Redian dan Kulkas Barunya
Saya mungkin satu dari banyak orang yang tidak bisa hidup tanpa kulkas. Tubuhnya yang tegak dan gagah, menjaga kesegaran minuman dan makanan.
Panggilan dari Redian masuk ketika saya memutuskan untuk menjual kulkas tua. Deringnya memecah ruangan apartemen saya yang dibalut sunyi, sebab suara dengung dari belakang kulkas membisu tanpa aliran listrik. Kabel sekaligus ujung colokan terkulai dekat kaki kulkas.
”Tadi pagi, Kibo mati. Aku menyimpan tubuhnya di dalam kulkas. Aku harap kamu bisa ikut menguburkannya. Anggaplah kali ini salam terakhir.”
Mengapa di saat seperti ini dia harus menelepon dan hanya mengabarkan kalau kucing peliharaan mati. Benar bahwa Kibo kucing yang dulu sama-sama kami adopsi sejak kecil dan kami rawat penuh kasih. Namun, panggilannya hadir di saat yang sangat tidak tepat. Kalau Redian boleh menelepon kapan saja, tidak bolehkah saya menceritakan bilamana hari ini yang terburuk sepanjang 30 tahun saya hidup?
”Sebaiknya segera kita kuburkan. Mungkin besok?”
”Kita yang merawat, kita juga harus memberi penghormatan layak.”
”Emmm.”
Klak. Suara Redian terputus. Tidak lebih dari tiga menit. Dan selalu sama, Redian tak pernah mau mencari tahu apa yang sedang saya resahkan. Bahkan bila ujung kematian ada di leher saya, Redian pun tak mau peduli. Asal semua yang dimauinya terlaksana, sudah purna tugasnya. Dia hanya mengabarkan Kibo mati dan butuh kehadiran saya untuk mengistirahatkan Kibo.
Sejak awal saya mengenalnya, Redian selalu merasa tidak perlu tahu yang terjadi di luar dirinya. Terlebih setelah hampir setahun kami berpisah baik-baik. Tentulah saya bukan yang ingin diketahui kabarnya, kecuali ya itu, soal kematian Kibo.
Awal bulan lalu, saya dirumahkan. Di masa susah demikian, pekerjaan, uang, dan kesempatan berkali-kali kabur dari rengkuhan. Pun nyawa manusia ibarat randa tapak terbang dari pangkal batang. Saya mengira saya akan masuk dalam pengecualian. Saya taat beribadah kepada Tuhan, saya taat protokol yang diwajibkan pemerintah. Jadi harusnya hal mengejutkan itu jauh-jauh dari saya.
Selama sebulan saya berusaha hidup dengan mencari yang bisa dikerjakan dari kenalan. Ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Dan puncaknya mungkin di hari ini. Saya akan pindah ke tempat kos yang lebih murah demi menekan pengeluaran sambil mencari pekerjaan baru.
Apartemen saya ini tidak terlalu besar, sebab saya tidak mau 24 jam sehari saya habiskan mengelap debu di setiap senti ruangan. Makin besar ruangan bukannya saya semakin malas berbenah, justru sebaliknya. Saya hampir tidak bisa tidur dengan tenang bila belum memastikan tidak ada sisa biskuit yang terselip di bantalan sofa, tidak ada sisa kuah mi instan atau tumpahan minyak goreng tercecer di leher bak cuci piring. Bila sudah saya periksa semua, giliran sudahkah keran wastafel tertutup sempurna. Apa sampah kering sudah terpisah dari sampah basah. Atau buku yang saya baca sebelum tidur telah tertutup sempurna dengan posisi bookmark yang benar. Demi mengurangi pekerjaan sebelum tidur itu, saya memilih apartemen kecil ini.
Sebab rencana pindahan tersebut, kulkas dua pintu kesayangan itu harus rela saya jual. Saya sebaiknya ganti kulkas lebih kecil, menyesuaikan luas dan daya kos baru. Kulkas dua pintu penuh kenangan ini harus diserahkan ke tukang loak.
Kulkas tua itu sudah menjadi brangkas dengan ragam isi. Mulai dari sayuran layu, makanan beku, minuman kaleng, tempat saya menempel magnet kulkas—kenangan dari masing-masing tempat saya melancong, sekaligus tempat meredam bara di kepala. Sejatinya ia masih bisa berfungsi dengan baik, hanya sebab tua dengung dari belakang kulkas terdengar keras. Beberapa kali memang sempat harus saya inapkan di tempat servis elektronik tepi jalan. Kulkas yang saya beli dengan gaji pertama saya itu mungkin sudah saatnya berpisah.
