Musim Semi Pembuat Konten
Suka tidak suka, perkembangan teknologi melahirkan berbagai hal. Salah satunya profesi yang kian mekar sepanjang pandemi dan terus bersemi hingga kini, yakni lahirnya kreator konten.
Suka tidak suka, perkembangan teknologi melahirkan berbagai hal baru, salah satunya profesi yang kian mekar sepanjang pandemi dan terus bersemi hingga kini, yakni pembuat konten (content creator). Siapa saja bisa menghasilkan konten dan berpotensi meraup pendapatan tak terduga.
Sekelompok anak muda lalu lalang memasuki sebuah studio mini di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (5/4/2023) sore. Mereka membawa aneka barang. Di dalam studio, ada yang sibuk mengatur lampu, memasang kamera, dan barang-barang yang dibawa tadi mulai disusun di atas meja.
Sekitar 15 menit berselang, dua anak muda pun asyik bercuap-cuap menawarkan barang-barang yang terpajang di atas meja dan berulang kali mengingatkan orang-orang agar tidak lupa segera membeli dan membayar belanjaan supaya memperoleh harga diskon.
Sementara itu, tiga anak muda lainnya menatap laptop untuk memantau perkembangan statistik live shopping melalui akun Tiktok dan mengingatkan durasi.
Pemandangan seperti ini mulai jamak di berbagai kantor media. Sinergi media sosial dan ragam bisnis, termasuk media massa, mau tidak mau harus dilakukan demi mengukuhkan eksistensi. ”Ini berkaitan dengan Gerai Kompas, juga memperkenalkan Kompas.id dan nge-branding lagi harian Kompas. Penting saat ini untuk berstrategi memanfaatkan media sosial. Tidak hanya ini, ada juga konten berjudul AADK, yaitu Ada Apa di Koran Hari Ini?, untuk mengajak kembali membaca koran juga,” ujar Wakil Manajer Media Sosial Harian Kompas Priyanto di Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Keberadaan konten yang makin menyuburkan lahan para pembuat konten sebagai sarana pemasaran ini memang tak bisa dimungkiri. Social Media Trends 2023 yang dirilis Hootsuite menunjukkan, penggunaan pembuat konten mulai dilirik oleh 42 persen perusahaan dengan karyawan berjumlah di atas 1.000 orang.
Namun, bisnis kecil pun memanfaatkan jasa pembuat konten atau malah melahirkan pembuat konten baru sekaligus bisnis baru. Hal ini dialami oleh Analisa Widyaningrum (34), seorang psikolog. Semula, ia merasa tidak percaya diri terjun membuat konten di media sosial. Akan tetapi, kebutuhan untuk mempromosikan bisnis yang tengah dibangunnya membuatnya berani mencoba.
”Enggak pede bikin konten tuh pas 2015. Tapi gara-gara bikin APDC Indonesia saat itu, marketing tools yang gampang bagiku dengan biaya murah, ya, lewat Instagram. Mulailah di situ, bikin konten APDC juga untukku. Itu semua masih sendiri karena belum tim. Eh, ternyata malah yang lebih banyak engagement-nya yang personal, yang akun Analisa,” tutur Ana.
Kesempatan itu ia manfaatkan untuk memperkenalkan profesi psikolog dan memberikan pemahaman tentang pergi ke psikolog demi sehat mental. Sejalan dengan meningkatnya pengikut di akun @analisa.widyaningrum dan personal branding yang dibangunnya, bisnisnya, yaitu APDC Indonesia, juga mengikuti.
Ia tak menyangka pembuatan konten yang ditujukan untuk edukasi sekaligus marketing bertransformasi menjadi profesi baru baginya. ”Yang tadinya mau mengedukasi malah jadi profesi juga,” ujar perempuan yang semula pengikutnya kurang dari 2.000, tapi kini melesat hingga lewat 500.000 di Instagram dan lebih dari 600.000 di Youtube.
