Warpopski, warung nasi milik Popo, menghadirkan masakan ”fusion” Indonesia dengan rasa rempah yang khas.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Tampilan beberapa menu yang tersedia di Warpopski, warung nasi milik seniman Popo, di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (16/5/2024). Warpopski merupakan warung yang menyajikan masakan Indonesia fusion, dengan menu andalan nasi siram. Warpopski berdiri sejak 2017. Tampak secara berurutan; nasi lodeh puree ayam (atas kiri), nasi cabe Ijo cumi (atas kanan), nasi siram rempah lidah sapi (bawah kiri), dan nasi oyeng ayam (bawah kanan).
Di antara teduh pepohonan, Warpopski menyempil di area Tebet, Jakarta Selatan. Warung nasi sederhana bernuansa urban milik Popo, si seniman dan muralis, sudah tujuh tahun awet berdiri. Tugasnya mengganjal dan menghangatkan perut kelas pekerja muda yang kelaparan.
Meski awal-awal lebih beken sebagai seniman, menggambar dan memasak adalah dua hal penting dalam hidup Popo. Memasak ternyata lekat dalam darahnya sejak kecil. Ia sudah membantu usaha katering milik ibu sejak bangku SMP dan belajar masak sendiri. Pengalamannya bertambah ketika bekerja di sebuah perusahaan besar bagian dapur.
“Gue masih ingat banget, gambar pertama gue itu burger. Gue sebagai anak kecil ngeliat burger suatu hal yang eksklusif itu akhir tahun 1980-an. Gue selalu gambar itu kalau enggak ayam bakar yang cokelat satisfying itu,” kata Popo di warungnya, Kamis (16/5/2024).
Banyak faktor yang membuat Warpopski akhirnya lahir akhir 2017. Salah satunya ialah Popo jenuh bergelut di dunia seni saja. Soal menggambar, dia sudah melakukannya secara effortless yang selalu mengundang decak kagum orang. Ada sensasi beda yang dia peroleh saat memasak.
Warpopski menyewa tempat di Rumah Atiga. Berada di kiri pojokan, desain warung dengan dapur terbuka ini terlihat simpel. Sebagian warung terletak di bawah studio milik White Shoes & the Couples Company, sedangkan bagian lainnya di ruang terbuka. Sejumlah bangku dan meja kayu berdiri di atas lantai semen ekspose.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana dapur Warpopski, tempat makan milik seniman Popo, di area Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (16/5/2024). Warpopski merupakan warung yang menyajikan masakan Indonesia fusion dengan menu andalan nasi siram. Warpopski berdiri sejak 2017.
Di area makan, tergantung spanduk kain lukisan ala penjual makanan kaki lima bergambar Mandra dari Si Doel Anak Sekolahan yang sedang makan. Tulisan ”Makan Tuh Review!! wkwk-Bang Hakiem” terpampang samping gambar.
”Sebetulnya gue juga bingung konsepnya apa. Ini warung sesimpel lo makan, bayar, selesai dan kalau ada apa-apa kasih tahu. Warung ini sifatnya homey, tapi enggak ada konsep atau gimik. Syukur-syukur ada yang makan bisa ketemu jodoh atau bisa ngobrol,” tutur Popo.
Pelayanan Warpopski menerapkan konsep fast casual dengan model layanan konter. Pelanggan memesan menu di kasir lalu membawa makanan ke meja masing-masing. Setelah makan, mereka mengembalikan peralatan makan ke kasir. Kalau kebetulan ada tamu lansia atau yang kerepotan, baru staf dapur bantu melayani.
Popo memang tidak pernah percaya ungkapan ”pelanggan adalah raja” Mereka kadang mengingatkan pelanggan agar tidak membuang-buang makanan. ”Gue enggak jutek orangnya, tetap teman baik lo, kok, dan kami punya banyak pelanggan loyal,” ujar pencinta tempe orek basah ini sambil tersenyum.
Riuh rempah
Dengan slogan ”Nasi adalah Pondasi”, menu Warpopski adalah masakan fusion Indonesia. Warung ini punya menu nasi siram sebagai identitas warung, tetapi juga menu-menu lain yang bisa diganti jika koki sudah bosan memasak. Unik dan kocak memang.
Popo dan Irfan Makmur, si kepala dapur, yang bertugas menyusun menu. ”Makanan kami itu kayak mengingatkan masa lalu,” kata Makmur.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana dapur Warpopski, tempat makan milik seniman Popo, di area Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (16/5/2024). Warpopski merupakan warung yang menyajikan masakan Indonesia fusion dengan menu andalan nasi siram. Warpopski berdiri sejak 2017.
Untuk sekarang, Warpopski punya empat makanan utama, yakni nasi oyeng (goreng), lodeh puree, siram rempah, dan cabe ijo. Pelanggan bisa memesan empat jenis makanan ini beserta pilihan topping, antara lain, cumi, lidah sapi, ayam, se’i sapi, dadar spesial, atau lele katsu.
