Nostalgia dalam Setiap Suapan Makanan Legendaris
Nostalgia pada setiap suap makanan dari masa lalu membawa banyak orang blusukan ke warung-warung makan legendaris.
Tak hanya lirik lagu, selembar foto, atau rintik hujan yang bisa membawa seseorang mengenang masa lalu. Rasa makanan juga terekam oleh otak. Nostalgia pada setiap suap makanan membawa banyak orang blusukan ke warung-warung makan legendaris. Inilah rasanya nostalgia yang membawa perasaan bahagia!
Kamis (3/8/2023) malam, Hardyatno (75), mengajak istrinya Hartiningsih (70) untuk makan malam di luar rumah. Mengendarai kendaraan roda empat, pasangan ini keluar dari rumah yang berada di Jalan Janturan, Yogyakarta.
Sambil menikmati suasana kota yang temaram, mereka mencari-cari tempat makan. “Dari tadi muter-muter. Mau makan ini, ndak jadi. Makan ini, ndak jadi. Oh, sate karang!” ujar Hardyatno, teringat akan makanan favoritnya saat masih muda.
Ketika menyebut sate karang, ia membayangkan makanan berupa sate sapi dengan bumbu kacang dan pelengkap lontong berkuah tempe. Pensiunan dosen arsitektur di Universitas Sebelas Maret ini pun mengemudikan mobil ke arah Warung Sate Sapi Karang Pak Prapto di Lapangan Karang, Kota Gede. Sesuai nama lokasinya, sate sapi lebih dikenal dengan sebutan sate karang.
Hardyatno dan istrinya duduk lesehan di atas tikar. Kepada penjual sate, ia memesan dua porsi sate dan minuman wedang ronde yang menghangatkan tubuh. Sekitar 15 menit kemudian, pesanannya terhidang. Perlahan Hardyatno melepaskan daging sate dari tusuknya. Ia mencampur daging sate dengan kuah tempe, lalu menyuap makanan ke mulutnya.
Daging sate yang empuk berpadu sempurna dengan rasa kuah tempe yang gurih-manis-segar. “Enak. Rasanya sama, enggak berubah,” ujarnya, seusai makan.
Sambil menyantap makanan, ia menikmati angin yang bertiup semilir. Pikirannya berkelana ke masa lalu saat ia bersama istri dan tiga anaknya kerap menghabiskan waktu di sekitar lapangan ini.
Hartiningsih mengatakan, semasa muda ia dan suaminya sering makan sate karang. Setelah berumah tangga dan sibuk bekerja sebagai dosen, ia dan suaminya jarang datang ke warung sate itu. Barulah, setelah mereka berdua pensiun dari pekerjaan sebagai dosen pasangan ini bisa kembali untuk bernostalgia.
Makna hidup
Nostalgia meningkatkan makna dalam hidup. Demikian pernyataan dosen di Department of Psychology, University of Essex, Wijnand van Tilburg. Memandang hidup secara lebih bermakna memberikan konsekuensi yang menguntungkan, seperti meningkatkan kepuasan bekerja, kebahagiaan, dan kepuasan hidup.
Melalui nostalgia, ada kesinambungan diri. Artinya, masa lalu seseorang terjalin dengan masa kini. Dampaknya cukup baik bukan hanya untuk individu, tetapi juga secara sosial karena ada penerimaan dan rasa memiliki terhadap sesuatu.
“Tidak mengherankan bahwa individu berusaha untuk mempertahankan rasa kebermaknaan dengan nostalgia,” tulis Tilburg di paper berjudul "How nostalgia infuses life with meaning: From social connectedness to self-continuity" (2019).
Demi alasan nostalgia, banyak orang berburu tempat makan legendaris di Yogyakarta dan sekitarnya. Sebagian tempat makan ini sulit diakses kendaraan bermotor karena letaknya di pelosok desa dengan jalur yang tak biasa. Uniknya, kian terpencil kian dicari pembeli.
