Fenomena berbagi oleh masyarakat selama bulan Ramadhan bisa dilihat sebagai tanda semakin berkembangnya bentuk inklusi kesalehan sosial.
Oleh
WISNU DEWABRATA, ELSA EMIRIA LEBA
·6 menit baca
Bulan Ramadhan adalah bulan berbagi. Banyak orang dengan senang hati menyediakan minuman dan makanan untuk orang lain. Kesalehan sosial mendominasi hari-hari selama puasa.
Kediaman Augus Adrian (49) di perumahan salah satu kementerian di Kreo, Kota Tangerang, Banten, Kamis (30/3/2023) siang, tampak ramai. Jarum jam menunjukkan pukul 14.00 lebih beberapa menit. Keluarga Augus tenggelam dalam kesibukan. Augus; istrinya, Neny Yunita (45); sang ibu, Askamah (60); dan putrinya, Kanya (18), berbagi tugas memasak dan menyiapkan makanan pesanan. Sejak beberapa tahun jelang pandemi, Augus berbisnis katering rumahan dan berjualan makanan beku. Rumah Jajan DRK berdiri setelah Augus mundur dari sebuah bank swasta asing.
Dulu dia menyediakan katering prasmanan untuk makan siang karyawan di kantor lama. Saat pandemi dia beralih menyediakan katering makanan sehat dan menjadi reseller makanan beku. Selama dua Ramadhan terakhir ini, usaha katering Augus juga menawarkan paket-paket makanan untuk disumbangkan ke kaum duafa.
Semula gerakan itu lahir dari inisiatif berbagi makanan setiap Jumat. Lalu dia mengajak teman-temannya turut menyumbang dana. ”Dari uang sumbangan mereka, kami masak lalu kemas dan bagikan kepada orang yang membutuhkan,” ujarnya.
Sekarang Augus memiliki dua donatur tetap. Mereka adalah teman-teman yang bekerja di luar negeri. Setiap pekan, mereka mentransfer sejumlah uang untuk membuat paket makanan.
Augus juga rutin menyumbang 50 paket makanan siap konsumsi ke beberapa tempat, seperti satu pondok penghafal Al Quran di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Ia juga berbagi ke rumah anak-anak yatim piatu di Depok, Jawa Barat. Di luar Ramadhan, Augus rutin menyumbang setiap hari Jumat.
”Enggak perlu khawatir akan rugi. Lagian, kan, nyumbang-nya juga cuma seminggu sekali, masih ada enam hari kita usaha dan cari untung. Satu hari untuk orang lain, sementara ada enam hari lain yang untuk diri kita sendiri,” tuturnya.
Bagi Augus, selain untuk beribadah dan berharap pahala, dirinya juga yakin, jika semakin banyak dia berbagi, akan semakin banyak pula limpahan rezeki kepada diri dan keluarganya.
Rezeki yang Augus maksud tak selalu berbentuk materi, uang, atau keuntungan finansial. Kesehatan dan ketenangan jiwa juga termasuk rezeki.
Takjil ibu-ibu
Di RW 005 Kompleks P&K Cipondoh Indah, Tangerang, sudah menjadi tradisi bagi ibu-ibu RT setempat mengatur pembagian takjil gratis bagi warga di Masjid Nurul Imam. RW yang terdiri atas tujuh RT itu membagikan takjil untuk berbuka selama satu bulan penuh.
Sekarang giliran warga RT 005 yang bertugas membagikan takjil selama empat hari, mulai dari Rabu (29/3/2023) sampai Sabtu (1/4/2023). Yeti (54), warga RT 005, menceritakan, pembagian takjil biasanya berupa air mineral kemasan dan kue-kue, seperti pastel dan risoles.
”Di RT kami, biasanya kami bagi lagi menjadi beberapa grup. Jadi, satu grup itu ada tujuh rumah tangga yang menanggung untuk satu hari karena kami mendapat jatah empat hari,” kata Yeti.
Kelompok Yeti membagikan empat macam kue masing-masing sejumlah 40 potong. Dengan harga setiap kue sekitar Rp 2.500, berarti kelompoknya menanggung sekitar Rp 57.000 per rumah tangga. Mereka juga menyediakan dana lebih untuk minuman. Setiap RT memiliki cara sendiri dalam mengumpulkan dana. Kebanyakan ibu RT memilih memesan ke ibu-ibu sekitar yang bisa membuat kue. ”Kalau dulu waktu muda, sih, masih rajin masak sendiri,” ucap Yeti.
