Cukup Kami, Kalian Jangan!
Peristiwa penculikan mengguncang mental korban dengan begitu hebatnya. Setelah 17 tahun kemudian, Safira (21) bahkan belum bisa melupakan penculikan yang ia alami ketika masih balita.

Orangtua mengantar anaknya hingga ke gerbang sekolah di SD Negeri Joglo 05, Kembangan, Jakarta Barat, Selasa (31/1/2023). Tidak hanya mengantar dan menjemput, orangtua dan sekolah juga berupaya memberi pengertian kepada anak untuk tidak menerima pemberian dan bujuk rayu dari orang asing.
Trauma itu masih tersisa. Hingga saat ini, Safira Diah Ayu Puspitaningrum (21) masih sering merasa waswas jika berada di dekat orang asing yang sok kenal dan sok akrab.
Safira diculik saat berusia 4 tahun oleh seorang perempuan. Si penculik adalah kenalan baru ibunya, Isna Amperawati, di sebuah tempat pencucian mobil di Madiun. Perempuan itu segera akrab dengan Isna.
Sebelum menculik Safira, perempuan itu sempat bertamu ke rumah Isna pada 6 Juni 2006 siang. Saat itu, Isna sedang tidak ada di rumah. Si penculik memanfaatkan kesempatan. Ia pergi membawa Safira.
Setelah menyadari Safira diculik, orangtua dan keluarga panik. Mereka pun melaporkan penculikan itu kepada polisi. Singkat cerita, Safira ditemukan malam harinya di wilayah Kabupaten Magetan, Jawa Timur, bersama penculiknya.
Tubuh Safira lemas dan hanya diam karena tak mau makan dan minum selama sekitar 12 jam. Mentalnya terguncang. Kepada polisi, penculik mengaku akan menjual Safira kepada seseorang.
Waktu berlalu, Safira lupa dengan peristiwa itu. Ia baru diingatkan lagi lewat ayahnya saat ia duduk di bangku SMP dan dari kliping koran yang menulis kisah penculikan itu. ”Ternyata itu membuat memoriku kembali mengingat masa waktu diculik,” kata Safira.

Petugas satpam sekolah memastikan siswa dijemput oleh orangtua ataupun keluarga siswa saat pulang sekolah di SD Negeri Joglo 05, Kembangan, Jakarta Barat, Senin (30/1/2023). Maraknya kasus penculikan anak membuat pihak sekolah menerapkan kebijakan bagi siswa agar menunggu jemputan di halaman sekolah.
Sejak saat itu, dia sering deg-degan jika bertemu orang asing yang lebih tua. ”Tak peduli orang itu lelaki atau perempuan, sama saja, tetap membuatku waswas sebab membangkitkan memori saat aku diculik orang yang jauh lebih tua dari aku,” ucap Safira, Kamis (2/2/2023), dari Lamongan, Jawa Timur.
Ia juga tak ingin banyak berbicara. Ia lebih banyak menyendiri walau sebenarnya punya banyak teman.
Kedua orangtua Safira juga sering diteror rasa waswas meski Safira telah beranjak dewasa. ”Kami menjadi lebih protektif kepadanya. Ke mana-mana kami antar karena takut kasus penculikan atas dirinya terulang,” kata Djoko Muljono, ayah Safira.
Ia meminta istrinya tak lagi terlalu mudah berteman dengan siapa pun. Seluruh keluarga juga harus menggembok pintu pagar rumah, mengunci semua pintu rumah saat sedang berada di dalam rumah.
”Sekarang, saat dia kuliah di luar kota, kami tetap menyurvei tempat kosnya, kenalan dengan pemilik kos, dan hampir tiap hari menanyakan kondisinya,” ujarnya.
Ia bersyukur pertumbuhan mental Safira perlahan membaik berkat usahanya yang terus-menerus mengedukasi anak bungsunya itu.
Dampak penculikan berupa perubahan perilaku juga sempat dialami Malika Anastasya (6), warga Gunung Sahari, Jakarta Pusat, yang diculik pada 7 Desember 2022. Selama diculik, ia diajak penculiknya memulung. Ia ditemukan sekitar sebulan kemudian di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten. Peristiwa itu membuat bocah kecil itu mengalami gangguan psikis. Ia sulit tidur.
