Setelah PHK, Seketika Hidup Jungkir Balik
Dunia kerja kadang penuh kejutan. Aktualisasi hidup bisa terpenuhi. Oleh karena itu, PHK dengan segala bentuk eufemismenya ibarat pencuri yang bisa beraksi kapan saja.
Dunia pekerjaan terasa ajaib. Ia bisa memenuhi kebutuhan hidup, bahkan memberi makan ego karena punya ruang aktualisasi diri. Tapi di kala mala, ia bisa jadi sangat ganas. Aneka kemudahan bisa tercabut tiba-tiba, membuat hidup serasa jungkir balik. Slogan “kerja, kerja, kerja” jadi pepesan kosong.
“Hancur hati saya. Pada umur 42 ini, ke mana saya harus cari kerja lagi. Yang langsung terpikir adalah masa depan anak saya. Apakah dia masih bisa melanjutkan sekolahnya?” tutur Riko, bukan nama sebenarnya, kelu pada Sabtu (11/2/2023). Terhitung 1 Februari lalu, dia diberhentikan dari perusahaan swasta tempatnya mengabdi dalam lima tahun ke belakang.
Pada suatu hari di bulan Januari 2023, pimpinannya memberi tahu bahwa dia dan sekitar 10 rekan kerja lainnya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), eufemisme dari dipecat atau lay-off. Alasannya, kinerja Riko dianggap kurang baik oleh pimpinannya. Ini membuatnya marah sekaligus bingung.
Riko merasa bekerja sepatutnya, sesuai aturan kantor, sama dengan karyawan lain yang ”selamat” dari gelombang PHK. Ia merasa marah sampai ingin protes karena menganggap alasan itu tak adil. Namun, ia sadar kemarahan dan kekesalan tak akan menolongnya.
Perusahaan memenuhi haknya melebihi aturan ketenagakerjaan. Riko masih menerima gaji bulan Februari meski sudah tak bekerja lagi. Bonus dan tunjangan hari raya pun ia dapat. Dengan masa kerja lima tahun, total uang yang diterima Riko tujuh kali gaji ditambah komponen lain. Kompensasi ini agak meluruhkan amarahnya.
Ketika dihubungi, Riko mengaku mulai menerima ”kado pahit” awal tahun itu meski masih sesekali sedih. Kesedihan menyusup terutama ketika anak tunggalnya yang berusia 14 tahun mengetahui kondisi ayahnya. ”Anak saya tanya, ’Ayah sekarang tidak kerja, apakah nanti aku bisa kuilah?’,” kenang Riko.
”Sebagai kepala keluarga dan ayah, saya harus bertanggung jawab membiayai pendidikan anak, minimal sampai sarjana,” tekad Riko. Dengan sokongan keluarga dan teman-teman seprofesi, Riko mulai menata lagi hidupnya.
Bersama istri, dia bersepakat uang pesangon dipakai untuk melunasi cicilan sepeda motor selama 22 bulan. Sisanya, lanjutnya, bisa untuk hidup setahun. Untuk tempat tinggal, dia belum memutuskan apakah melanjutkan kontrak atau pindah ke rumah mertua yang kini hidup sendirian.
Teman-temannya membantu dia mencarikan lowongan kerja dan mendorongnya memperbarui riwayat hidup (curriculum vitae/CV). Mereka bahkan membantu mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan yang kira-kira cocok dengan pengalaman Riko. Upaya ini belum menunjukkan hasil. Riko sadar, tak banyak perusahaan yang mau menerima karyawan berumur lebih dari 40 tahun.
Sembari menanti titik terang, Riko menikmati waktu bersama keluarga kecilnya, yang di masa bekerja dulu sering ditinggal tugas. Sesekali dia juga membuat konten video untuk diunggah di Youtube. ”Apa pun jenis pekerjaannya akan saya jalani agar keluarga bisa hidup layak,” tekadnya.
Suram dan janggal
Menjelang akhir 2022, Iqbal (32) dan timnya bungah lantaran performa divisi logistik yang mereka tangani mencatat hasil bagus. Mereka yakin pencapaian itu membuahkan bonus kinerja. Saking yakinnya, sebagian anak buah Iqbal membuat rencana membetulkan rumah dan lain-lain.