Warung sate sapi karang, misalnya, cukup melegenda karena cikal-bakalnya sudah ada sejak tahun 1948. Penjual pertama sate karang, Mbah Karyo, dulunya berjualan dengan memikul sate dari kampung ke kampung.
Usaha itu kemudian dilanjutkan oleh Pak Prapto yang berjualan di Lapangan Karang sejak 1970-an. Kini, Tri Wahyono, sang cucu, meneruskan usaha setelah ayahnya meninggal dunia pada 2003. Saking melegendanya, sate karang sekarang disebut sebagai salah satu makanan khas Kota Gede.
Baca juga: Kelezatan surgawi dari dapur "neraka"
Dibandingkan sekitar sepuluh tahun lalu, suasana di Lapangan Karang sudah banyak berubah. Dulu, pemilik warung harus menggelar sepuluh tikar di atas tanah lapangan. Sekarang terdapat bangunan yang menaungi pembeli.
Bangunan itu telah dilengkapi area duduk dengan lantai keramik. Meski bentuknya jauh dari identitas Kota Gede, setidaknya saat hujan air tak lagi tempias membasahi bagian tubuh pelanggan.
Menurut Tri Wahyono, pelanggan sate karang sudah turun temurun. “Ada yang dulu suka ke sini bersama anaknya. Sekarang anaknya sudah dewasa. Mereka lalu datang kembali lagi untuk mengenang masa kecil,” ujarnya.
Sebagai penerus usaha sate karang, tantangan terbesar Tri Wahyono adalah menjaga resep makanan dan mutu daging. Ia tidak menyediakan nasi sebagai pendamping sate karang dengan alasan untuk menjaga kekhasan makanan ini. Keaslian yang coba dipertahankan itu membuat banyak pelanggan datang lagi.
Di Yogyakarta, tempat makan nostalgia tersebar di berbagai tempat. Baik di daerah utara yang teduh dengan suasana pegunungan, maupun daerah pedesaan di bagian selatan. Setiap rumah makan menyajikan beragam jenis menu, dari yang sudah terkenal, yaitu gudeg, soto, dan bakmi, hingga yang tergolong unik seperti mangut lele dan sate sapi. Selain rasanya yang enak, harga yang tergolong pas dengan kantong, suasana rumah makan yang nyaman juga menjadi nilai tersendiri.
Baca juga: Fanatisme penggemar kecap
Di sebelah timur Kota Yogyakarta ke arah Kota Solo, misalnya, terdapat Saoto Bathok Mbah Karto. Ciri khas Saoto Bathok adalah penyajiannya yang menggunakan wadah batok kelapa.
Suasana warung makan ini juga cukup unik karena berupa deretan gubuk di pinggir sawah. Inilah enaknya hidup lambat di Yogyakarta. Penduduk bisa menikmati sarapan sambil melihat pemandangan.
Warung makan lain yang cukup legendaris adalah Mangut Lele Dapur Asli Mbok Marto Ijoyo yang terletak di Jalan Sewon Indah, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Disebut legendaris karena Mbah Marto sudah mulai berjualan sejak tahun 1960-an.
Rabu siang, Kompas menempuh perjalanan perjalanan dari daerah Prawirotaman ke warung mangut lele. Perjalanan melewati Jalan Parangtritis yang cukup ramai dengan kendaraan bermotor. Meski padat, perjalanan ini menghadirkan nostalgia terutama bagi yang pernah tinggal di Yogyakarta.
Setelah melewati ISI Yogyakarta, sepeda motor berbelok ke kanan ke arah pemukiman warga. Untuk yang baru pertama kali, perjalanan ini agak susah karena warung mangut lele terletak di tengah perkampungan.
Kalaupun sudah mengikuti arah sesuai map di telepon genggam, perjalanan juga bisa terkecoh karena terdapat dua rumah makan yang menjual menu mangut lele. Kedua rumah makan letaknya berdekatan.
