Kisah Perantau, Ini Cara Madura!
Bagaimana warung kelontong madura dikelola dan bagaimana hubungan antara pemilik dan penjaga warung? Inilah kisah pengelolaan warung madura yang kini bertebaran di mana-mana.
Warung kelontong madura tumbuh di atas sikap saling percaya antara pemilik dan penjaga warung. Ketika pemilik memberi kepercayaan kepada seseorang untuk mengelola warungnya, semua tanggung jawab pengelolaan berpindah ke tangan penjaga. Tiga bulan kemudian, penjaga mesti mempertanggungjawabkan semuanya kepada pemilik. Dia bisa untung atau buntung.
Ari Wahyudi (30) dan istrinya, Ruj’atun, mengelola warung kelontong milik Abdul Hamied (43) seolah warung itu milik mereka berdua. Setiap hari mereka bergantian menjaga warung selama 24 jam penuh, 7 hari seminggu. ”Kalau malam, saya yang jaga. Siang giliran istri,” ujar perantau asal Sumenep, Madura, saat ditemui di warungnya di sebuah lingkungan ramai di Kelurahan Cinangka, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/11/2022) malam.
Sehari-hari mereka menjalankan usaha, membina keluarga, dan mengasuh anak di sana. Mereka tinggal di bagian belakang warung yang luasnya 40 meter persegi itu. Di sana ada kasur, dapur, dan pakaian-pakaian yang digantung. Boleh dikata, mereka nyaris tak pernah meninggalkan warung yang buka 24 jam penuh, 7 hari seminggu, itu. Kalaupun pergi, mereka harus bergantian. Jika Yudi berbelanja ke pasar, istrinya menunggu di warung dan sebaliknya. Dunia mereka seolah berkutat di sana.
Kehidupan serupa dijalani Bukhori (47) dan istrinya yang mengelola warung kelontong Berkah Bersama milik Fadlali di Jayamulya, Cikarang Barat, Jawa Barat. Ia telah mengelola warung itu hampir dua tahun. Warung itu buka 24 jam setiap hari sepanjang tahun. Hanya pada saat perayaan Idul Adha, Bukhori dan istri pulang kampung selama tiga bulan ke kampungnya di Sumenep. Selama itu, posisi mereka digantikan oleh penjaga pengganti. Mereka biasanya berasal dari kampung yang sama dengan pemilik warung sehingga bisa dipercaya.
Herman, penjaga warung madura di Jalan Tarumanegara, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, mengatakan, begitu menerima kepercayaan dari pemilik, semua tanggung jawab pengelolaan warung dipegang sepenuhnya penjaga. Mereka mesti berpikir bagaimana caranya agar modal berputar dan menghasilkan laba.
”Kalau sampai rugi, penjaga mesti ganti. Makanya, penjaga akan berusaha keras agar warung untung,” kata Herman, perantau asal Sumenep, yang sebelumnya pernah mengelola warung madura milik orang lain di Tangerang dan Bali.
Bagi hasil
Wahyudi (23), pemilik warung madura asal Pamekasan, Madura, menjelaskan, secara umum warung madura menerapkan sistem bagi hasil antara pemilik modal dan penjaga. Hanya sebagian saja yang menerapkan sistem gaji.
”Biasanya kalau omzet warung sudah di atas Rp 3 juta, kami pakai sistem bagi hasil. Kalau di bawah itu, penjaga biasanya minta sistem gaji,” ujar Wahyudi, mahasiswa Universitas Pamulang yang memiliki dua warung madura. Sebelumnya, ia sempat bekerja sebagai penjaga warung madura milik orang lain.
Sistem bagi hasil, lanjut Wahyudi, memberi keuntungan yang lebih besar dari sistem gaji, tetapi juga ada risiko besar yang mesti ditanggung penjaga. Dalam sistem bagi hasil, pemilik dan penjaga akan menghitung dulu nilai semua barang dagangan yang ada di warung.
”Katakanlah nilai seluruhnya Rp 100 juta. Setelah tiga bulan warung berjalan, nilai seluruh barang dihitung lagi. Jika ada lebih, kelebihannya dibagi dua atau sesuai perjanjian dengan pemilik. Namun, kalau nilai barang berkurang, si penjaga harus ganti rugi,” tutur Wahyudi.
Agar penjaga dan pemilik juga punya pemasukan bulanan, tambah Wahyudi, si penjaga mesti menabung setidaknya 10 persen dari omzet harian. Pada akhir bulan, tabungan itu dibuka dan dibagi tiga, yakni untuk cicilan sewa tempat, jatah penjaga, dan jatah pemilik. ”Kalau mau pendapatannya besar, ya, si penjaga harus kerja keras meningkatkan omzet,” ujar Wahyudi.