Diakuinya, tak mudah untuk konsisten membuat konten. Padahal, kunci pembuat konten dapat bertahan adalah konsistensi. Untuk itu, keberadaan tim cukup vital baginya. Selain rutin membaca buku untuk terus menemukan ide, berdiskusi dengan tim yang usianya masih muda dan paham tren cukup membantu Ana untuk mengembangkan gagasan.
Jatuhnya aku posting kalau lagi enggak sibuk atau senggang. Untuk APDC ada tim dan asisten, yang personal aku tetap pegang sendiri, tapi ya itu tadi, enggak maksain karena perlu energi juga.
Namun, kendalanya adalah waktu. Ana kerap diprotes kedua anaknya ketika masih memegang gawai untuk keperluan konten ketika di rumah. Akhirnya, Ana menyiasatinya dengan bernegosiasi dan belajar melambat. ”Jatuhnya aku posting kalau lagi enggak sibuk atau senggang. Untuk APDC ada tim dan asisten, yang personal aku tetap pegang sendiri, tapi ya itu tadi, enggak maksain karena perlu energi juga,” ujarnya.
Belakangan, ia juga menggandeng sang suami dalam konten untuk membicarakan kehidupan rumah tangga beserta tipsnya. Namun, diakuinya, hal ini belum bisa rutin karena kesibukannya dan suami.
Efek pandemi
Berbeda dengan Ana yang telah merintis sejak 2015, Ghaniy Pradita (22) terpantik masuk sebagai pembuat konten ketika pandemi. Kondisi pembatasan sosial justru memunculkan ide menjadikan proses penyelesaian skripsi sebagai mahasiswa Teknik Pengairan Universitas Brawijaya sebagai konten. Tak disangka, konten yang saat itu diunggah melalui akun @mahasiswamalas di Tiktok memperoleh sambutan baik.
Dari tanpa pengikut, sekitar dua bulan berjalan, pengikutnya melonjak hingga 20.000 dan terus naik sampai kini stabil di angka 80.000-an. Ini jelas tak disangka mengingat awalnya ia tak mampu mengedit video. ”Bikin satu video durasi 15 detik aja tiga jam,” ujarnya.
Baca juga : ”Kami Cuma Butuh Ruang...”
Seusai lulus kuliah, kini akunnya berubah menjadi @karyawanmalas. Tak ditampiknya, profesi menjadi pembuat konten cukup menjanjikan. Saat masih kuliah saja, ia kerap kali diajak bekerja sama untuk mempromosikan produk. ”Untuk satu video itu bisa antara Rp 700.000 sampai Rp 1 juta,” katanya.
Dari pendapatannya itu, ia bisa menaikkan standar peralatan yang digunakan. Apabila orang-orang kerap terkendala waktu, Ghaniy justru sebaliknya. Konten yang dibuatnya ini membuat dia semangat menyelesaikan skripsi.
”Kalau aku enggak kerjain, enggak ada kontennya. Ha-ha-ha. Jadi, malah semangat. Biasanya pagi sampai sore, aku kerjain skripsi sambil sesekali direkam untuk stok. Malamnya baru bikin script dan gabungin jadi video, deh.”
Seiring meredanya pandemi, Ghaniy berpikir ulang dan menjajal bekerja kantoran, tapi tidak jauh-jauh dari dunia konten.
Yogi Hadi Wibowo (26), pembuat konten dengan nama akun Tiktok @bobocu.id, memulai kariernya sebagai pembuat konten personal sekitar tahun 2019 lewat Tiktok. Awalnya, Yogi mencoba membuat konten di Youtube dan Instagram. Karena merasa tak ada perubahan, akhirnya Yogi pun mencoba membuat video di Tiktok.
Biasanya pagi sampai sore, aku kerjain skripsi sambil sesekali direkam untuk stok. Malamnya baru bikin script dan gabungin jadi video, deh.
”Aku upload aja, deh, video yang menurutku bagus, yang jadi kesukaan aku. Eh, ternyata malah, kok bisa ya hal ini mengubah hidup aku, gara-gara platform Tiktok,” kata Yogi.
