Tekanan Sosial Iringi Gen Z yang Sulit Dapat Pekerjaan
Masyarakat beranggapan bahwa sarjana mesti segera bekerja dan mapan. Ini menambah tekanan para pencari kerja muda.
Dalam bayangan ideal sebagian masyarakat, orang yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi semestinya lekas bekerja untuk membangun hidup yang mapan. Namun, generasi Z kesulitan mencari pekerjaan di sektor formal. Lika-liku mencari pekerjaan jadi lebih sulit dengan tekanan sosial dari orang-orang sekitar.
Sarjana manajemen, Dani (23), memutuskan tetap tinggal di Yogyakarta setelah wisuda dari salah satu universitas di kota tersebut pada Maret 2024. Ia mencari pekerjaan dari Yogyakarta sambil menjalankan usaha tato temporer kecil-kecilan bersama kekasihnya. Walau skalanya masih kecil, usaha itulah yang menjadi sumber pendapatan Dani untuk bertahan hidup sambil mencari pekerjaan di sektor formal.
Ia membiayai hidupnya sendiri setelah lulus kuliah. Jika benar-benar tak ada uang, barulah ia minta ke orangtuanya yang tinggal di Medan, Sumatera Utara. Menurut dia, hidup dengan biaya sendiri tanpa pekerjaan tetap itu berat. Namun, pulang ke rumah orangtua pun bukan solusi.
Saya bisa kirim dua sampai tiga lamaran sehari, tapi baru dipanggil sekali. Memang susah.
”Enggak ada kepikiran untuk balik (ke Medan). Kami ada ideologi bahwa kalau sudah merantau, ya sudah, enggak usah balik sebelum sukses. Kita harus cari jalan sendiri. Orangtua juga ngomong, ’Kau sudah sarjana, harus bisa cari hidup sendiri. Kau sudah disekolahkan sampai S-1, gunakan itu,’” ucap Dani dari Yogyakarta, Selasa (21/5/2024).
Dani pun pantang pulang sebelum mendapat pekerjaan yang membuatnya bisa membangun kehidupan mapan. Ia pun melamar pekerjaan ke 10 perusahaan dalam tiga bulan terakhir. Namun, hanya satu lamarannya yang lolos seleksi administrasi. Ia masih harus menjalani psikotes dan tes wawancara.
Menurut dia, mencari pekerjaan di masa sekarang tak mudah. Ia ingin bekerja di bidang sumber daya manusia seperti yang dipelajari di kampus, tetapi lowongan pekerjaan di bidang itu rata-rata ditujukan untuk sarjana psikologi.
Ichlasul Amal (23) mirip dengan Dani. Entah sudah berapa kali dia mengirimkan lamaran untuk mencari pekerjaan. Ia tak menghitung, tetapi pastinya puluhan kali. Lulusan Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tersebut diwisuda pada Desember 2023.
Baca juga: Lika-Liku Gen Z di Bursa Kerja
”Saya bisa kirim dua sampai tiga lamaran sehari, tapi baru dipanggil sekali. Memang susah,” ucapnya, di Jakarta, Selasa (21/5/2023). Icas, demikian sapaannya, termasuk generasi Z yang tengah lintang pukang mengubek-ubek lowongan pekerjaan.
Soal prestasi, ia tak kurang suatu apa. Indeks prestasi kumulatif (IPK) mencapai 3,58 dengan pengalaman berorganisasi yang tak kalah cemerlang. Icas aktif sebagai pengurus senat dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Beasiswa pun sudah berkali-kali diraih, mulai dari BUMN sampai kementerian.
Bekal pengetahuan Icas pun tak kalah mumpuni dengan mengikuti pelatihan pajak di kampusnya selama enam bulan di pengujung kuliahnya. ”Saya lihat macam-macam referensi untuk bikin CV (curriculum vitae). Menyiapkan berkas-berkas lamaran lalu mengirimkannya lewat internet,” ujarnya.
Aplikasi-aplikasi seperti Jobstreet, LinkedIn, sampai Instagram pernah dijajal warga Bima, Nusa Tenggara Barat, itu. Namun, hasilnya masih nihil. Kendala utama yang sulit diretas Icas, kebanyakan perusahaan meminta pelamar sudah punya pengalaman kerja minimal satu tahun, bahkan lebih.
Ironisnya, lelucon-lelucon soal orang dalam yang diprioritaskan untuk mendapatkan pekerjaan tak lepas pula merundungi Icas. Kelakar tersebut sudah sering berseliweran di media sosial soal mereka yang berprestasi bakal dikalahkan keponakan manajer, direktur, atau pemilik perusahaan.
”Saya sudah ngobrol dengan beberapa teman. Kebanyakan diterima karena kerabat dekat yang sudah lama bekerja,” katanya. Ia mengisi waktunya dengan membantu familinya yang menjual bahan makanan pokok di Palmerah, Jakarta. Icas mengangkut barang-barang dan menyimpannya di pikap.
Menyusut
Jumlah lapangan pekerjaan formal memang tengah menyusut. Menurut olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, penciptaan lapangan kerja di sektor formal menurun selama 15 tahun terakhir. Ini diperoleh dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik pada Februari tahun 2009, 2014, 2019, dan 2024.
Di periode 2009-2014, lapangan kerja di sektor formal menyerap 15,6 juta orang. Angka ini menurun menjadi 8,5 juta orang di periode 2014-2019, lalu merosot menjadi 2 juta orang pada periode 2019-2024. Ini menunjukkan bahwa peluang masuk kerja formal di Indonesia semakin sulit ditembus, termasuk para lulusan baru (Kompas, 20/5/2024).
