Fanatisme Penggemar Kecap
Kalau sudah jatuh cinta pada satu-dua merek kecap, hampir tak ada ruang untuk kecap yang lain. Begitulah fanatisme di kalangan penggemar kecap.
Kalau sudah jatuh cinta pada satu-dua merek kecap, hampir tak ada ruang untuk kecap yang lain. Begitulah fanatisme di kalangan penggemar kecap. Produsen kecap pun berupaya menjaga kesetiaan penggemar dengan beragam cara sehingga menciptakan persaingan ketat.
Teguh Husodo (53), dosen Departemen Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, adalah penikmat setia kecap Cap Borobudur selama puluhan tahun. Sudah telanjur cinta, lidah Teguh sulit berpindah ke lain kecap.
”Ibu saya yang mengenalkan kecap Cap Borobudur sejak saya kecil. Sampai sekarang selalu ada di rumah. Pernah coba merek lain, tetapi tidak cocok. Saya suka kecap yang manisnya sedang seperti Kecap Borobudur,” kata Teguh yang dijumpai di area Pameran Koleksi Kecap Nusantara ”Rasa Lestari” di Teater Pengetahuan Rektorat Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (13/6/2023).
Fanatisme Teguh pada kecap Cap Borobudur itu untungnya tidak sampai membuat Teguh jadi tak akur dengan istrinya yang asli Majalengka. Posisi keduanya yang tinggal di Bandung, kota asal kecap Cap Borobudur, menjadi kemenangan telak bagi Teguh.
”Setiap kali belanja saya selalu ambil duluan kecap Borobudur. Jadi, enggak ada kesempatan buat istri saya beli kecap lain,” kata Teguh menyeringai jenaka.
Istrinya, sebenarnya punya kecap favorit dari kota asalnya. Namun, di Bandung tidak mudah mendapatkan kecap Majalengka. Akhirnya, sepanjang pernikahan mereka, kecap Cap Borobudur-lah yang selalu jadi kecap nomor satu di rumah.
Siang itu, karena tergoda ”promosi” Kecap Cap Lombok Gandaria asal Solo yang juga memiliki varian dengan manis sedang, Teguh tertarik. ”Tapi belum tahu cocok atau tidak. Coba dulu,” ujarnya dengan nada tidak yakin.
Warung Batagor H Isan di Bandung juga fanatik pada satu merek kecap, yakni kecap Cap Raos. Pelanggan setia warung itu ikut fanatik pada kecap Cap Raos. ”Kalau mau bawa pulang (makanan), mereka sekalian beli kecapnya pakai jeriken,” ujar salah seorang karyawan.
Selalu nomor satu
Fanatisme pada merek kecap tertentu seperti yang terjadi pada Teguh dan Warung Batagor H Isan adalah penjelasan mengapa setiap kecap selalu menjadi nomor satu di hati penikmat setianya. Para produsen kecap akan berupa sekuat tenaga agar penggemar setia mereka tidak berpaling ke kecap lain.
Ini membuat munculnya kompetisi antarprodusen kecap. Apalagi, setiap daerah memiliki kecap lokalnya sendiri dengan penggemar fanatiknya sendiri. ”Kalau sudah minded, sudah biasa pakai kecap merek tertentu, diubah agak susah,” ujar Kepala Bagian Customer Relationship Officer & Export PT Lombok Gandaria Tabita Setyawati.
Baca juga: Kelezatan Surgawi dari Dapur Neraka
Cara paling manjur untuk merawat pelanggan kecap Cap Lombok Gandaria, lanjut Tabita, adalah dengan menjaga mutu kecap. Pihaknya selalu menggunakan bahan baku lokal, tidak memakai bahan kimia, dan mempertahankan proses fermentasi basah.
Tabita menjelaskan secara singkat bagaimana fermentasi basah itu dilakukan. Kedelai dikukus, lalu dicampur jamur, dua hari kemudian dipindah ke bak penampung selama empat bulan. ”Itu titik kuncinya, tetapi banyak yang sudah meninggalkan (cara itu),” kata Tabita.
Proses fermentasi, lanjut Tabita, membuat kandungan nilai gizi kedelai terpecah semakin baik. Hasilnya proteinnya lebih tinggi. Cara ini tetap dipertahankan karena inilah cara pembuatan kecap yang asli.
Kecap Cap Korma yang diproduksi sejak tahun 1948 oleh Khadijah Assegaf, kini bernaung di bawah PT Korma Jaya Utama (KJU), mati-matian menjaga mutu dengan memakai bahan baku alami, seperti kedelai hitam, gula kelapa, dan rempah. Semuanya lokal.
”Kami mempertahankan prinsip dasar agar produk kecap kami tak hanya sehat, tetapi juga halal dan baik (halalan thoyiban),” ujar Fira Suraya, dari bagian pemasaran PT KJU.
Mereka tak mau menggunakan kedelai hasil rekayasa genetika dan menolak menggunakan zat kimia, seperti pemberi cita rasa (essens) dan pemanis buatan (gula sintetis). ”Gula yang kami pakai masih gula kelapa asli produksi Sukabumi, Jawa Barat. Kedelai yang dipakai pun jenis kedelai hitam asli, yang harganya bisa 30 persen lebih mahal dari kedelai biasa,” tutur Fira.
Baca juga: Perjuangan Para Peracik Rasa
Walau menyasar konsumen umum, kecap Cap Korma yang banyak dipakai oleh tukang sate diidentikkan dengan konsumen muslim. Tidak heran jika slogan (tagline) yang dipakai kecap ini adalah ”Kecap yang sehat, lezat, serta halal dan baik”, serta ”Ada amal di balik kelezatan”. Ini terkait komitmen perusahaan menginfakkan 2,5 persen dari setiap pembelian kecap.
