Merapi di Antara Seruputan Kopi
Jika Anda beruntung, Anda bisa memandang kemolekan Gunung Merapi sambil menikmati sepiring jadah gurih dan secangkir kopi di Bale Merapi.
Adakah yang lebih asyik daripada menikmati sepiring camilan kampung dan secangkir kopi sambil memandang keelokan Gunung Merapi? Inilah yang dijual oleh warung Bale Merapi.
Pagi terasa syahdu di sekitar Bale Merapi akhir November 2023. Kabut dan awan kelabu menggantung tipis. Cukup untuk menyembunyikan Gunung Merapi nun jauh di utara, sekitar 19 kilometer dari Bale Merapi. Musim hujan yang mulai mengetuk kawasan Sleman, pada bulan itu, rupanya membuat Merapi nyaman dalam dekapan awan dan kabut.
Kami tidak menyerah. Pagi itu kami sengaja memilih tempat duduk di Bale Merapi yang langsung menghadap salah satu gunung paling aktif di Indonesia itu. Mata kami menatap ke arahnya sambil berharap alam sedikit berbaik hati untuk memperlihatkan sosok Merapi.
Sembari menanti Merapi menampakkan dirinya, kami mengudap sepiring pisang goreng dan jadah goreng serta secangkir ”kopi vulkano” dan ”wedhang lahar”. Menu-menu itu disajikan dengan lugu, tanpa hiasan apa-apa. Namun, di balik keluguannya, tersimpan jejak kelezatan.
Jadah atau semacam uli ketan itu berkulit garing, tetapi lembut dan lengket di bagian dalamnya. Paduan ketan yang ditumbuk halus bersama kelapa menghasilkan rasa gurih dan manis samar yang pas. Cocok untuk teman minum ”kopi vulkano” yang meninggalkan jejak pahit di pangkal tenggorokan.
Kopi yang kami minum adalah campuran kopi arabika gayo dan robusta temanggung tanpa gula. Kami meminta kopi itu disajikan dengan cara ditubruk, sebuah cara penyajian kopi yang banyak dipakai di desa-desa di Nusantara.
Setelah itu, kami mencicipi pisang goreng hangat yang kulit tepungnya masih keriuk-keriuk ketika dikunyah. Pisang yang dipakai adalah pisang jenis kepok kuning yang lembut dan manis. Paduannya ”wedhang lahar” yang dibuat dari campuran rempah seperti jahe, kayu manis, cengkeh, sereh, ditambah gula aren. Aromanya harum.
Mengudap di Bale Merapi yang berupa rumah joglo kayu tanpa dinding, kami seperti dibawa ke masa lalu, ke sebuah desa di mana orang-orangnya menikmati kehidupan yang tidak diburu-buru oleh waktu. Apa yang terjadi di sekitar kita tidak berlalu begitu saja. Mata bisa menikmati gerakan capung atau kupu-kupu yang terbang, hinggap di pucuk rerumputan, dan terbang lagi.
Telinga menangkap kehadiran angin yang membelai-belai tangkai-tangkai tebu dan jagung. Hidung mencium aroma tanah yang bercampur aroma aneka masakan yang sedang diolah di dapur. Kesadaran kita hadir di sana.
Mungkin itulah sebabnya, banyak pengunjung Bale Merapi yang memilih duduk berlama-lama, bercengkerama dengan keluarga, teman, atau mungkin kekasih sambil menikmati kehadiran mereka di kawasan yang indah ini.
Teguh Supriyadi, pemilik Bale Merapi, menceritakan, ada beberapa pelanggan yang datang ke warung itu sekadar untuk melihat Merapi. ”Mereka datang, duduk di pojok menghadap ke utara menunggu Merapi muncul. Itu bisa berjam-jam,” katanya.
Ada juga pelanggan yang datang saat maghrib. Mereka biasa duduk berdua di Bale Merapi. ”Sampai warung tutup, mereka tetap ada di sana dan baru pulang sekitar pukul 11.00. Lampu warung mereka yang matikan,” kata Teguh.
Di luar itu, Bale Merapi menjadi tempat nongkrong beberapa wartawan, penulis, seniman, dan pembuat film. Mungkin mereka mengira akan mendapat inspirasi di sana dan mewujudkannya dalam karya-karya yang hebat. Siapa tahu. Untuk mereka, Teguh menyediakan sebuah meja besar di bagian barat warung.
Akan tetapi, pengunjung terbanyak adalah keluarga dan belakangan kelompok ibu-ibu arisan atau pengajian.
Menu-menu yang disediakan adalah makanan dan camilan kampung, seperti bubur gudeg, tempe garit, lodeh, aneka bacem, aneka pepes, gulai jengkol, terik daging, mangut lele, wader, bakmi godog, aneka sambal, jadah, jajanan pasar, dan aneka wedang.
Kami telah mencicipi sebagian menu yang disajikan di Bale Merapi. Cita rasanya seperti masakan Jawa pada umumnya yang memadukan rasa manis, gurih, dan pedas.
