Kelezatan ”Surgawi” untuk Konsumen dari Dapur ”Neraka” Para Chef
Kelezatan surgawi di meja makan restoran diracik oleh para ”chef” dan kru di dapur yang panas bagai ”neraka”. Bagaimana mereka bekerja?
Chef Rochendi (69) mengaduk-aduk ayam bumbu bali dalam wajan lebar dengan sodet besar. Napas memburu, api berkobar, dan peluh menitik di dapur yang panas. Begitulah demi kelezatan ”surgawi” di meja makan, para chef dan krunya mesti berjibaku di dapur ”neraka”.
”Cepat, masukkan ke chafing dish (wadah makanan). Waduh, daging lada hitam, kuahnya masih terlalu encer,” teriak Executive Chef sekaligus Direktur Utama Van Hengel Catering tersebut kepada para krunya di sebuah dapur di Bandung, Jawa Barat, Minggu (4/6/2023).
Ia kemudian bergerak ke sudut lain, membuka tutup oven bersuhu 120 derajat celsius untuk mengecek makaroni dan lasagna yang sedang dipanggang di dalamnya. Hawa panas spontan menyergap wajah Rochendi. Hawa panas juga menguar dari 14 kompor yang semuanya menyala dan uap dari masakan yang mengepul.
Tak ada yang mengobrol, apalagi bercanda di dapur itu saat semua kru dapur sibuk menyiapkan hampir 500 porsi makanan untuk diberangkatkan ke tiga tujuan. ”Ayo, 10 menit lagi. Makanan harus diantar pukul 07.00,” teriaknya dengan alis berkerut, mata menteleng, dan roman tegas.
Sekilas, sentakan itu tak mengenakkan. Tetapi, begitulah suasana yang mesti dihadapi para juru masak sehari-hari. Dan, sering kali aktivitas mereka yang intens di dapur membentang sejak tengah malam.
Dapur tempat yang keras
Dapur restoran atau katering menjadi tempat yang keras bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kerasnya kehidupan di dapur restoran bahkan diangkat dalam beberapa produk industri hiburan, seperti reality show Hell’s Kitchen, yang melambungkan nama chef asal Inggris, Gordon Ramsay. Dalam acara itu, Ramsey tidak segan mendamprat peserta yang keliru.
Film Hunger dari Thailand lebih detail lagi memotret sisi gelap industri kuliner. Film yang disutradarai Sitisiri Mongkolsiri ini menggambarkan bagaimana chef Paul di restoran terkenal Hunger kerap berlaku kasar, seperti melempar penggorengan atau panci pada anak buahnya.
Apa yang menyebabkan orang-orang di dapur restoran menjadi temperamental? Faktornya banyak. Tetapi, salah satunya, menurut para chef, adalah ketegangan konstan yang bersumber dari tenggat waktu ketika memasak, jam kerja yang panjang, pesanan yang seabrek dan datang pada waktu nyaris bersamaan, tekanan dari atasan dan pemilik restoran, hingga tuntutan konsumen.
”Makanya, banyak kepala juru masak yang emosional. Kalau marah, piring atau panci sampai terbang itu enggak aneh,” ujar Rochendi.
Rochendi mengaku sudah kenyang dihardik hingga ditunjuk-tunjuk di depan tamu. Maki-makian mulai otak udang sampai isi kebun binatang masuk kuping kiri keluar kanan. Dulu sekali dia mengalami, ketika salah mengupas kulit wortel sampai tercecer di lantai, ia mendapat tendangan pada kakinya. Satu waktu dia pernah salah memasak nasi goreng, bos bulenya langsung datang menyeretnya sambil teriak memaki ”Stupid!”
Pada jam-jam tertentu tensi di dalam dapur sering berada di puncaknya. Biasanya sekitar pukul 12.00 dan 19.00 di mana order makanan sedang banyak berdatangan. Para chef dan kru dapur di saat itu lintang pukang di dapur yang panas dan gerah ibarat berada dalam ”neraka”.
Rochendi mengibaratkan momen-momen seperti itu sebagai momen ”senggol bacok”. Kisah yang disampaikan Rochendi bukanlah cerita rekaan, apalagi drama yang dilebih-lebihkan. Saat ditemui terpisah, Jumat (9/6/2023), Kepala Chef di Restoran Kaum, Jakarta, Rachmad Hidayat juga mengakui area dapur bisa berubah menjadi arena pertarungan yang keras.
”Pokoknya jangan berani colek-colek sekitar jam-jam segitu. Segala ingar-bingar di dapur tak lain demi menghadirkan surga bagi konsumen. Pembedanya hanya setipis daun pintu dapur,” tambah Rochendi.
Dia pernah melempar peralatan dapur ke stafnya yang bercanda di dapur.
”Dapur ini kan berhubungan dengan makanan, minyak, api. Sedang sibuk, bahkan di puncak rush, kadang orang tidak tahu, bercanda tidak lihat-lihat keadaan. Udah deh, apa pun yang dipegang, sebagainya bisa keluar semua,” ujarnya.
Cara Chef Mengatasi Emosi
Namun, seiring waktu Rachmad belajar untuk mengatasi dunia kuliner yang keras terutama untuk mengendalikan emosi. Setidaknya ada beberapa kiat dia lakukan saat sedang ada masalah muncul di dapur atau saat perasaannya tengah berantakan. Salah satunya dengan berdiam diri sejenak sambil mengelilingi bahan dan bumbu-bumbu, kemudian merenung dan menenangkan hati.