Pelajaran berharga
Tutik Lestari (40) merasa sangat bersyukur karena putri keduanya, Tiara N Hasanah (15), lolos dari penculikan pada 2019. Warga Kemanggisan, Jakarta Barat, itu menceritakan suatu hari sedang keluar bersama salah satu kenalan untuk berbelanja di Tanah Abang pada akhir pekan. Mereka kemudian memutuskan makan siang di Plaza Slipi Jaya, Jakarta Barat.

Siswa SD Negeri Joglo 01, Kembangan, Jakarta Barat, bermain lato-lato di taman saat menunggu dijemput orangtua mereka, Senin (30/1/2023).
Tak disangka, ia bertemu putrinya yang masih kelas 1 di SMPN 88, Jakarta Barat, bersama seorang perempuan dewasa asing. ”Dia tiba-tiba teriak, ’Mama! Ibu, itu ada mama aku’. Saya kaget ketemu dia di sana. Terus, ibu penculik itu tiba-tiba lari, tapi dia sempat kembali untuk mengambil uang Rp 4.000 yang dikasih ke anak saya,” kata Tutik, Selasa (31/1/2023).
"Untung saya tidak sengaja berpapasan dengan Tiara di mal saat sang penculik sedang menjalankan aksi. Kalau tidak, Tiara sudah dibawa,” tambah Tutik.
Tutik lantas menanyai anaknya. Menurut putrinya, dia telah izin ke sang ayah untuk makan piza di mal bersama seorang teman perempuan. Selesai makan dan main, mereka hendak masuk ke salah satu toko. Seorang perempuan menghampiri mereka. Dia mengaku guru bahasa Mandarin yang sedang kebingungan memilih hadiah untuk muridnya. Penculik itu kemudian mengajak Tiara dan temannya ke bioskop dan diminta melepaskan kerudung serta perhiasan yang mereka pakai.
Sejak kejadian itu, Tutik jadi rajin mengingatkan Tiara untuk berhati-hati. Apabila Tiara hendak izin main bersama teman-teman, Tutik selalu memastikan agar mereka pergi beramai-ramai atau setidaknya ada orang dewasa yang mendampingi.
”Dulu saya memang santai orangnya, tapi habis kejadian juga jadi ingetin terus. Saya ingatkan dia, kalau ada orang asing mengajak berbicara, seperlunya saja,” ucap Tutik.
Tiara sekarang duduk di kelas 1 di sebuah SMA negeri di Jakarta Barat. Beruntung, peristiwa percobaan penculikan terhadapnya tidak membuat ia trauma. ”Tapi sekarang aku lebih berhati-hati. Kalau ada orang asing yang ngajakngobrol, aku pura-pura sibuk aja,” kata gadis ini.
Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, isu penculikan anak belakangan juga bermunculan di media sosial. Jenny Adam (42), wiraswasta di Maulafa, bilang, belakangan viral berita seorang anak asal NTT yang berhasil lolos dari upaya penculikan. Mesti ia belum tahu pasti apakah isu itu benar atau sekadar hoaks, ia tetap waspada.
Seminggu belakangan ini Jenny terus mengingatkan anak satu-satunya, Adelvyne R Uly (12), untuk berhati-hati. Putrinya itu sekarang berada di bangku kelas 1 di sebuah SMP dekat rumahnya. Adelvyne biasanya pergi dan pulang sekolah berjalan kaki dari rumah ke sekolahnya bersama teman-teman. Jarak rumah ke sekolahnya sekitar 2 kilometer.

Guru memberikan pengarahan kepada para murid pada hari pertama sekolah tahun ajaran baru 2022/2023 di SDN 11 Pondok Bambu, Jakarta, Senin (11/7/2022).
Berbeda dengan Vidya Rahmasari (37) yang rutin mengedukasi kedua anaknya terkait keamanan diri. Ia mengakui tak mudah bagi anak-anaknya yang masih berusia 7 tahun dan 5 tahun untuk benar-benar patuh sehingga harus diingatkan berulang-ulang.
