Pasar Lukisan Ramai, Peminat Diminta Tak Respons Berlebihan
Lelang lukisan, terutama dengan sasaran kalangan menengah atas, masih semarak di masa pandemi. Sebuah anomali di tengah kelesuan ekonomi. Walaupun demikian, peminat lelang perlu mempertimbangkan berbagai faktor.
Oleh
DWI BAYU RADIUS, NAWA TUNGGAL, RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasar lukisan, khususnya segmen menengah atas, tetap ramai saat pandemi. Jika tujuannya berinvestasi, mereka yang berminat mengikuti lelang diminta tak berlebihan merespons tren itu. Pembeli perlu mengutamakan seleranya selain memperhatikan rekam jejak pencipta karya seni tersebut.
Menurut Chief Executive Officer & Co-Founder Sidharta Auctioneer Syanda Kunto-Prabowo di Jakarta, Jumat (24/7/2020), masyarakat butuh hiburan pada masa pandemi. ”Seni adalah salah satu hiburan. Bahkan, pemilik bisa berkontemplasi saat mengamati lukisan,” katanya.
Animo masyarakat terhadap lukisan yang tinggi, misalnya, diindikasikan dengan peningkatan frekuensi penjualan karya seni tersebut lewat Sidharta Auctioneer. Sebelum masa pandemi, lelang diadakan tujuh kali per tahun. Saat ini, dua hingga tiga lelang dilaksanakan setiap bulan.
”Saya sering bilang kepada teman-teman, kalau berinvestasi dalam bentuk karya seni, jangan gelap mata,” kata Syanda. Jika dianggap investasi, karya seni bukan instrumen dengan indikator segamblang saham, properti, valas, atau deposito.
”Ada indeks setiap hari. Naik atau turun. Lukisan kalau suplainya berlebih atau tak ada peminat, harganya memang sulit naik, tetapi itu soal selera. Sangat subyektif,” ujarnya. Syanda menganjurkan mereka yang hendak membeli karya seni untuk menyukainya dulu.
”Waktu bangun, kita senang melihatnya. Jangan malah depresi atau seram. Karya seni kalau dijual tak semudah emas,” ucapnya. Peminat karya seni perlu memperhatikan karier penciptanya. Jika seniman tak lagi berkreasi, karyanya kemungkinan besar kurang diapresiasi.
”Pelukis konsisten atau tidak. Mungkin awalnya dia jago promosi, tetapi kalau tahu-tahu buka startup (rintisan dengan internet), susah,” ujarnya. Syanda turut mengoleksi karya seni di rumahnya. Ia berupaya kenal dan mengobrol dengan seniman sebelum membeli karyanya. Seniman dan karyanya punya fase.
Terkait itu, pelukis pun hendaknya berhati-hati. Mereka perlu mempertimbangkan dengan saksama untuk terus berkarya, lebih pelan, atau menahannya dahulu. ”Biasanya, kolektor punya budget. Misalnya, Rp 1 miliar per tahun. Saat pandemi ini, mungkin hanya dialokasikan 50 persen atau 20 persen,” katanya.
Bisnis berjalan seperti biasa, tetapi pendekatannya diadaptasikan. Sejak pandemi terjadi, Sidharta Auctioneer mengadakan lelang secara daring. ”Sebagian masyarakat mapan masih memiliki tabungan untuk hobi. Mereka membeli lukisan, tetapi tak jorjoran seperti biasanya,” katanya.
Kolektor-kolektor menjadi sangat selektif. Meski situasi tidak mudah, para seniman masih optimistis. Semangat mereka untuk berkarya tetap tinggi. ”Bagaimana kami bisa membantu supaya kreativitas mereka berkelanjutan,” kata Syanda.
Lukisan Christine Ay Tjoe bertajuk ”The Flying Balloon” juga dilelang dengan harga mencapai 5,93 juta dollar Hong Kong atau setara Rp 11 miliar di Sotheby Hong Kong pada 8 Juli 2020. Pemilik karya yang membeli saat Christine pameran di Jepang sempat menghubunginya. ”Kasih tahu mau dimasukkan lelang. Ya, sebenarnya itu sudah jadi hak mereka. Jadi, tak ada masalah,” jelasnya.
Pada tanggal yang sama, karya lain pelukis Indonesia tersebut dengan judul ”Layer as A Hiding Place” menembus batas atas harga penawaran yang diadakan Phillips Hong Kong. Ia mengaku tak mengetahui kolektor yang memasukkan karyanya ke Phillips Hong Kong. Kendati demikian, hal yang lebih prioritas justru tetap berkarya dan beraktivitasnya galeri. Bagi seniman, aktivitas itu dapat menjadi suntikan spirit.
Pemilik galeri Viviyip Art Room, Vivi Yip, menyampaikan, galeri di Indonesia kembali dibuka atau tidak, tergantung pemiliknya. Di luar negeri, galeri berjalan secara daring. Salah satunya, Art Basel. Sebab, yang utama bagi seniman adalah ruang untuk tetap menyampaikan karya ke hadapan pencinta seni.
Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Agung Hujatnikajenong mengatakan, pandemi sekaligus menjadi momentum seniman membangun reputasi. Berkaca dari tingginya hasil lelang pada masa pandemi, karya-karya yang terjual merupakan karya terpilih dengan reputasi seniman sangat mapan.
”Ini terlepas dari dua kemungkinan lelang yang didesain skenarionya atau hasil lelang yang berlangsung secara natural,” ucap Agung. Lelang yang didesain skenarionya bertujuan merangsang naiknya transaksi pasar berikutnya. Tak mustahil dari suatu peristiwa lelang, semua informasinya serba tertutup.
Agung mencontohkan, dari hasil lelang yang tinggi, tidak semua informasinya bisa diakses secara transparan, baik pemenang lelang maupun pemasok karyanya. Balai lelang menempuh hal itu biasanya memiliki alasan tersendiri.
”Untuk melihat pasar yang lebih valid, sebaiknya melihat kondisi pasar primer dan sekunder sekaligus,” ujar Agung yang juga kurator Artjog itu. Penguatan pasar primer terus dikerjakan, salah satunya dengan Artjog. Festival tahunan di Yogyakarta tersebut akan diadakan pada Agustus-Oktober 2020.