Dani pernah menjajal pekerjaan lain sebelum lulus kuliah, yakni sebagai barista pada 2022. Namun, pekerjaan itu dianggap sebelah mata oleh keluarganya. Usaha tato temporernya yang dikerjakan sejak 2023 juga dianggap bukan pekerjaan yang sesungguhnya. Ada anggapan bahwa bekerja di perusahaan itu ”bekerja yang sesungguhnya”.
Sayangnya, Dani masih belum beruntung untuk menembus pasar kerja formal. Tekanan sosial, ditambah berbagai penolakan kerja, membuatnya sempat pesimistis dan tidak percaya diri. Walau ini membuatnya stres, ia tak ingin larut dalam tekanan. Selain bermeditasi agar tetap tenang, ia juga meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris dan Jepang dengan menonton berbagai video edukasi di media sosial.
Sebelumnya, aku enggak ngerti supply chain (rantai pasok) dan hanya tahu teori, tapi di warung jadi mengerti. Aku juga jadi tahu soal membangun relasi, marketing, dan lain-lain.
Tekanan sosial yang mirip dialami juga oleh Dion (23), sarjana akuntansi sekaligus saudara kembar Dani. Dion yang wisuda pada September 2023 juga belum memiliki pekerjaan formal. Lamaran kerja ke berbagai perusahaan ditolak.
Ia yang kini tinggal dengan biaya sendiri di Yogyakarta memutar otak untuk bertahan hidup. Uang di kantong pun diubah jadi modal untuk berjualan makanan di warung. Ia menargetkan agar warungnya bisa bekerja secara autopilot empat bulan lagi. Setelahnya, ia akan fokus mencari pekerjaan di sektor formal lagi.
”Apa yang dipelajari di kampus malah lebih make sense di warung. Sebelumnya aku enggak ngerti supply chain (rantai pasok) dan hanya tahu teori, tapi di warung jadi mengerti. Aku juga jadi tahu soal membangun relasi, marketing, dan lain-lain. Semoga ini bisa memengaruhi CV-ku pas mau kerja lagi,” ucap Dion.
Walau warungnya jadi ladang ilmu dan pendapatan, Dion tetap tak lolos dari tekanan sosial. Keluarga intinya meminta ia agar mencari pekerjaan yang ”benar”. Sementara itu, cibiran tak langsung dari keluarga besar membuatnya kesal.
Baca juga: Kerja Tambahan Jadi Sekoci Pekerja
”Ada keluarga besar yang meninggikan anak-anaknya, lalu membanding-bandingkan. Di kampung kan begitu ya. Tapi, mereka tidak terlalu penting. Yang penting orangtuaku. Jadi, ya sudah,” ucap Dion.
Diana Ratih (23) tak kalah gusar lantaran begitu sukarnya mendapatkan pekerjaan. Sudah sekitar 30 kali ia mengirimkan lamaran, tetapi belum membuahkan hasil. Alumnus Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMM itu menamatkan kuliahnya pada Desember 2023.
Tingginya IPK atau 3,52 tak menjamin Diana mulus memasuki kantor yang diincarnya. Kebanyakan perusahaan sudah menaikkan syarat melamar minimal lulusan S-1 dibandingkan bertahun-tahun sebelumnya yang setara D-3, bahkan SMA atau SMK. Adapun lulusan S-1 saat ini saja sudah membeludak.
Persaingan pun sangat ketat. Generasi muda, termasuk angkatan kerja, tentu semakin banyak sehingga perlu upaya lebih keras untuk menjadi pegawai. ”Gurauan soal pelamar yang berkualitas tapi dikalahkan orang dalam sepertinya benar juga. Bikin kesal saja,” katanya sambil tersenyum.
Magang
Sulitnya mencari pekerjaan membuat para mahasiswa semester akhir harap-harap cemas. Sebagian orang akhirnya mencoba memperbesar peluang kerja dengan program magang. Mahasiswa Universitas Indonesia, Divandra Chairunissa, misalnya, berharap pengalaman magang dapat membuatnya menjadi kandidat prioritas saat melamar kerja.
Kalau sekadar marah, ya. Saya sempat riset dan tahu kalau siklus investasi memang sedang turun.
Ia pernah magang di bidang perekrutan. Dari pengalaman ini, ia menyadari bahwa pemagang punya kemungkinan lebih besar untuk diterima bekerja dibandingkan dengan orang yang tidak magang. Ini karena magang menjadi arena mahasiswa mempraktikkan ilmu kampus di lapangan. Magang juga memberi Divandra pengetahuan dasar soal pekerjaan tertentu. Ia juga jadi bisa menentukan apakah pekerjaan itu sesuai dengan minatnya atau tidak.
”Peluang kerja untuk para fresh graduate saat ini sulit. Walau sudah banyak program pelatihan manajemen, kadang ada kualifikasi yang cukup sulit. Misalnya, kita harus dari lulusan top 10 university,” katanya. ”Saat ini kualifikasinya juga memprioritaskan orang yang sudah punya pengalaman bekerja tahunan. Perusahaan juga membatasi umur maksimal kandidat,” ucapnya yang juga kesulitan mencari lowongan magang lain.
Sementara itu, Icas mengaku sempat frustrasi menghadapi sulitnya menembus dunia kerja. Terlintas pula geram dalam benak Icas meski tak sampai emosional. ”Kalau sekadar marah, ya. Saya sempat riset dan tahu kalau siklus investasi memang sedang turun,” tuturnya.
Icas memandang tak sepenuhnya tepat jika menyalahkan pemerintah, tetapi mereka sepatutnya tetap punya tanggung jawab sebagai pengambil kebijakan. ”Sulitnya mencari pekerjaan memang disebabkan faktor eksternal, tetapi pemerintah harus siap menghadapinya,” ucapnya.