Dengan jurus-jurus itu, kecap Cap Korma masih bisa menjaga kepercayaan konsumennya, terutama masyarakat muslim yang masih peduli pada kehalalan produk yang mereka konsumsi.
Di Bandung, produsen kecap Cap Sapi yang sudah ada sejak 1938 menjaga mutu dengan menekankan standar kebersihan dalam proses pembuatan di pabriknya di Jalan Holis. Produsen juga mempertahankan pembuatan kecap dengan cara tradisional yang lebih banyak menggunakan tenaga manusia.
Setiap karyawan, yang berjumlah 10 orang, Rabu (14/6/2023), bekerja dengan teliti dan hati-hati. Sebagian sibuk menuang kecap ke dalam botol, sisanya bekerja menyortir botol dan memeriksa kebersihannya, memasang label secara manual, memasak gula aren, serta menyaring kecap yang sudah dimasak.
Seluruh peralatan terbuat dari baja, mulai dari kuali untuk memasak kecap hingga bak-bak penampungan kedelai yang dicampur dengan air garam. Peralatan berbahan plastik sudah lama mereka tinggalkan.
Kecap Cap Sapi menggunakan gula aren asal Sukabumi, garam dari Gresik dan Madura, serta kedelai dari Kanada. Mereka terpaksa menggunakan kedelai impor karena kedelai Garut kualitasnya tak terlalu baik.
”Tidak pakai bahan-bahan kimia. Kalau (produsen) yang lain ada yang pakai gula tetes, pengental atau singkong, pengawet, dan pewarna. Warna hitam itu asli dari proses pembuatannya. Memang kami ingin cari untung, tetapi tidak mau melakukan cara-cara seperti itu,” tutur Herman Kurnia (75), penerus kecap Cap Sapi generasi kedua.
Konsekuensinya, ongkos produksi dan harga jual kecap Cap Sapi relatif tinggi. Nyatanya pelanggan mereka tetap setia. Salah satu pelanggan adalah jaringan restoran bakmi yang memiliki banyak cabang di Jakarta. Herman mengirim kecap ke restoran tanpa label demi kerahasiaan resep milik pengelola restoran.
Berdarah-darah
Selain bersaing dengan sesama kecap lokal, produsen kecap di berbagai daerah mesti berkompetisi dengan kecap milik perusahaan skala nasional dan multinasional yang masuk ke mana-mana. ”Kami sedang berusaha go national dan go international. Tapi melawan merek-merek kecap besar akan membuat kami berdarah-darah,” cerita Tabita.
Agar tak berdarah-darah, produsen kecap Cap Lombok Gandaria berupaya mencari jalan lain. Salah satunya bergerak langsung mendekati hotel-hotel, restoran, dan katering. ”Itu tugas saya untuk me-maintain, mendekati mereka, juga mendengar mereka,” ujar Tabita.
Kecap Cap Lombok Gandaria tahun ini berusia 50 tahun. Kecap ini punya ”daerah kekuasaan” antara lain di Solo Raya dan Yogyakarta. Saat ini, produsen mulai mengekspornya ke Spanyol, Belanda, dan Uni Emirat Arab. ”Ternyata kebutuhan di Arab besar sekali,” ucap Tabita.
Produsen kecap Cap Sapi juga ingin melebarkan sayap ke pasar nasional. Namun, itu bukan pekerjaan mudah karena mereka harus berhadapan dengan produsen kecap bermodal besar. Selain itu, aturan yang dibuat pengelola supermarket dan jaringan minimarket kerap tidak berpihak.
”Kita mau masuk ke supermarket saja biaya listing-nya ratusan juta. Kalau mereka ambil pun, enggak banyak dan proses pembayarannya lama,” ujar Marin Kurnia, generasi ketiga produsen kecap Cap Sapi.
Dia mengapresiasi inisiatif supermarket seperti Grand Lucky di kawasan SCBD, Jakarta, yang memajang lebih dari 100 merek kecap lokal dari berbagai daerah di Tanah Air. Ini memberi kesempatan kecap-kecap lokal diketahui lebih luas oleh konsumen sebagai alternatif pilihan.
Untuk menambah pemasukan, produsen kecap Cap Sapi juga menjadi makloon (menyediakan jasa produksi kecap) untuk beberapa perusahaan yang punya pasar di luar negeri.
Tidak dimungkiri, pasar kecap memang menggiurkan, tetapi kompetisinya juga berat. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, produksi kecap pada 2014 mencapai 81,7 juta liter dengan nilai Rp 7,1 triliun. Tingkat pertumbuhan pasar kecap naik 9-10 persen per tahun.
Ini ditandai dengan laju pertumbuhan kebutuhan kedelai untuk kecap. BPS dan Kementerian Pertanian sama-sama menyebut angkanya terus naik. Dalam 15 tahun terakhir, besaran rata-rata kenaikan kebutuhan kedelai untuk produksi kecap mencapai 4,5 persen per tahun.
Kekayaan kecap di Indonesia memang luar biasa. Di Jatim, tercatat ada 34 pabrik kecap dan di Jabar ada 24 pabrik. Di Solo, jumlah merek kecap lokal saja ada 30 buah. Belum lagi di Sumatera dan daerah lain. Kecap-kecap produksi mereka mengunci lidah penggemar fanatiknya dengan cita rasa juga nostalgia.
Sayangnya, banyak merek kecap lokal yang tergilas merek kecap milik konglomerat yang penetrasi pasarnya luar biasa. Kini, banyak konsumen generasi muda yang hanya kenal kecap-kecap merek besar. Itu lagi, itu lagi.