”Yang gede sebenarnya udah ngerti ya. Tapi kalau udah ketemu temannya, bisa tiba-tiba aja bablas main keluar dari batasan yang udah disepakati. Kalau adiknya, masih harus dijagain dan diawasin terus,” tutur Vidya.
Kesepakatan menjadi salah satu cara agar anak-anak mau mengikuti aturan yang diterapkan. Sesederhana batas lokasi bermain di luar rumah yang harus diikuti untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Cara lain yang dilakukan Vidya adalah lewat buku anak-anak. Menurut dia, anak-anak sulit memahami jika hanya berisi kalimat larangan atau kalimat yang menakut-nakuti. Sementara lewat buku, ada contoh nyata dari si tokoh yang bisa dibayangkan oleh anak.
Vidya juga rutin mengingatkan anak agar tidak mudah menerima pemberian apa pun dan tidak mudah kena iming-iming dari orang asing. ”Respons anak juga perlu diajarkan. Misal, harus berteriak, melawan, dan lari ke tempat yang aman untuk minta bantuan jika ada yang mengancam. Ini nyantol banget lewat buku,” papar Vidya.
Dalam memilih sekolah pun, sistem keamanan menjadi pertimbangannya dan suami. Belakangan, banyak sekolah yang menerapkan sistem identitas untuk penjemput. Hanya yang identitasnya terdaftar dan punya kartu penjemput yang boleh menjemput. Anak-anak juga tidak diizinkan keluar dari lingkungan sekolah.
Reno Abrari (35) juga gencar memberikan edukasi kepada anak mengingat maraknya penculikan. ”Tadinya, cuma sekali-kali aja. Nah, pas Nio umur 4 tahun pernah hilang di mal. Setelah dicari, ternyata ngumpet di balik baju-baju, dipikirnya petak umpet. Tapi dari situ, langsung rutin diingetin,” ungkap Reno.
Psikolog anak sekaligus Co-Founder Goodenoughparents.id Pritta Tyas menyampaikan pentingnya edukasi untuk anak mampu mempertahankan diri. Akan tetapi, penyampaiannya memang harus memperhatikan kondisi sosial emosional anak. Sebab, tiap anak punya karakter masing-masing sehingga pendekatannya pun berbeda agar pesan yang ingin disampaikan bisa diterima baik.
”Ada anak yang pencemas. Ada anak yang gampang adaptasi, jadinya sama siapa aja gampang nemplok. Nah, ini berbeda treatment-nya. Untuk si pencemas ini, sebaiknya hindari terlalu banyak memberikan kata dengan nada negatif. Misal, ’Mama takut kamu diculik’. Ini kata yang keras banget bagi dia,” jelas Pritta.
Akan tetapi, anak-anak yang pencemas ini umumnya justru lebih peka dengan perubahan kondisi sekitar sehingga tanpa disadari dia mampu mengantisipasi. Sementara bagi anak yang mudah dekat dengan orang baru, bisa digunakan kalimat yang lebih jelas dan memberikan gambaran kemungkinan yang terjadi serta langkah-langkah mempertahankan diri dan mencari tempat aman.
Usia anak juga perlu dipertimbangkan. Bagi yang sudah bisa merangkai kalimat, bisa diajarkan kalimat penolakan. Untuk anak di bawah 4 tahun, tindakan nyata lebih riil diajarkan karena anak akan meniru, termasuk mengenalkan sentuhan nyaman dan sentuhan tidak nyaman untuk mencegah pelecehan seksual terhadap anak.
”Ground rules juga penting, ya. Aturan dasar ini yang nanti harus diikuti oleh pengasuh ataupun kerabat yang ikut menjaga anak, termasuk menetapkan batasan area bermain yang dinilai aman dan disepakati dengan anak,” ujar Pritta.
Edukasi pun tidak hanya terhadap anak. Orangtua juga perlu meningkatkan pengetahuannya dan berhati-hati apabila mengunggah terkait anak di media sosial. Tanpa disadari, banyak informasi yang bisa diambil dari media sosial tentang anak dan membuka peluang terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.