Ketika masuk Tiktok, videonya tidak langsung viral. Tetap ada proses yang harus dia lewati. ”Pertama, masih video yang random. Ada joget-joget juga, terus ada yang versi sinematik gitu,” tambahnya.
Proses putar otak Yogi cukup menantang. Apalagi, kala itu Yogi masih terbilang baru di dunia konten. Ia masih mencari jati diri, pola yang pas, persona yang pas. Belakangan, ia menemukan konten dengan format before-after banyak peminatnya.
Dari sana, konten-konten Yogi yang bertransisi mulai banyak menyedot penonton. Hingga akhirnya ia mencoba fokus ke konten transisi outfit Korea. ”Jadinya, ya, banyak yang viral, masuk FYP (For You Page) dan jadilah Bobocu yang sekarang,” kata Yogi yang pada awal 2020 rutin mengunggah satu konten setiap hari.
Akunnya mulai dilirik Tiktok setelah konten video Stay with Me viral kira-kira pada pertengahan 2021. Awalnya, Yogi ditawari untuk program Tiktok Shop. ”Kamu mau live enggak, begitu kata timnya. Nanti saya akan mendapatkan harga tertentu. Itu dulu banget, sebelum orang-orang gencar melakukan Tiktok Live, aku sudah diajak untuk berjualan di Tiktok,” ujarnya.
Baca juga : Kreator Konten Menggerakkan Industri Pariwisata
Hal yang menjadi pegangannya dalam berkarya adalah menghindari konten berunsur politik, menyinggung SARA, atau yang bermuatan pornografi. Menurut dia, itu adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai pembuat konten. ”Takutnya kalau nyinggung politik ada yang tersinggung. Imbasnya bisa panjang. Aku fokus aja ke kontenku sesuai pasarku yang fashion transisi,” katanya.
Pahami etika
Terkait persoalan etika, pengamat media Agus Sudibyo, Jumat (7/4/2023), mengungkapkan, karena sudah menjadi semacam pemahaman umum bahwa platform media sosial adalah ruang publik, maka prinsipnya, siapa pun yang beroperasi di ruang publik, baik nama pembuat konten, netizen, maupun apa pun, harus paham dan melaksanakan prinsip-prinsip berkomunikasi di ruang publik.
”Dia harus paham bahwa konten yang dia bikin itu dikonsumsi oleh banyak orang. Maka, prinsip-prinsip kelayakan, kepantasan, kepatutan, harus menjadi norma yang integral di dalam, baik dari sisi proses maupun dari sisi hasil,” ujar Agus.
Dia mencontohkan beberapa patokan dalam berkomunikasi di ruang publik. Misalnya, tidak merundung orang tanpa dasar, tidak menghakimi orang tanpa memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk membela diri atau melakukan klarifikasi.
Hal lain adalah mengumbar hal-hal yang bersifat pornografi, merendahkan perempuan atau orang cacat, ataupun diskriminatif terhadap kelompok tertentu. ”Kalau dalam konteks Indonesia, kita paham bahwa terkait suku, agama, ras, dan antar-golongan itu sesuatu yang sensitif,” imbuhnya.
Apabila etika berkomunikasi di ruang publik tak dipahami dengan baik, akan muncul dampak. Misalnya, tanpa sengaja merugikan orang lain, lebih jauh lagi merugikan publik.
”Kalau ada orang yang tersinggung, yang serius, kita juga bisa diadukan dengan UU ITE kan, atau UU KUHP perbuatan tidak menyenangkan,” katanya.
Meneropong masa depan, pembuatan konten media sosial ini memang tak bisa ditolak. Yang perlu diingat, jangan membuat konten hanya untuk mengejar cuan.
Kalau dalam konteks Indonesia, kita paham bahwa terkait suku, agama, ras, dan antar-golongan itu sesuatu yang sensitif.