Biasanya takjil yang telah dipesan itu diserahkan ke marbot atau penjaga masjid untuk ditaruh di masjid. Jemaah yang datang tinggal mengambil. Siapa pun yang pergi ke masjid bisa menikmati takjil gratis itu, tetapi kebanyakan yang hadir adalah anak-anak usia SD sampai SMP.
Bagi Yeti, berbagi takjil di momen Ramadhan adalah kegiatan penuh berkah. ”Saya senang menyenangkan orang, apalagi pas bulan puasa, semoga berkahnya berlipat ganda,” katanya.
Bekti Andayani alias Dede (59) menyebutkan, tidak hanya takjil gratis, warga juga memberi uang sahur kepada para penjaga keamanan kompleks perumahan. Di Kompleks P&K Cipondoh Indah, terdapat enam penjaga dan satu koordinator keamanan.
Uang sahur itu berasal dari dana iuran RT. Pemberian uang sahur itu merupakan bentuk apresiasi kepada para penjaga. Tidak ada warga yang berkeberatan atas keputusan tersebut. Malahan, ada juga warga yang memilih langsung memberikan makanan sahur kepada mereka.
”Bulan Ramadhan itu penuh berkah, jadi enggak ada kelaparan waktu sahur dan berbuka. Kelaparannya pas siang doang, ha-ha-ha,” kata Dede berkelakar.
Tradisi berbagi takjil, lanjutnya, merupakan upaya mencari berkah yang berlipat ganda selama Ramadhan yang dia lakukan dengan senang hati. ”Soal pahala itu tergantung Allah. Yang penting, kita memberi dengan baik, ikhlas, dan tidak asal-asalan karena kita enggak tahu umur sampai kapan kan. Kalau kasih asal-asalan, ya, pahalanya juga asal,” ujarnya.
Salah satu penjaga keamanan Kompleks P&K Cipondoh Indah, Firman Herdiansyah (46), mengatakan, selain menerima uang sahur, para petugas juga menerima makanan, seperti gorengan, kolak, dan nasi bungkus. ”Menurut saya, itu menunjukkan kebersamaan umat Muslim, ya, jadi bersatu dan saling kenal,” ucapnya.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tantan Hermansah, menyebutkan, fenomena berbagi oleh masyarakat selama bulan Ramadhan bisa dilihat dari dua sudut pandang berbeda. Di satu, sisi kebiasaan baik tersebut menandakan semakin berkembangnya bentuk inklusi kesalehan sosial.
Saat ini, menurut Tantan, semangat orang untuk bisa berbagi semakin berkembang. Mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang indah untuk dilakukan. Selain itu, dari pandangan agama, umat Islam percaya kebiasaan itu akan menambah keberkahan hidup dan rezeki mereka.
Namun, Tantan juga mengingatkan, perkembangan yang terjadi sekarang ini juga harus disorot dari kacamata kritis. Jangan-jangan semakin maraknya fenomena kesalehan sosial yang inklusif di masyarakat ini sebenarnya merupakan bentuk kritik keras masyarakat atas ketidakmampuan negara menangani kemiskinan.
”Rakyat turun tangan langsung demi menopang kebutuhan primer dari sekelompok masyarakat lain yang kurang beruntung. Seharusnya ketika semakin banyak hal itu terjadi, negara dan pemerintah jangan diam-diam saja,” ujar Tantan.
Kekhawatiran Tantan jelas terlihat pada kasus Turyana (61), penjual kopi di kolong Stasiun Gondangdia yang sedang berbuka di Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat, Rabu (29/3/2023). Dengan pendapatan yang tidak seberapa, ia menantikan pembagian makanan berbuka puasa di masjid setiap hari.
”Senang, ya, karena gratis. Saya juga sahur tunggu makanan dari masjid. Biasanya makanan berbuka yang tersisa disimpan oleh pengurus masjid untuk saya,” tutur Turyana.
Ia menjelaskan, menurut Emile Durkheim, ketika semakin banyak subyek melakukan bentuk kesalehan sosial, itu menunjukkan adanya struktur yang goyah dan tidak mapan dalam negara. ”Negara tak mampu menjalankan fungsi sehingga terpaksa rakyat harus menopangnya, padahal hal itu bukan kewajiban mereka,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Tantan menekankan, negara harus bekerja keras meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai amanat konstitusi. Ia juga mewanti-wanti keberadaan massa dengan tangan menengadah macam tadi sangat rentan disalahgunakan oleh kekuatan tertentu sehingga bisa mengganggu stabilitas negara.
Semoga stabilitas terus terjaga. Pada bulan Ramadhan ini, selamat berpuasa, selamat berbagi.