Alih-alih dapat bonus, perusahaan rintisan e-dagang tempat mereka bekerja itu justru mengumumkan akan memangkas jumlah karyawan (PHK) secara bergelombang. Gelombang pertama dimulai Januari 2023. Pengumumannya pada Desember 2022 atau hanya berjarak sebulan. Iqbal, yang punya 11 anak buah itu, gundah. Sebab, dia harus mengajukan nama anak buahnya untuk dipangkas pada gelombang pertama dan kedua.
Baca juga: Cukup Kami, Kalian Jangan
”Enggak ada yang siaplah menerima keputusan seperti itu,” ujar Iqbal di Jakarta. ”Aku stres juga karena ini menyangkut nasib orang. Akhirnya aku pilih orang yang sudah dapat kerja di tempat lain untuk di-PHK duluan,” lanjutnya. Dia sendiri masuk gelombang kedua per 15 Februari—sehari setelah hari kasih sayang. Setelah itu, perusahaannya bubar.
Hari-hari ini, Iqbal dan beberapa karyawan tersisa masih kudu ngantor. Tak banyak pekerjaannya. Tapi mereka mesti hadir supaya uang cuti tidak dipotong. ”Masalahnya, sudah tidak ada kerjaan lagi kecuali bikin video atau banner perpisahan,” ujarnya getir.
Alhasil, setelah tiba di kantor pagi-pagi, Iqbal dan kawan-kawan langsung sarapan di rubanah, ngobrol, menonton Youtube, atau main gim. Siangnya, kalau ada kerjaan, dia ke ruang kerja dan bekerja setidaknya satu jam. Setelah itu, dia ke rubanah lagi untuk main gim dan ngobrol sampai waktu pulang tiba. Suasananya suram dan janggal.
Iqbal merasakan, pemangkasan karyawan membuat beberapa rekannya ”kena mental” meski mendapat pesangon dua kali gaji, bonus, dan uang cuti. Mereka merasa tersisih dan kehilangan harapan serta masa depan. ”Ketika ’kena mental’ orang menganggap kita lemah. Padahal, kita hanya butuh empati saja,” ujar Iqbal yang terus menjaga komunikasi menguatkan mental masing-masing.
Mereka tukar-menukar informasi lowongan kerja. Iqbal sendiri memperbarui CV di jaringan LinkedIn. Tak lama, ada perusahaan yang menghubunginya. Maret nanti dia sudah kerja di kantor baru. ”Meski begitu, saya tetap sedih meninggalkan kantor lama. Saat performa tim sedang bagus-bagusnya, malah ada kebijakan lay-off. Buat sebagian orang, ini traumatis,” tuturnya.
Adaptasi
Iksan (32), nama samaran, saat ini sedang beradaptasi, berusaha mencintai pekerjaan baru di kantor barunya. Dia terkena PHK per Juli 2022 dari usaha rintisan (start up) digital di bidang musik, kancah yang menjadi hasratnya sedari dulu. Di tempat baru, juga start up, Iksan tak lagi menggeluti musik, tetapi seluk-beluk produksi siniar (podcast) terkait komedi. Tak cuma itu, dia juga mengurusi administrasi seperti surat-menyurat dan kontrak.
”Ini sedang mode bertahan. Dapat kerjaan aja sudah bersyukur meski enggak sesuai passion (kesukaan) di musik, ya. Di sini (kantor baru) seperti kembali lagi dari nol, kaya first jobber. Belajar dari awal lagi,” kata Iksan yang setelah lulus kuliah telah tiga kali terkena PHK—satu karena perusahaan bertransformasi, satu karena gulung tikar, dan yang terakhir karena ”kebijakan perusahaan”.
Pengalaman PHK terakhirnya masih membekas. Perusahaan yang berinduk di China itu memangkas karyawan besar-besaran. Dari sekitar 80 pekerja di Jakarta, saat ini hanya tersisa tak lebih dari 10 orang. Iksan satu dari 80-an orang itu. Meski banyak ”teman senasib”, terkena PHK membuatnya limbung juga. Perusahaan mana lagi yang bisa menampung aktualisasi dirinya sebagai pencinta musik.
