditempatkan di dasar laut selama enam bulan.
Sebenarnya, Pulau Plastik sudah selesai sebelum pandemi. Waktu itu, sampah impor dari Eropa dan Amerika juga lagi ramai-ramainya.Dandhy Laksono
Momen perenungan
Film berdurasi sekitar 100 menit itu dirilis perdana di Denpasar bersamaan dengan Hari Bumi pada 22 April 2021 hingga tiga hari setelahnya. Pemutaran Pulau Plastik berlanjut di Yogyakarta, Surabaya, Palembang, dan Makassar pada 26 April-1 Mei 2021.
Mulai 29 April, giliran Jabodetabek dan Bandung yang dijajaki hingga 8 Mei. Film itu merupakan kolaborasi Visinema Pictures, Kopernik, Akarumput, dan Watchdoc. Dandhy mengakui situasi saat ini sulit untuk meluncurkan film, tetapi ia tetap mengungkapkan keoptimisannya.
”Produser dan penonton susah, tetapi justru masa pandemi untuk dokumenter jadi momen perenungan yang tepat,” kata Dandhy. Saat aktivitas luar ruang manusia jauh berkurang dan bumi menghela napasnya sejenak, kontemplasi menjadi sangat relevan.
Film-film Hollywood pun belum banyak dilepas ke pasaran karena pandemi. Dokumenter yang serta-merta menyeruak malah dianggap unik. ”Jadi lucu. Harus ada yang memulai juga. Kalau munculnya saat ramai dan bersaing dengan film besar, mungkin underdog (tak diunggulkan). Bahkan, tenggelam,” ucapnya.
Dandhy justru memandang kemitraan dengan penyelenggara sinema sebagai pengarusutamaan Pulau Plastik. Dokumenter masih amat jarang diputar di layar lebar. ”Kalau dibandingkan dengan musim waktu ada Avengers, ya, memang jalan yang sunyi, tetapi dalam konteks sosiologi masa pandemi, sebenarnya enggak,” katanya.
Baca juga : Pensiunan ”Gatal” dan Pemulung Cantik Duta Bank Sampah Cirendeu
Film itu diputar di 37 layar di kota-kota yang dianggap representatif. Setelah setahun menatap gawai, pemburu hiburan perlu nuansa yang berbeda. ”Ada sosialiasi dan diskusi. Sejak Indonesia merdeka sampai Pulau Plastik beredar, saya amati baru 12 dokumenter yang ditayangkan di bioskop,” katanya.
Saat ditanya target jumlah penonton, Dandhy menyerahkannya kepada Visinema Pictures. Demikian pula Rahung yang tak spesifik menyebutkan ekspektasinya. ”Semakin banyak yang nonton, lebih baik. Sampah di TPA berakhir di laut yang tak terurai hingga puluhan tahun,” katanya.
Dandhy, Rahung, dan semua kru Pulau Plastik berharap karyanya dapat mengamplifikasi suara mereka dan menginspirasi masyarakat, seperti yang disampaikan Robi. ”Selama bisa bersuara, saya tak akan berhenti berusaha. Demi semua yang kita cintai,” ujarnya.