Warga Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, berduyun-duyun merantau ke berbagai kabupaten/kota lain untuk berdagang bubur kacang hijau. Tradisi yang dirintis sejak tahun 1947 itu membidik laba sekaligus menunjukkan kepedulian.
Oleh
DWI BAYU RADIUS DAN ABDULLAH FIKRI ASHRI
·6 menit baca
Berpuluh-puluh tahun, sebagian warga Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, merantau untuk berdagang bubur kacang hijau hingga hidangan itu lekat dengan kampung halamannya. Tak sekadar mendulang rupiah, mereka juga mengekspresikan kemanusiaan yang tinggi terhadap sesamanya, termasuk membangun masjid dari hasil penjulan bubur kacang hijau.
Sepasang buruh bangunan masih merenovasi Masjid Jami Nuurul Taufiiq, Rabu (27/10/2021), sekitar pukul 16.00. Mereka melapisi tembok di lantai dua dan tiga rumah ibadah itu dengan semen sementara rekannya memotong kayu. Tak lama kemudian, para pekerja turun dan bersiap pulang.
Teras masjid di lantai dasar tampak sudah rapi dengan lantai keramik, wastafel, pintu kaca, dan kusen kayu yang mentereng. Demikian pula dinding bercat warna abu-abu dan marmer cokelatnya yang mengilap. Beberapa jemaah shalat dengan khusyuk di ruang yang nyaman.
Di seberang masjid, kantor Desa Balong, Kecamatan Sindangagung, Kabupaten Kuningan, yang bertingkat tak kalah megah. Kepala Desa Balong Ruswa bersama Sekretaris Desa Balong Saepudin baru kembali seusai meninjau lapangan dengan sepeda motor.
Sembari duduk dan melepas lelah, Ruswa menuturkan keidentikan desanya dengan dengan bubur kacang hijau yang kerap disingkat burjo. Hampir 60 persen dari sekitar 900 keluarga atau 3.000 warga Balong menggantungkan hidupnya dari sajian itu.
”Dampak ekonomi sudah jelas. Masyarakat bergotong-royong membangun masjid berkat kontribusi dari perdagangan burjo,” kata Ruswa. Prinsipnya, semangkuk bubur burjo untuk renovasi masjid. Filantropi lokal itu diamalkan dengan menyumbangkan hasil penjualan bubur kacang hijau per mangkuk setiap hari.
Umpamanya, pengusaha punya tiga warung. Maka, ia menyumbang hasil penjualan tiga mangkuk per hari. Kolektivitas itu sudah disepakati masyarakat Balong. ”Ini kearifan lokal, bukan pungli, ya,” kata Saepudin yang pernah dua tahun berdagang bubur.
Bendahara Panitia Pembangunan Masjid Jami Nuurul Taufiiq Umar Rahmatullah mengungkapkan, pembenahan yang berjalan sejak 2018 itu. ”Estimasi butuh Rp 5 miliar-Rp 6 miliar. Sekarang sudah terpenuhi sekitar 50 persen. Tak ada paksaan. Biar hasilnya Rp 5.000 per mangkuk sehari yang penting ikhlas,” katanya.
Sumbangan berasal dari tiga kampung. Umar tak bisa memastikan dana yang diberikan penjual bubur kacang hijau setiap bulan. ”Bervariasi tapi rata-rata dari Kampung Kaliwon saja sekitar Rp 11 juta yang diserahkan setiap dua bulan,” katanya.
Kontribusi sedemikian besar jelas merefleksikan kesejahteraan warganya. Rumah dengan cat mentereng berderet di Balong. Beberapa di antaranya bahkan bertingkat, mirip rumah pengusaha di kota besar. Balong merupakan cikal bakal pedagang bubur kacang ijo atau burjo di Kuningan.
Tahun 1947
Sejarah itu tercantum dalam Mengawetkan Pengalaman: Dinamika Warung Bubur Kacang Hijau Kuningan dalam Tulisan karya Sukiman dkk tahun 2006 yang diterbitkan Paguyuban Pedagang Bubur Kacang Hijau Kuningan bekerja sama dengan PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gadjah Mada. Pembuat dan pedagang burjo perdana adalah Lurah Salim Sanca Santana pada tahun 1947.
Awalnya, ia menjajakan bubur dengan dipikul di kampung hingga pusat Kabupaten Kuningan. Mulanya, bubur berbahan kacang hijau, gula merah, santan kelapa, daun pandan dan garam. Belakangan, muncul bubur ayam dan mi instan.
Saepudin mengatakan, usaha burjo bertahan karena terbukti mengubah nasib warga. ”Rumah-rumah di sini dibangun ada yang harga Rp 500-an juta hingga Rp 1 miliar. Itu pedagang bubur semua,” katanya. Para pedagang burjo turut membangun jalan kampung.
Uluran tangan juga disodorkan Ucin Muhsin (54), warga Kelurahan Windusengkahan, Kecamatan Kuningan, Kuningan dan salah satu pendiri Kayungyun. Jejaring warung bubur kacang hijau di Malang, Jawa Timur, tersebut sudah tersebar di 33 lokasi.