Saya mungkin satu dari banyak orang yang tidak bisa hidup tanpa kulkas. Tubuhnya yang tegak dan gagah, menjaga kesegaran minuman dan makanan. Terlebih ketika pertama kali mengetahui bahwa benda itu mampu mengeluarkan es batu. Saya pernah mengira es batu hanya ada di rumah orang-orang tertentu, atau harus beli bongkahan balok agar bisa sekadar menikmati limun dingin dengan denting suara potongan es batu menyenggol dinding gelas. Sejak itu saya mencintai kulkas. Bahkan saya ikhlas bila harus mati sambil memeluk kulkas. Mau kulkas baru atau tua seperti punya saya.
Semua itu tak perlu Redian ketahui. Lima menit kemudian pesan dari Redian masuk kembali. Jam empat sore. Ada Lusi.
Tidak saya balas. Makna tersirat dari lima kata Redian itu jelas bagi saya. Datang hanya untuk menguburkan Kibo, tidak boleh mengungkit-ungkit bahwa kami pernah hidup serumah hampir lima tahun. Fakta bahwa Lusi yang menjadi istri sah Redian tidak pernah bisa saya sanggah.
Sekerlip bintang di langit malam mengintip dari celah jendela kaca. Di bawah jalanan masih riuh. Mungkin di salah satu kursi penumpang taksi atau bangku paling pojok transjakarta ada yang menangis seorang diri, merasa menjadi yang paling kalah bahkan isak tangis pun tak boleh ada yang mendengar—seperti saya sekarang.
Tepat pukul empat sore saya menekan bel rumah Redian. Tajuk pohon mangga menyentuh ujung pagar. Cat rumah dan susunan bangku di teras tetap sama. Di sana saya kerap menamatkan buku di Sabtu sore dan Redian bermanja-manja bersama Kibo.
Lusi keluar dengan riasan cukup tebal. ”Redian menunggumu di teras samping.”
Saya mengangguk. Pastilah akan kikuk bila dua orang yang mencintai satu lelaki berjumpa begini. Gegaslah saya menuju samping bangunan utama. Jikalau belum direnovasi, di pekarangan samping dua pokok nanas yang kehadirannya cukup aneh di halaman rumah Redian. Kisah unik pohon nanas ini harus dikisahkan Redian sendiri. Terlalu sentimentil dan saya lebih sering tertawa bila kembali mendengarnya.
Redian berjongkok mengelus bulu kucing, yang bukan Kibo. Kibo sudah mati. Kucing itu tentulah kucing lain yang Redian dan Lusi adopsi.
”Kamu masih sama. Perfeksionis dan selalu tepat waktu.”
”Sepertinya sifat itu tidak akan berubah.”
Redian tersenyum. Saya justru kikuk membalasnya. Haruskah memasang wajah lempeng kepada Redian? Ataukah memberi Redian senyum seperti biasa? Namun, mungkin saja di balik kaca Lusi sedang mengawasi.
”Duduk sebentar!”
Saya duduk menatap pohon nanas yang kali ini sudah mulai berbunga. Pokok-pokok pohon rambutan juga menjulang kokoh. Rambutan yang selama saya tinggal di rumah ini baru dua kali merasakan buah manisnya. Sisanya kalau tidak masam pasti habis diterjang angin. Ternyata Redian juga menambahkan kolam ikan kecil yang keruh oleh daun-daun rambutan rontok. Saya kira Lusi bisa meluangkan waktu satu dua jam saban pagi untuk meraih daun-daun itu. Menyapu daun-daun yang rebah di tanah.
Dari dalam rumah saya dengar Lusi lantang bersuara.
”Sampai jam sembilan. Iya, maksimal. Tante Kesi terpeleset di kamar mandi.”
Saya tidak mendengar jawaban Redian. Yang saya dengar kemudian Lusi menyalakan mobil dan membuka gerbang. Dia pergi tanpa sekadar basa basi pamitan kepada saya.
”Lusi ada urusan sebentar.”
Redian kembali ke teras samping. Tangannya membawa pinggan. Dua cangkir teh yang mengepulkan asap hangat. Beberapa potong bika ambon dalam piring kecil. Bulu kuduk saya berdiri. Ada sehelai rambut ukuran tiga sentimeter mencuat dari balik potongan bika ambon. Entah anak rambut Lusi atau salah satu rambut Redian yang terjatuh. Warna kuning menggoda bika ambon seketika buyar di mata saya.
”Terima kasih. Kita bisa kuburkan langsung Kibo.”
”Kibo keracunan.”
Mungkin Lusi yang dengan sengaja mencampurkan makanannya dengan potas. Dia pasti tahu kamu lebih sayang Kibo daripada kucing baru kalian.