Baca juga: Layar Tancap Menyintasi Zaman
”Sedih, sih, karena enggak bisa kerja bareng musisi atau label rekaman. Benar seperti dunia dijungkirbalikkan. Baru sekarang ini aku kerja di luar bidang musik,” ucapnya yang menanggung hidup anak, istri, juga ayahnya. Uang pesangon dan tabungan daruratnya ia hitung bisa untuk bertahan hidup setahun. Namun, dia tetap harus mencari kerja. Tak ada waktu healing sejenak.
Setelah dipastikan terkena PHK, Iksan memperbarui CV dan mengirimkan 150-an lamaran. Beberapa teman juga dia hubungi untuk mencari kemungkinan. Sekitar tiga bulan menunggu, akhirnya dia berlabuh di kantor baru. Setelah memastikan diterima kerja, baru dia bisa mudik menengok ayahnya di Surabaya, ngaso sekejap dari hantaman PHK.
Indira (26) juga terkena PHK sekitar tiga bulan lalu dari perusahaan start up. Lebih dari 10 temannya mengalami hal yang sama. Ini membuatnya sedikit tenang karena punya teman berbagi keresahan. Uang pesangon dan bonus dia pakai untuk ikut berbagai pelatihan demi mengembangkan dirinya.
”Aku enggak punya tanggungan cicilan barang, jadi enggak ada utang,” kata Indira yang masih tinggal di rumah orangtuanya di Bekasi, Jabar.
Berproses bersama
Pakar psikologi ekonomi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, setuju bahwa PHK sangat berdampak pada kondisi kejiwaan. ”Kehilangan pekerjaan tak pernah menjadi hal yang ringan. Faktor keluarga atau tanggungan berupa cicilan menambah beban itu,” ujar Dekan Fakultas Psikologi ini.
Menurut Rahmat, ada lima hal yang perlu dilakukan ketika terkena PHK. Pertama adalah berusaha mengambil hikmah dari pemutusan hubungan kerja, bisa dengan menganggap kesempatan baru dalam pengembangan diri atau membebaskan diri dari rutinitas lama. Hal kedua adalah menetralisasi emosi, bisa dengan cara rehat singkat atau mengunjungi keluarga—yang biasanya adalah penyokong terdepan.
Ketika emosi mereda, lanjut Rahmat, perlu menghidupkan jaringan pertemanan. ”Ini bisa dilakukan bahkan ketika pesangon masih dirasa cukup, jangan sampai menunggu uang habis baru menghubungi teman,” lanjutnya. Hal keempat adalah menghitung kekuatan finansial untuk memperkirakan berapa lama bisa bertahan.
”Hal kelima adalah terbuka dengan orang terdekat, bisa dengan pasangan hidup, orangtua, atau teman terdekat. Dalam kondisi paling buruk, mereka selalu mendukung kita. Mereka adalah rasa aman kita. Mereka harus diajak berproses bersama,” kata Rahmat. Lima hal itu bisa membantu korban PHK bangkit lagi (rebound).
Sebaliknya, perusahaan harus terbuka kepada karyawan, menjelaskan situasi sebenarnya, dan menegaskan komitmen mereka. ”Karyawan harus tahu bahwa perusahaan tidak mencari selamat sendiri. Misalnya, kalau harus mengorbankan level atas, perusahaan bisa memulai dengan memotong insentif bonus, atau dilanjutkan dengan pemotongan gaji jika cash flow masih mepet,” kata Rahmat.
Jika sampai harus PHK, karyawan terkait sebaiknya diberi pemahaman bahwa hal itu terpaksa dilakukan semata-mata demi penyelamatan. ”Kalau suatu saat perusahaan membaik, jadikan mereka sebagai pilihan pertama untuk dipekerjakan kembali. Dengan menunjukkan komitmennya, karyawan akan tetap memiliki pandangan positif terhadap perusahaan, tidak merasa diabaikan atau dibuang,” ujar Rahmat.
Begitu pula dengan opsi pensiun dini. Ini benar-benar pilihan, bukan keharusan. ”Jangan gunakan opsi pensiun dini untuk karyawan yang masih ingin dan butuh bekerja,” katanya.
”Badai” mungkin akan berlalu, tapi kadang kala harus dijalani dulu.