Jika jurus itu tidak berhasil, dia akan masuk ke tempat pendingin makanan dan di dalam dia akan berteriak sekencang-kencangnya meluapkan emosi dan kekesalan. Setelah merasa lebih tenang dan adem, Rachmad baru masuk kembali ke dapur dan berkomunikasi dengan anak buah.
Dalam pekerjaan, Rachmad juga berusaha menjaga komunikasi yang baik dengan bawahannya. Ia rutin memberi pengarahan (briefing) dan evaluasi pekerjaan. Biasanya pengarahan diberikan jelang pergantian shift kerja pukul 15.00. Saat itu ia bisa menggali masalah-masalah di dapur dan mengomunikasikannya kepada anak buah.
Hendra, salah satu anak buahnya, mengatakan, Rachmad adalah pemimpin tegas. ”Kalau kami salah, ia langsung memberitahu, mencontohkan. Enggak keras, tapi tegas terutama terkait kualitas makanan,” ujarnya ditemui saat sedang memanggang udang di dapur Restoran Kaum.
Selain tekanan pekerjaan yang kerap memicu stres tinggi, tantangan terkadang juga datang dari personal pimpinan. Atasan yang tak kompeten mengatur dan mengelola anak buah serta pekerjaan, apalagi jika diikuti pula dengan masalah diskriminasi, memang memicu persoalan tersendiri.
Baca juga: Kegilaan Massal Berburu-konser
Kondisi itu sempat dialami Chef Mili Hendratno, pemilik sekaligus pendiri Restoran Mil’s Kitchen, yang berpusat di Yogyakarta dan kini mengembangkan sayap ke ”Pulau Dewata” Bali. Pengalaman didiskriminasi dan atasan yang tidak kompeten tadi dialaminya ketika dua tahun bekerja di dua kapal pesiar sungai di Eropa tahun 2012-2013.
Ia menceritakannya di Canggu, Bali, Sabtu (3/6/2022). Sejak awal masuk dan bekerja di sana, lanjut Mili, ia merasa ada semacam sikap meremehkan dari kepala chef-nya yang berkebangsaan Eropa. Namun, hal seperti itu, tambah Mili, tak juga sepenuhnya bisa disalahkan ke orang-orang macam atasannya tadi.
Ada sejumlah kejadian justru disebabkan orang-orang yang tak siap bekerja di luar negeri. Mereka bekerja tanpa dibekali pengetahuan serta pengalaman yang cukup untuk bisa mengikuti ritme kerja di negeri orang, yang jauh berbeda dengan di Indonesia. Namun, dalam peristiwa yang dialaminya, tambah Mili, faktor penyebab berasal dari atasan yang tak kompeten.
”Satu waktu aku disuruh bikin Potato Rosti, yang resep dan cara membuatnya sudah aku kuasai. Setelah hampir selesai tiba-tiba head chef-ku yang orang Romania mendatangi dan marah-marah. Dia mempersoalkan kenapa aku pakai palet (sutil) panjang karena menurut dia harusnya pakai yang pendek,” ujar Mili.
Mili membela diri karena apa yang dia kerjakan sudah benar dan sesuai resep. Sang head chef juga tidak bisa menjelaskan mengapa harus menggunakan peralatan tertentu. Sang atasan hanya menunjuk tulisan ”Head Chef” di pakaiannya untuk menunjukkan dialah bosnya.
Tak hanya itu, si head chef malah menyuruh Mili membuang ratusan Potato Rosti yang telah jadi ke tempat sampah lalu membuat ulang dengan peralatan sesuai keinginannya. Setelah berdebat dan balik menantang agar dirinya dipecat, Mili tetap menuruti kemauan si bos. Belakangan bosnya itu minta maaf dengan mengajak Mili bersantai sambil minum bir dingin bersama di dek kapal.
Selain tekanan internal, pemicu stres tinggi juga bisa datang dari luar dapur. Salah satunya berasal dari pemilik atau investor restoran, yang secara hierarkis berada paling puncak. Hal itu disinggung pakar kuliner Indonesia William Wongso saat dihubungi terpisah. Menurutnya, investor sudah tentu akan selalu berharap investasinya cepat mendulang laba.
Baca juga: Drama-drama Karena Coldplay
Kondisi itu bisa berdampak pada para pekerja yang ikut tertekan lantaran penetapan jam kerja yang belum tentu lazim. ”Temannya libur, mereka enggak. Mau dugem, ternyata mesti piket. Belum lagi tuntutan konsumen kalau rasa masakan dinilai berubah, atau pengin restoran cepat populer,” katanya.
William tak sepenuhnya sependapat soal opresi dalam jenjang pemasak meski ia membenarkan tugas mereka tergolong berat. ”Zaman kuno, iya (keras), tapi yang bikin stres tergantung posisi. Kan, chef macam-macam. Bisa pekerja atau salah satu pemilik restoran,” ujarnya.
Yang jelas kelezatan makanan di meja makan restoran diusahakan oleh orang-orang yang bekerja tak kenal lelah di dapur yang beraroma panas bagai ”neraka”. Ada baiknya kita mengapresiasi mereka.