”Dibangun bersama teman yang sudah saya anggap saudara. Sekarang, saya melebarkan sayap di kampung sendiri. Saya sudah buka kafe Ki Tamzid,” kata Muhsin di rumahnya yang asri. Di sela bangunan berlatar Gunung Ciremai itu, beberapa burung gereja berkicau dengan merdu.
Muhsin yang telah menggeluti bubur kacang hijau sejak tahun 1993 kini mengenyam jerih payahnya. Rumah berdinding oranye seluas 160 meter persegi itu diisi televisi, kulkas, kompor, hingga mesin cuci. Di garasi juga terlihat mobil dan sepeda motor.
”Minta dukungan dan doa restu, saya sedang bikin semacam pusat pendidikan agama untuk anak yatim piatu. Sekarang saja, 50 anak sudah saya fasilitas untuk mengaji,” katanya. Anak-anak itu mendalami agama seusai shalat subuh dan isya setiap hari.
”Nanti, mereka yang dididik, saya bawa juga ke Ki Tamzid. Biar keluar dari kondisinya sekarang. Punya akhlak sekaligus kemampuan,” katanya. Kafe di Jalan Soekarno, Kuningan yang berinterior etnik dengan bangunan kayu dan bambu itu juga menyediakan bubur kacang hijau, dilengkapi 40 macam kopi.
Modernisasi warung
”Saya memodernisasi warung burjo. Warung-warung di Malang juga saya ubah konsepnya,” ujar Muhsin sambil menunjukkan foto-foto Kayungyun lewat ponselnya. Bukan sekadar warung sempit dan kumuh dengan pembeli duduk berimpitan, Kayungyun sudah bisa dianggap kedai lega, minimal seluas 120 meter persegi dan kapasitas 24 pengunjung.
”Saya punya 15 koordinator. Ada koordinator punya tiga anak, masing-masing dibelikan rumah dan mobil. Karyawan-karyawan juga saya perhatikan,” katanya. Ia, misalnya menyediakan simpan pinjam untuk pekerjanya. Muhsin pun kerap menunjukkan kepeduliannya terhadap warga desa lain.
Ia memberdayakan warga Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindangagung, Kuningan, dengan menyumbang material untuk perbaikan jalan pada awal tahun 2021. ”Kalau dikasih uang, rawan dan bisa muncul gila hormat. Ada juga dana untuk bantu-bantu keluarga yang sanak saudaranya meninggal,” katanya.
Tenggang rasa pun diungkapkan Andi Waruga (43) yang berdagang bubur kacang hijau. Ketua Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) Yogyakarta itu bersama rekan-rekannya membantu korban erupsi Gunung Merapi pada tahun 2020. ”Jumlah pastinya saya lupa, tetapi berkisar Rp 12 juta-Rp 15 juta. Kami tak hanya mencari uang, tetapi harus peduli terhadap sesama juga,” katanya.
Warga Desa Kaduagung, Kecamatan Sindangagung, Kuningan, itu juga kerap menunjukkan afeksinya, antara lain, dengan menyedekahi anak yatim, membantu warga yang sakit, dan memenuhi kebutuhan jenazah. ”Saya kebetulan pengurus RW jadi punya gerakan Jumat bersedekah. Keliling cari dana,” kata Andi.
Begitu menerima kabar warga yang meninggal, Andi langsung bergerak. Sekitar 25 anak yatim juga mendapatkan santunan pada Agustus lalu dalam rangka Tahun Baru Islam. ”Kalau jumlah penerima bantuan setiap bulan, enggak tentu karena musibah tak bisa dipastikan,” katanya.
Di Yogyakarta, usaha penjualan bubur kacang hijau yang dijalankan warga Kuningan tersebar hampir di 1.000 lokasi. Mereka umumnya sekaligus menjual mi instan dan kopi. Warga yang sukses bisa mendirikan rumah bertingkat dan membeli pendingin udara, sepeda motor, hingga mobil.
Mereka juga mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Andi pun kini mengelola penjualan air isi ulang, sembilan kios, dan indekos tiga kamar. ”Bisa meningkatkan taraf hidup. Meski kecil, kami juga menyediakan lapangan kerja,” katanya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kuningan Dikdik Harjadi memandang positif migrasi warga Kuningan ke kabupaten/kota lain untuk berdagang bubur kacang hijau. “Saat normal, keuntungan setiap warung bisa mencapai Rp 7 juta per bulan. Pandemi lantas memicu anjloknya profit,” katanya.
Penurunan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) seiring meredanya kasus Covid-19 menerbitkan asa pedagang makanan itu. ”Diharapkan, multiplier effect (efek pengganda) kembali pulih. Kiriman uang ke Kuningan juga bisa memeratakan peredaran uang,” katanya.
Lebih dari sekadar menangguk laba, jejaring mereka juga membuktikan keguyuban dengan saling mengulurkan tangan kepada perantau di kota yang sama, hingga kampungnya sendiri. ”Ada yang bangun masjid, memperbaiki jalan, dan menyantuni yatim piatu. Ibarat persaudaraan dalam semangkuk burjo,” ucapnya.