Berkaca pada Bacaan Lokal
Gairah penerbitan buku di daerah jadi peluang penulis angkat kearifan lokal, kritik sosial, hingga masalah lingkungan.
Gairah penerbitan buku di beberapa daerah dijadikan peluang bagi penulis untuk mengangkat kearifan lokal, kritik sosial, hingga masalah lingkungan di daerahnya. Literasi tempatan atau lokal pun tumbuh dan bersemi. Pembaca turut mekar.
Jika India punya sastra legendaris Kama Sutra, maka masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan punya buku Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis. Seperti judulnya, buku ini berisi segala informasi aktivitas reproduksi serta petuah para tetua, seperti laki-laki tak boleh memaksakan kehendak ke perempuan meski status keduanya suami-istri.
Hal-hal tadi sebetulnya sudah menjadi pengetahuan masyarakat Bugis yang diwariskan turun-temurun secara lisan. Namun, tak banyak yang tahu secara mendalam soal ini. Sebab, ini bukan topik yang bisa dibicarakan di sembarang tempat dan kesempatan.
”Ini adalah perbincangan dalam bilik. Dalam tatanan (masyarakat) Bugis, proses transfer (ilmu) ini dari pribadi ke pribadi. Misalnya, laki-laki jelang menikah datang belajar ke om, kakek, atau guru,” ucap penulis buku Assikalaibineng, Muhlis Hadrawi, di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (18/10/2023).
Di sisi lain, pengetahuan ini punya keterbatasan. Karena disampaikan secara lisan, pengetahuan tersimpan di otak sebagai memori, sementara memori manusia rawan terdistorsi. Saat diwariskan dari generasi ke generasi, informasi bisa saja turut terdistorsi. Kalaupun tidak, informasi yang diwariskan bisa saja tak utuh.
Orang zaman dulu lantas menulis untuk membekukan ingatan. Pengetahuan persetubuhan masyarakat Bugis tersimpan di sejumlah naskah kuno. Adapun buku Assikalaibineng muncul dari penelitian terhadap delapan naskah kuno. Naskah tertua berasal dari abad ke-17.
Baca juga: Literasi Kini Tidak Sekadar untuk Pembelajaran
Muhlis meneliti naskah-naskah itu sejak 1999. Hasil penelitiannya lantas ditulis menjadi buku. Pada 2008, buku itu diterbitkan oleh Penerbit Ininnawa di Makassar. Buku tersebut meledak di masyarakat. Pembacanya beragam, mulai dari budayawan, akademisi, ASN, mahasiswa, hingga warga lansia.
Saking larisnya, buku ini telah dicetak lima kali. Menurut rencana, buku ini bakal diterbitkan lagi pada 2024 dengan enam halaman tambahan. Tambahan ini adalah hasil kajian terbarunya saat membaca naskah peninggalan Kerajaan Bantaeng.
”Selama ini ruang transfer ilmu terbatas dan kesempatan membicarakannya pun terbatas. Saat dibuat menjadi buku, semua jadi bisa mengakses (pengetahuan) ini,” ujar Muhlis yang juga Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin.
Kearifan lokal
Kearifan lokal, berikut gejala sosial dan budaya masyarakatnya, menjadi ”ladang ide” bagi para penulis, utamanya mereka yang mengalami sendiri kebudayaan itu. Cerpenis dan novelis asal Wajo, Sulawesi Selatan, Faisal Oddang, mengatakan, ia tumbuh dengan budaya dan bahasa Bugis.
Hal itu sedikit banyak memengaruhi ia ketika menulis. Tulisannya pun lekat dengan kebudayaan di Sulsel. Hal ini tampak dari ide dan tema cerita, misalnya seperti yang ada di buku kumpulan cerpen Sawerigading Datang dari Laut.
Budaya dan sejarah masyarakat Sulsel tampak pula di novel Faisal yang berjudul Tiba Sebelum Berangkat. Novel ini memotret kondisi pascakemerdekaan di Sulsel serta kisah soal jender kelima di sana atau bissu. Untuk menulis ini, Faisal meriset berbagai arsip serta mendatangi komunitas bissu dan mewawancarai mereka.
Ia juga berencana menulis buku baru yang berkisah soal Kota Makassar. Setelah 11 tahun tinggal di Makassar, ia menyadari betapa uniknya kota ini. Berbagai etnis berjumpa di ibu kota provinsi tersebut. Tingginya perputaran uang di Makassar pun turut memengaruhi pertumbuhan dan citra kota itu dari waktu ke waktu.
”Tendensinya, penulis akan mengambil sesuatu yang tidak jauh dari dirinya. Karena ada beragam latar dan kebudayaan, sudah pasti ada keragaman gagasan, peristiwa, dan ide dalam sastra Indonesia,” kata Faisal, Rabu (18/10/2023).
”Menurutku, itu penting karena kita jadi semakin kaya bacaannya, pengetahuannya. Buku-buku yang kita baca jadi pintu masuk kebudayaan,” ucap Faisal.