Menjelang purna gelap. Kami berhasil menguburkan tubuh Kibo di dekat kolam ikan, dinaungi rimbun pohon rambutan. Bila hari panas biarlah tajuk rambutan menyejukkan tubuh Kibo. Selama prosesi pemakaman kami tak bicara, dikelukan kesedihan. Tangan saya meraih tanah galian, sedangkan Redian memastikan galian sudah cukup dalam untuk menyimpan tubuh Kibo. Tanpa nisan, tanpa gundukan, Kibo ditanam. Apakah kucing membutuhkan rangkaian bunga? Meski kami menyayanginya, kami tak berniat mengantar Kibo dengan tangisan paling nestapa.
Saya tidak menemukan kelopak bunga selain dari perdu nanas.
”Apakah boleh?” saya meminta izin Redian.
”Almarhum ibu tidak akan menagihnya. Ambil saja untuk Kibo.”
Tangan saya menyibak duri-duri di daun nanas, memotek kelopak bunga satu-satunya. Meletakkannya di atas tanah yang menyimpan tubuh Kibo. Redian memanjatkan doa kepada Tuhan miliknya. Dan saya kepada Tuhan saya. Meski Tuhan kami berbeda, muara doa kami sama agar Kibo bahagia. Selepas cuci tangan dan menyimpan sekop, kami duduk kembali di teras.
”Pohon nanasmu masih saja berbunga.”
”Tapi tak pernah berbuah.” Tanpa diberi tahu, saya sudah bisa memprediksi apa yang bisa dikerjakan Lusi, wanita yang saya pikir lebih cocok tinggal dengan 24/7 layanan penuh.
”Setiap kali mengingatnya, perutku kaku.”
Tangannya meremas telapak saya. Dia menolak. Kami sama-sama tahu di balik pohon nanas itu ada kisah bodoh Redian.
”Lusi pesan kulkas itu sebaiknya dibuang.”
Redian menunjuk kulkas dua pintu yang teronggok di balik pintu. Tak jauh dari sana, sebuah kulkas baru juga dua pintu masih terbungkus plastik. Lusi muak dan ingin membuang jauh-jauh kulkas miliknya, saat tahu Redian menyimpan bangkai Kibo di salah satu raknya. Buang jauh-jauh dan beli baru! Redian bukan tipe lelaki jorok dan asal. Menyimpan bangkai kucing dalam kulkas adalah pekerjaan ajaib, tetapi bisa saya pastikan Redian tidak sembarangan dalam kebersihan.
Dia pastilah telah lebih dulu menyemprotkan disinfektan ke tubuh kaku Kibo. Kemudian membungkus dengan berlapis-lapis plastik kedap udara. Kemudian menyimpan dalam kotak makan warna gelap agar tidak menumbuhkan jijik. Dan masih dirapatkan dengan isolatif bening. Dalam ukuran saya itu sudah cara terbaik menyimpan tubuh Kibo. Bila Lusi marah, entah sebab terkontaminasi jasad Kibo atau alasan yang lain, sungguh terbakar emosi belaka.
”Menjual kulkas sekarang ternyata tidak semudah dulu.”
Kalimat Redian terhenti di oranye sore yang mulai gelap. Udara makin dingin. Dan beberapa daun rambutan jatuh menimpa kelopak nanas di atas kuburan Kibo.
Saya melipat lutut dalam apartemen. Di hadapan saya terjejer dua kulkas sama-sama dua pintu. Satu kulkas tua milik saya. Satu lagi milik Redian, tempat tubuh Kibo beberapa jam lalu tersimpan. Kesunyian berputar-putar bagaikan loop memenuhi ruangan. Saya sesekali terseret, lebih sering terpental.
Saya beranjak dan meraih kabel daya dari masing-masing kulkas. Memasukkannya ke dalam stop kontak listrik. Seketika suara dengung dari dua kulkas itu saling bersahutan. Mana yang paling kencang saya tidak mengetahuinya, dan tidak terlalu penting untuk dicari tahu.
Sebab sama-sama tua dua kulkas itu berdengung cukup kencang.
Dengung dua kulkas itu cukup lantang menimpa ngiang pertanyaan Redian.
”Kenapa belum juga menikah?”
***
Teguh Affandi, bekerja sebagai editor di salah satu penerbit di Jakarta. Menulis cerpen dan ulasan buku di beberapa media massa. Pernah menjadi pemenang sayembara cerpen Majalah Femina, Green Pen Perhutani, dan Pena Emas Nurul Fikri. Bergiat di Klub Baca.
Rahardi Handining, Lulusan Sarjana Arsitektural Universitas Pandanaran, Semarang. Sejak 1997 mengisi kolom kartun di beberapa media di Indonesia. 2004-2018 bekerja sebagai desain grafis dan illustrator di harian Kompas. Aktif berkesenian sampai sekarang. Mendapat 23 penghargaan dari dalam dan luar negeri.