Menolak Mati meski Pandemi
Pandemi Covid-19 mendatangkan rasa haru biru dan pilu yang seperti tak berkesudahan, tetapi juga melahirkan inovasi yang memompa semangat dan harapan.
Pandemi Covid-19 selain mendatangkan rasa haru biru dan pilu tak berkesudahan, juga melahirkan inovasi yang memompa semangat dan harapan. Di ranah pasar seni rupa global, pandemi menghadirkan inovasi panggung baru lelang daring yang terbukti manjur. Seni rupa memang menolak mati pada masa pendemi.
Ada sensasi tersendiri dirasakan Iwan Kurniawan Lukminto, asal Solo, Jawa Tengah. Untuk pertama kali Iwan mengikuti lelang daring lukisan yang dijadwalkan Sotheby’s Hong Kong pada 8-9 Juli 2020. ”Emosi saya lebih terkendali,” kata pengusaha di bidang garmen PT Sritex di Solo, Rabu (22/7/2020).
Untuk mengikuti lelang daring itu, Iwan tak perlu hadir secara fisik di Hong Kong. Pada masa pandemi ini, Hong Kong masih menerapkan karantina selama 14 hari bagi pendatang. Jika datang ke Hong Kong, selama 14 hari pertama tak akan bisa ke mana-mana.
Sebelum lelang dibuka, Iwan dihubungi tim Sotheby’s Hong Kong. Ia diberi referensi beberapa lukisan yang ingin ditawar nanti. Pilihan Iwan jatuh pada koleksi lukisan karya S Sudjojono (1913-1986) berjudul ”Self Portait with Roses” (1956) dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 100 x 100 sentimeter.
”Di lukisan itu ada puisi Sudjojono dan potret diri Sudjojono membawa 25 kuntum mawar merah. Ini lukisan yang sangat personal, tetapi bersejarah, ketika Sudjojono hendak melamar Rose Pandanwangi menjadi istrinya,” ujar Iwan, yang sebelumnya sudah mengoleksi lima lukisan lain karya Sudjojono.
Menurut catatan di dalam buku Mia Bustam, Sudjojono dan Aku (2013), di masa pembuatan lukisan, Sudjojono tahun 1956 itu masih memiliki istri Mia Bustam. Akhirnya, Sudjojono menceraikan Mia Bustam, dan menikahi penyanyi seriosa Rose Pandanwangi pada 1959.
Saatnya tiba mengikuti lelang daring. Di rumah, Iwan duduk di kursi seraya menjaga jadwal lelang lukisan Sudjojono itu. ”Saat lelang dimulai, karya Sudjojono ini dibuka dengan harga berkisar Rp 1 miliar hingga naik selama 2 menit saja sampai pada penawaran saya yang tertinggi Rp 1,6 miliar. Saat menawar dengan mengeklik di komputer, saya merasakan sensasi tersendiri yang lebih terkontrol,” ujar Iwan, seraya menambahkan jika mengikuti lelang secara fisik, pertimbangan untuk menawar sering terpancing secara emosional.
Iwan akhirnya mendapatkan lukisan Sudjojono itu dari lelang daring Sotheby’s Hong Kong. ”Biasanya, dalam dua bulan setelah lelang, segera dikirim ke pemenang lelangnya,” ujar Iwan.
Pada masa pandemi Covid-19 di sepanjang Juli 2020, balai lelang global, seperti Sotheby’s, Christie’s, dan Phillips, menggelar lelang lukisan secara daring untuk pertama kali secara serentak di berbagai wilayah regional dunia. Ada beberapa karya perupa asal Indonesia lainnya yang terjual. Namun, tidak mudah menemukan informasi kolektor pembelinya.
Kolektor Syakieb Sungkar menyebutkan, ada beberapa kemungkinan dengan sulitnya melacak pemenang lelang tersebut di Indonesia. Mungkin saja kolektor memang meminta dirahasiakan untuk berbagai alasan, seperti menghindar dari pajak di Indonesia.
Menurut Iwan, pihak Sotheby’s Hong Kong secara resmi juga menginformasikan berhasil melelang karya perupa asal Indonesia lainnya, Srihadi Soedarsono. Bahkan, nilainya mencapai rekor baru, 451.000 dollar AS atau setara Rp 6,3 miliar, untuk lukisan Srihadi yang berjudul ”State of Meditation Bedhoyo Ketawang”.
”Saya baru mendengar kabar berita ini. Belum ada informasi siapa kolektor yang memenangi lelang karya saya itu,” ujar Srihadi, saat dihubungi Kompas.
”The new theatre”
Lelang daring bagi pejabat eksekutif puncak atau CEO balai lelang Christie Guillaume Cerutti di lamannya, disebut sebagai ”The New Theatre”. Lelang tanpa kehadiran fisik itu menjadi wahana teater baru untuk adaptasi sekaligus inovasi.
Menurut Cerutti, lelang daring Christie pada Juli 2020 ini dipantau 80.000 orang dari seluruh dunia, termasuk di antaranya 60.000 orang dari Asia turut mengakses lelang ini melalui media sosial.