Di antara sekian masakan, lidah kami tertambat pada tempe garit, terik daging, mangut lele, oseng-oseng daun pepaya, dan sambal bawang yang memanjakan lidah.
Jualan Merapi
Bale Merapi berlokasi di tepi Jalan Raya Ngebo, Dusun Wonorejo, Wedomartani, Sleman, DI Yogyakarta. Jaraknya dari Merapi sekitar 19 kilometer. Dari pusat Kota Yogyakarta ke Bale Merapi jaraknya belasan kilometer saja. Kita bisa melalui Jalan Kaliurang ke arah utara, lalu berbelok ke kanan di sebelah Pasar Gentan menuju Jalan Taraman.
Di luar itu ada rute lain yang bisa dipilih, antara lain melalui Ring Road Utara menuju Jalan Candi Gebang-Jalan Raya Bakungan. Dari arah Candi Prambanan, bisa melalui Jalan Raya Prambanan-Jalan Selomartani-dan Jalan Wonorejo.
Tidak ada plang nama pada warung Bale Merapi. Teguh mengatakan, ia sengaja tidak memasang plang karena ia ingin pengunjung mengingat rasa makanan dan suasana yang ada daripada nama warungnya. ”Ada istilah Jawa, lali jenenge eling rasane. Lupa namanya, tapi ingat rasanya.”
Seperti banyak warung atau restoran yang tumbuh di kawasan Merapi, Bale Merapi tidak hanya menawarkan cita rasa makanan, tetapi juga pesona Merapi. Lokasi Bale Merapi memang memungkinkan untuk itu. Warung diapit oleh perkebunan tebu di sebelah selatan dan kebun jagung di bagian utara.
Warung menghadap ke Merapi di kejauhan tanpa terhalang oleh bangunan rumah atau obyek lainnya. Latar belakangnya adalah kebun jagung, pepohonan hijau, dan Jalan Ngebo yang pada akhir pekan biasa dilalui para pesepeda dan orang-orang yang berolahraga lari pagi. Sebagian dari mereka biasa mampir ke Bale Merapi untuk mengaso dan sarapan.
Pada saat Merapi erupsi, sisi jalan di depan Bale Merapi kerap dimanfaatkan juru kamera, fotografer, atau pelancong untuk mengambil gambar Merapi dari jarak yang aman. Jika Merapi erupsi pada saat cuaca cerah di malam hari, mereka bisa mendapatkan gambar yang indah: lava pijar berwarna merah, meleleh dari puncak Merapi menuju kakinya.
Kadang pemandangan seperti itu menggetarkan pelancong yang dari luar kota yang baru pertama kali menyaksikan lava pijar meleleh dari Merapi. ”Suatu hari ada beberapa pelancong dari Betawi ngeliat lava meleleh dari Merapi. Mereka panik, lari menjauh sambil teriak keras, ’Merapinya meleduk!’,” cerita Teguh.
Melihat potensi alam seperti itu, Teguh mendirikan Bale Merapi pada September 2021 di atas tanah kas desa yang ia sewa. Pekerjanya, termasuk tukang masak, adalah warga dari desa-desa di sekitar Bale Merapi.
Sejak awal, ia menginginkan Bale Merapi yang berupa bangunan joglo berkapasitas 100-an orang sebagai tempat nongkrong sambil menikmati Merapi. ”Makanya, tagline yang dipakai adalah makan, ngobrol, dan ngopi,” ujarnya.
Baca juga: Tinutuan dan rahang tuna, cita rasa Manado yang enak dan enak sekali
Di sini, tidak ada Wi-Fi. Itu disengaja agar pengunjung tidak sibuk dengan gawai masing-masing, tetapi bercengkerama dan mengobrol satu sama lain. ”Jika ada yang datang sendirian, saya atau pekerja akan menyapa dan mengajak mengobrol. Saya akan berusaha jadi teman mengobrol mereka yang sendirian sambil minum kopi dan memandang Merapi,” ucapnya.
Konsep nongkrong sambil menikmati kelezatan makanan kampung dan pesona Merapi yang dibayangkan Teguh cukup mengena. Pengunjung berdatangan, bisa sampai 200-an orang pada akhir pekan.
Ah, tidak terasa sudah lebih dari satu jam kami nongkrong di Bale Merapi pagi itu sambil mengudap jadah dan menyeruput kopi. Dan, alam akhirnya berbaik hati juga. Awan bergeser seperti tirai panggung yang segera menunjukkan sang primadona dari utara: sosok Merapi berwarna antara biru dan abu-abu.
Hanya beberapa menit saja, tetapi cukup untuk membuat kami berpikir bahwa penantian pagi ini sama sekali tidak sia-sia. Toh, kami sudah pernah melihat pemandangan spektakuler sebelumnya dari titik yang sama: Merapi dengan lava pijarnya yang meleleh di lekukan-lekukan punggung Merapi menuju kakinya.
Baca juga: Nasi jamblang dan empal gentong kuliner pengingat Cirebon