Setelah melihat Mbah Marto (92) sedang mengupas bawang merah di sebuah rumah dengan cat hijau, barulah yakin bahwa itu merupakan dapur legendaris yang dulu dipakai Mbah Marto untuk memasak. Namanya Mangut Lele Dapur Asli Mbok Marto Ijoyo.
Sekitar 50 meter dari sana terdapat warung lain, yaitu Warung Mangut Lele Mbah Marto, Mak Badar, yang dikelola oleh salah satu menantu Mbah Marto. Untuk menikmati makanan, para pengunjung diajak masuk ke dalam pawon (dapur) dan mengambil makanan mereka sendiri.
Masakan dibuat di atas kompor dengan kayu bakar. Setelah matang, makanan diletakkan di atas nampan kayu. Tepat pukul 10.00 WIB, semua makanan siap disajikan. Belasan pengunjung segera masuk ke pawon (dapur). Serasa di rumah sendiri, mereka mengambil makanan utama yang tersedia berupa nasi nasi, krecek, gudeg, tahu, tempe, lalapan, dan oseng daun pepaya.
Meski ada beragam lauk yang disajikan, menu yang jadi sasaran utama tentu mangut lele, yaitu lele bakar yang disiram kuah santan pedas.
Pengelola rumah makan Mangut Lele Dapur Asli Mbok Marto Ijoyo, Poniman (51), menceritakan bahwa dulu daerah tempat tinggalnya masih sangat sepi dan asri. Di daerah itu terdapat banyak sawah dan sungai.
Demi memenuhi gizi enam anaknya, Mbah Marto menangkap ikan lele. Ikan lele diasapkan dan dimakan bersama. Seiring waktu, Mbah Marto menjual makanan keliling desa.
Pada 1980-an, Mbah Marto memutuskan berjualan di rumah. Ia menyulap teras dan selasar rumah menjadi tempat makan. Pada 2018 warung makan ini sempat viral dan mendatangkan banyak pelanggan baru. Warga datang dengan naik sepeda motor, mobil, bahkan bus. Tidak heran, dalam sehari warung ini bisa menjual sekitar 50 kilogram lele. Kapasitas tamunya bisa mencapai 300 orang.
Setiap makan mangut lele, Poniman terkenang akan masa kecil yang penuh perjuangan. Kini, perjuangan itu telah membuahkan hasil berupa rumah makan yang selalu ramai dan laris. Setiap orang yang datang mempunyai kenangan akan makanan ini. Kenangan itu yang membuat mereka kembali ke warung legenda.
Baca juga: Perjuangan para peracik rasa
Putri Utami Mukti (28) dan suaminya, Awalludin Gufi (35), sudah beberapa kali datang ke warung Mangut Lele Dapur Asli Mbok Marto Ijoyo. Meskipun sempat kuliah di ISI Yogyakarta, yang lokasinya berdekatan dengan warung mangut lele, Putri baru mencoba warung ini setelah lulus kuliah pada 2017. “Saya coba karena banyak yang ngomongin. Akhirnya penasaran,” katanya.
Putri pernah mencoba mangut lele di warung lain yang juga memakai nama Mbah Marto. Tetapi, menurutnya tidak ada yang mengalahkan rasa makanan di dapur asli. “Di sini rasanya pas di lidah, di badan juga jadi terasa mantep,” tuturnya.
Sebagai pendatang asal Jawa Timur yang menetap di Yogyakarta, Putri sering merindukan rumah dan suasana kampung halaman. Suasana makan di warung mangut lele membuat Putri betah. Suasana dapur yang hidup dan selalu hangat ini mengobati rasa rindunya akan suasana kampung halaman dan rumah orangtua.
Bagi banyak orang, keberadaan rumah makan legendaris menunjukkan bagaimana nostalgia bekerja dalam lamunan yang sentimental. Meski ada rasa pahit, tetapi terdapat pula rona bahagia dan semburat kerinduan. Melalui suap demi suap makanan yang melegenda, seseorang membangun kesadaran diri, memori, dan kebermaknaan hidup.
Jadi, kulineran ke mana kita hari ini?