Balai lelang Christie New York mencetak penjualan tertinggi dari lukisan ”Nude with Joyous Painting” karya Roy Lichtenstein (1923-1997) asal Amerika Serikat. Nilainya mencapai 46,2 juta dollar AS. Jika dihitung dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS, nilainya akan setara Rp 646 miliar.
CEO Sotheby’s Charles Stewart di lamannya menunjukkan kekaguman terhadap inovasi lelang daring ini. Ada 14 rekor baru tercipta. Sotheby’s New York mencatatkan penawaran tertinggi pada lukisan ”Triptych Inspired by The Oresteia of Aeschylus”. Ini karya perupa Francis Bacon (1909-1992) dari Inggris yang terjual di angka 84,6 juta dollar AS atau setara Rp 1,18 triliun oleh penawar anonim dari China.
Stewart memberi sinyal lelang daring akan membawa perubahan tersendiri di masa-masa mendatang. Pandemi Covid-19 melahirkan fenomena ini.
Sementara itu, balai lelang Phillips Hong Kong mencatatkan hasil transaksi yang tak kalah menarik. Di situ ada karya perupa Indonesia, Christine Ay Tjoe, dengan lukisan berjudul ”Layer as A Hiding Place” (2013), terjual dengan penawaran tertinggi 6,75 juta dollar Hong Kong atau 870.700 dollar AS, setara Rp 12,7 miliar.
Lebih intensif
Di tengah pandemi Covid-19 di Tanah Air, geliat lelang seni rupa ternyata menjadi lebih intensif. Setidaknya ini terjadi di balai lelang Sidharta yang pada tahun-tahun sebelumnya menggelar lelang rata-rata tujuh kali dalam setahun. Pada masa pandemi ini justru bisa menggelar dua kali lelang dalam sebulan. ”Lelang dilakukan secara daring. Menarik memang, ada dinamikanya tersendiri,” kata Amir Sidharta, pendiri balai lelang itu, di Jakarta.
Amir bertutur pengalamannya melelang salah satu lukisan karya Fadjar Sidik berjudul ”Dinamika Ruang” pada Juni 2020. Ini tergolong fantastis. Lukisan itu dilelang dengan harga dasar Rp 54 juta dan penawaran tertingginya mencapai empat kali lipat lebih, senilai Rp 240 juta.
Lukisan lain berjudul, ”Quiter Must be Kicked Out” karya Zabusa dimulai dengan nilai Rp 4,5 juta, terjual Rp 16,6 juta pada Mei 2020. Pada bulan sama, lukisan berjudul ”Untitled” karya Roby Lukita dengan harga awal Rp 4,5 juta mendapatkan penawaran tertinggi Rp 12 juta.
Lelang Instagram Live
Amir menilai fenomena lelang yang masih diminati pada masa pandemi Covid-19 menunjukkan karya seni rupa sudah menjadi kebutuhan. ”Masyarakat juga ingin berinvestasi dalam bentuk karya seni,” ujar Sidharta.
Perwakilan Indonesia untuk balai lelang Phillips Hong Kong, Vivi Yip, mengungkapkan, respons masyarakat untuk lelang tetap bagus selama pandemi Covid-19 ini. Bahkan, sejumlah lukisan yang dilelang melampaui harga estimasi.
Pangsa pasar dunia seni rupa sudah terbentuk dan tidak banyak mengalami perubahan signifikan dari segi profil orang yang meramaikan bursa ini. ”Seni rupa itu selain hobi, juga sudah jadi lifestyle, bahkan alternative investment. Selama karya bagus dan beredar di pasar, pasti akan diincar kolektor,” ujar Vivi.
Seperti balai lelang global lainnya, Phillips hampir serentak melelang lukisan di New York, London, Hong Kong, dan Geneva. Inovasi pun dilakukan dengan lelang daring. Phillips Hong Kong pada lelang daring 8-9 Juli 2020 diikuti 400 peserta dari 34 negara. Sebanyak 161 lot ditawarkan dan 150 lot terjual dengan total 35,1 juta dollar AS atau setara Rp 514,4 miliar dalam perhitungan kurs per 22 Juli 2020.
St Sunardi, akademisi Program Doktor (S-3) Kajian Budaya (Kajian Seni dan Masyarakat) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatakan, ada upaya menjadikan pasar seni rupa pada masa pandemi Covid-19 sebagai arena yang dinamis dalam kegiatan seni. Para pengelola balai lelang mengeluarkan lukisan yang menjadi incaran publik selama ini.
”Kita berharap pandemi Covid-19 yang semula melemahkan kesenian, lama-kelamaan kondisinya memberi situasi baru, inspirasi baru, dan kondisinya pun menjadi baru,” ujar Sunardi.
Fenomena ini dapat memberi semangat baru di tengah kelesuan karena kepungan Covid-19 bahwa seni rupa menolak mati di tengah pandemi.