Bagaimana dengan pemilik? ”Begitu menyerahkan warungnya ke orang lain, si pemilik tidak bisa intervensi. Semua ditentukan penjaga, mulai strategi jualan, barang yang dijual, bahkan mengubah konsep warung. Saya ngambil rokok sebatang pun dari warung milik saya, saya mesti bayar karena penjaga menanggung kerugian. Saya sebagai pemilik baru bisa intervensi setelah tiga bulan saat modal awal dihitung lagi,” papar Wahyudi.
Sistem bagi hasil bisa jadi berbeda di setiap warung, bergantung perjanjian antara pemilik dan penjaga. Apa pun sistem yang dipakai, jika warungnya dikelola dengan benar, rezeki akan mengalir lancar. Ari Wahyudi yang mengelola warung madura milik Hamied mengaku bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp 4 juta per bulan.
”Jauh lebih besar daripada penghasilan membantu orangtua menggarap sawah yang rata-rata Rp 2 juta per bulan,” kata Yudi yang sepakat membagi laba dengan pemilik dengan persentase sama, yakni 50 persen. Penghasilan bulanan yang ia dapat sudah bersih karena makan, rokok, dan jajan anak diambil dari warung. Selain itu, ia tidak perlu sewa tempat untuk tinggal.
Baca Juga: Membangun Masjid dari Butiran Kacang Hijau
Bukhori yang menjalankan warung milik Fadlali juga menikmati penghasilan lumayan dari bagi hasil keuntungan tiap bulannya, yakni sekitar Rp 5 juta. Penghasilan dengan besaran yang sama diperoleh Fadlali karena mereka sepakat membagi keuntungan sama besar 50:50. Itu penghasilan bersih setelah dikurangi biaya sewa tempat. Untuk keperluan makan, Bukhori mengambil dari warung yang beromzet Rp 3 juta-Rp 6 juta per hari.
Jaga-jaga
Sistem bagi hasil, menurut Fadlali, disukai pemilik ataupun penjaga. Penjaga lebih bersemangat dan merasa memiliki warung yang ia kelola. Namun, pada waktu yang sama, mereka dituntut komitmen dan tanggung jawabnya. Sebab, kelangsungan warung dan nasib para penjaga ada di tangan mereka sendiri. Seandainya warung rugi akibat salah kelola atau dirampok, mereka mesti menanggungnya.
Risiko warung dimaling atau dirampok tentu ada, apalagi warung buka 24 jam. Itu sebabnya, para penjaga siaga 24 jam. Sebagian penjaga menaruh clurit untuk membela diri dari perampok.
Ketika menjaga warung madura di Bekasi setahun yang lalu, Yudi dibekali celurit oleh pemiliknya. ”Kalau tengah malam, celurit ditaruh di etalase,” katanya. Pemilik warung juga menyediakan cairan oplosan yang terdiri dari balsam dan air cabai. Jika ada perampok, Yudi bisa menyiramkan cairan itu untuk membela diri.
Setelah pindah ke warung yang baru, Yudi tidak perlu lagi menyimpan celurit atau cairan balsam dan cabai. Pasalnya, warung ini berada di lokasi yang aman dan warganya amat guyub. Yudi berprinsip, ia tidak akan menyiapkan senjata jika warung tidak diganggu.
Herman masih perlu menyimpan celurit untuk berjaga-jaga lantaran warungnya berlokasi di pertigaan yang relatif sepi. Pekan lalu, ia terpaksa mengangkat celuritnya lantaran ada dua pencuri yang menyatroni warungnya. ”Saya kejar, tetapi mereka keburu kabur pakai motor,” ceritanya.
Sebenarnya, kata Fadlali, celurit yang ditaruh di warung fungsinya untuk menambah kebanggaan dan keyakinan diri ketimbang untuk menakut-nakuti orang. ”Celurit itu, kan, identik dengan orang Madura. Ada kebanggaan di situ sehingga memberi semangat. Masak sebagai keturunan tokoh Sakerah dengan clurit kebanggaannya, kami enggak bisa berhasil dan survive. Filosofinya lebih ke situ. Perkara saat kepepet itu bisa dipakai untuk membela diri, ya, masalah lain ha-ha-ha,” ujar Fadlali.
Begitulah, di balik kesuksesan warung kelontong madura, ternyata ada sistem untuk yang menempatkan pemilik dan penjaga warung dalam posisi yang setara. Tidak ada pihak yang benar-benar menjadi bos dan jadi pekerja. Mereka relatif berdiri setara demi mencetak kesejahteraan bersama. Semua dilakukan berbasis kepercayaan.
Apakah ini selalu berhasil? Tidak juga. ”Ada juga, kok, pemilik warung yang rugi karena penjaga membawa kabur modal dan barang. Namun, sebagai pemilik warung dan perantau Madura, kami sudah siap dengan segala risiko,” kata Wahyudi.
Baca Juga: Balada Tukang Sayur di Belantara Kota