Penulis asal Jeneponto, Sulsel, Aji Sukman, sepakat bahwa penulis akan menceritakan hal yang dekat dengan dirinya. Cerita-cerita yang ia tulis pun lekat dengan sisipan gambaran Jeneponto, suatu kabupaten yang panas dan banyak petani garamnya. Ia berharap pembaca jadi tahu Jeneponto dan barangkali hendak berkunjung untuk mencicipi coto kuda.
Kemerdekaan menulis juga dimanfaatkan mahasiswa Universitas Hasanuddin, Engki Fatiawan, untuk membahas masalah lingkungan di sekitarnya. Salah satu tulisannya membahas kekeringan yang disebabkan alih fungsi lahan, tak berfungsinya daerah resapan air, serta tata kota yang tak ideal.
Selain menyebabkan kekeringan, alih fungsi lahan dan tidak berfungsinya resapan air juga menyebabkan banjir. Tulisan-tulisannya diterbitkan di beberapa koran lokal dan portal digital. Kini, tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan bakal dijadikan buku oleh penerbit lokal.
Baca juga: Pembocoran Lokalitas Sastra, Strategi Literer dan Nasionalisme Kita
Menurut Direktur Penerbit Ininnawa Anwar Jimpe Rachman, ada banyak sekali tema untuk dibahas oleh penulis di daerah masing-masing. Narasi yang beragam akhirnya tak sekadar memperkaya referensi. Hal ini turut membuat orang-orang berdaya akan informasi. Baginya, ini adalah ciri-ciri masyarakat mandiri.
”Dia sudah berswadaya meski masih dalam bentuk informasi. Tapi, itu sudah cukup. Dia tidak bergantung lagi sama orang,” kata Jimpe.
Literasi lewat puisi
Selain dengan menulis buku, literasi tempatan juga bersemi melalui puisi, seperti yang terjadi di tengah Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, tepatnya di kawasan kuliner Minggu Raya.
Pegiat sastra di sana mengajak para pengunjung untuk membaca puisi dengan tajuk kegiatan ”Aku Telah Baca Puisi di Minggu Raya”.
Kegiatan ini dimotori oleh pegiat sastra dan penulis HE Benyamine (56) sejak 2012. Penyelenggara kegiatan tak membatasi puisi yang ingin dibaca. Bebas saja. Mau membacakan puisi berbahasa Indonesia boleh, mau berpuisi dan bertutur dengan bahasa setempat pun boleh!
”Di sinilah ketika ada kesempatan untuk mengucapkan bahasa lokal, maka kita tidak akan pernah kehilangan bahasa-bahasa daerah,” ujar Benyamine, Kamis (19/10/2023).
Suatu kali saat hari sudah tengah malam, Benyamine menjumpai seorang anggota DPR asal Kalimantan Selatan dan rombongan kecilnya yang mampir di Minggu Raya. Kepadanya, ia mengenalkan kegiatan Aku Telah Baca Puisi di Minggu Raya.
Anggota DPR itu pada akhirnya mau membaca puisi. Bahkan, ada salah satu anaknya yang ikut serta. Anaknya yang menjabat Bupati Tanah Laut di Kalsel itu pun kemudian mengadopsi kegiatan serupa di wilayahnya. Literasi lokal lewat puisi pun semakin berkembang.
Baca juga: Mengenalkan Buku Konten Lokal lewat Pameran Internasional
Selain puisi, Benyamine yang pernah merantau ke Jakarta ini juga produktif menulis esai, baik untuk dikirimkan ke media cetak di Jakarta maupun Kalsel. Suatu kali, esai Benyamine pernah dimuat tiga hari berturut-turut di media cetak berbeda yang terbit di Banjarbaru.
Dari situlah publik Banjarbaru mulai mengenal Benyamine, terutama ketika tulisannya banyak menyorot persoalan lingkungan hidup di wilayah Kalsel. Isu yang berkembang pada waktu itu agar orang Kalsel sendirilah yang berbicara tentang persoalan lingkungan hidup di wilayahnya.
Penulis asal Kalsel ini mewujudkan pikirannya tadi dengan menulis berbagai buku. Selain antologi puisi, ia juga menulis buku tentang seni pertunjukan di Kalsel. Ia pernah pula menerbitkan buku berjudul Pengetahuan Lokal di Banjarbaru pada 2018 dan Imagine Banjarbaru. Buku kritik sosial juga pernah diterbitkan dengan judul Banjarbaru ”1.000 Sungai”.
”Kata ’1.000 Sungai’ biasanya untuk Kota Banjarmasin karena di sana memang banyak sekali sungai. Saya memberi tanda petik untuk kata Banjarbaru ’1.000 Sungai’ karena di musim hujan banyak jalan di Banjarbaru yang tergenang air menjadi seperti sungai,” ucap Benyamine.
Tema-tema lokal yang diangkat penulis di sejumlah daerah mungkin tidak banyak dilirik penerbit-penerbit besar yang menumpuk di Jawa. Namun, tema-tema itu amat menarik bagi penerbit lokal yang tahu kebutuhan bacaan masyarakat tempatan.
Bagaimanapun pembaca di daerah ingin berkaca pada isu-isu yang dekat dengan diri mereka sendiri.