Rahasia rasa makanan Warpopski terletak pada bumbu ngohiong atau lima rempah asal China. Warung ini mencampur bubuk pala, kapulaga, adas, kayu manis, dan cengkeh. Takaran bumbu ngohiong bervariasi, tetapi Warpopski lebih menonjolkan bubuk pala yang hangat. Alasannya, mungkin karena bumbu ini dulu bisa membuat orang berperang.
Nasi siram rempah lidah sapi, misalnya, menguarkan harum rempah saat tersaji hangat. Nasi putih disiram oleh kuah lidah sapi yang berwarna gelap pekat sampai menggunung. Tambahan telur mata sapi dan taburan bawang goreng membuat liur menetes.
Ketika dimakan, nasi dan daging berpotongan dadu kecil itu berpadu di lidah dengan harmonis. Rasanya gurih, sedikit manis, dan hangat. Aroma rempah memenuhi seluruh rongga mulut. Makanan mendarat di perut dengan mulus.
”Nasi siram itu gue yang nyiptain sendiri. Kalau menu signature enggak bakal ditarik. Kalau menu heritage kayak kare bisa diganti,” ujar Popo.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Pemilik dan tukang masak Warpopski, seniman Popo, berpose di dapur di area Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (16/5/2024). Warpopski merupakan warung yang menyajikan masakan Indonesia fusion dengan menu andalan nasi siram. Warpopski berdiri sejak 2017.
Saat ini, salah satu menu heritage yang ada di Warpopski adalah lodeh puree dengan tekstur selembut bubur bayi. Bagian atas puree ini lalu ditambahkan minyak daun kemangi yang diproses secara saute sehingga menambah kompleksitas cita rasa.
Ketika lodeh puree bercampur dengan nasi, bawang goreng, telur mata sapi, dan topping daging ayam, amboi lezatnya! Rasa creamy ringannya membuat ketagihan. Dari segi rasa, rempah dalam menu ini memang tidak sekuat menu-menu lainnya.
Makanan itu kompleks dan dinamis jadi enggak usah ribut. Kalau misalnya ada orang yang kritik enggak enak, bukan berarti kami langsung nurut.
Menu lain Warpopski tak kalah menggugah selera. Nasi cabe ijo cumi, contohnya, terasa sedap dengan paduan cabai hijau dengan kematangan pas dan bebas dari bau langu. Rasa rempah melekat di setiap butir nasi oyeng ayamnya. Lucunya, Popo pantang mengklaim makanannya enak.
Seperti orangtua
Kalau harus memilih menggambar atau memasak, Popo pasti menolak. Ibarat dia harus memilih ayah atau ibu. Kedua aktivitas ini sebetulnya mirip karena sama-sama menghasilkan karya seni, tetapi bedanya yang satu bisa dimakan secara harfiah. Namun, setidaknya ada beberapa perbedaan yang Popo rasakan.
”Menggambar itu lebih ke visual, sedangkan memasak itu lebih kompleks karena ada visual, rasa, dan aroma. Memasak itu juga kegiatan repetisi dan tidak abadi, tetapi lebih dinamis karena menyertakan sisi emosional pembuatnya,” ujar Popo.
Diri Popo sama saja saat menggambar atau memasak. Ia masih suka menyampaikan narasi lewat Warpopski. Popo memosisikan diri sebagai pekerja, bukan pemilik. Promosi warung di media sosial berisi banyolan dan meme lucu dengan mengatasnamakan Mas Hakiem, mantan pekerja Warpopski yang sudah bekerja di tempat lain.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Salah seorang pengunjung Warpopski, Ril, mencicipi menu lodeh puree dengan topping ayam yang tersedia di Warpopski, warung nasi milik seniman Popo, di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (16/5/2024). Warpopski merupakan warung yang menyajikan masakan Indonesia fusion, dengan menu andalan nasi siram. Warpopski berdiri sejak 2017.
Jika ada pelanggan kecewa soal makanan, Popo lebih suka kalau mereka menyampaikannya secara langsung daripada di dunia maya. ”Makanan itu kompleks dan dinamis jadi enggak usah ribut. Kalau misalnya ada orang yang kritik enggak enak, bukan berarti kami langsung nurut,” katanya.
Ketika ada laku yang mengganjal, ia bersikap. Pencinta alpukat ini ogah menjual makanan di sebuah platform daring setelah tahu pembagian keuntungan ke mitra pengemudi tidak adil. Kejadian itu sempat heboh.
Bagi Popo, Warpopski adalah taman bermain kesayangan yang selalu menuntutnya untuk kreatif dan inovatif. ”Gue hobinya memelihara ’kemiskinan’, biar sadar memproduksi,” tutur Popo.
Semoga "miskin" terus ya, Mas Popo.
Catatan:Artikel merupakan hasil kolaborasi dengan peserta magang harian Kompas: Rilanda Virasma Meiprita, Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Diponegoro