Balada Tukang Sayur di Belantara Kota
Di tengah pandemi, tukang sayur berakrobat agar dapur pelanggannya tetap mengepul hingga mengancam periuk nasinya sendiri.
Bertahun-tahun tukang sayur keliling menjadi bagian dari sistem pendukung kehidupan masyarakat urban. Merekalah yang sehari-hari memasok sayur dan lauk pauknya untuk keluarga-keluarga urban di Jakarta dan sekitarnya. Di tengah pandemi, mereka berakrobat untuk menyelamatkan periuk nasi sendiri, sekaligus menjaga agar asap dapur keluarga-keluarga urban tetap mengepul.
Rabu (4/8/2021) pagi, Utoyo (46) tampak termangu di balik gerobaknya yang penuh berisi sayur, aneka bumbu dan lauk-pauk ‘basah’. Sudah dua jam mangkal, tapi hanya dua pembeli yang menyambangi gerobak sayurnya. Sejak pandemi, gerobak sayurnya memang tak lagi jadi primadona.
Sudah 10 tahun ini Utoyo menjadi sahabat para ibu di kawasan Anggrek Rosliana, Slipi, Jakarta Barat. Sayuran segar, daging, ayam, udang, hingga cumi selalu tertata rapi di gerobaknya yang setia mangkal di depan Jalan Melati Putih.
Sejak pukul 06.00 WIB, biasanya Utoyo sudah sibuk dengan ‘serbuan’ ibu-ibu atau asisten rumah tangga. “Sekarang ada yang ke sini udah syukur. Ini udah mau jam delapan, baru dua orang yang beli,” ujarnya.
Hasil dagangannya jelas turun. Biasanya sehari habis segerobak, sekarang tiga hari baru ludes. “Jadi barangnya nggak selengkap dulu. Dikira-kira aja yang kuat sampai tiga hari. Nek enggak mumet juga aku,” cerocos Utoyo.
Sayuran seperti wortel, kentang, dan labu siam, yang mampu bertahan beberapa hari dibelinya dalam kuantitas normal. Tapi sayuran hijau, dibeli lebih sedikit atau menyesuaikan pesanan yang masuk ke gawainya.
Betul, untuk menjangkau pelanggan, Utoyo kini menjajal layanan pesan sayur dan lauk-pauknya melalui whatsapp (WA). “Jadi biasanya di sini cuma sampai jam sembilan. Abis itu keliling Kompleks TVRI. Di situ, akhirnya ada langganan yang minta belanjaannya dianter, pesan kebutuhannya pakai WA. Tak pikir-pikir yo lumayan juga kayak gitu,” ungkapnya.
Dari grup kompleks perumahan, kabar layanan baru Utoyo lalu tersiar luas. Pesanan lewat WA dari pelanggan yang sempat hilang pun muncul lagi. Utoyo bungah, meski kesibukannya menyiapkan pesanan, membuatnya harus menyesuaikan jadwal mangkal. “Aku jadi enggak tiap hari mangkal lagi. Kadang satu hari, aku milih anter pesanan aja sambil keliling. Dapetnya lumayan, daripada cuma nunggu gini,” tutur Utoyo.
Dia kini fasih menerima pembayaran daring, diajari pelanggannya. “Tadinya yo aku nganter terus bayar langsung. Tapi banyak yang penginnya ditaruh aja di pagernya. Khawatir kena (covid). Ya wis aku melu,” ujarnya.
Tadinya yo aku nganter terus bayar langsung. Tapi banyak yang penginnya ditaruh aja di pagernya. Khawatir kena (covid). Ya wis aku melu
Layanan Utoyo itu diikuti oleh Kastubi (41), warga Kuningan, Jawa Barat, yang berjualan sayur di samping gerobak Utoyo dan keliling ke Kompleks Kijang dan ke Bumi Kemanggisan. Sekarang, untuk mengantar pesanan, Kastubi harus meminta bantuan satpam kompleks dan asisten rumah tangga yang belanja padanya. Pasalnya, sejak pembatasan sosial, banyak jalan ditutup. Kastubi bersyukur, meski harus lebih berusaha, setidaknya ia masih bisa mendapat pemasukan.
Irwanto (40), selama 23 tahun, memasok sayur mayur dan bahan makanan lain di perkampungan dan komplek perumahan di Ciputat Timur, Tangsel. Pandemi, ujarnya, membuat kebiasaan berbelanja sebagian pelanggan lamanya, terutama yang tinggal di kompleks perumahan, berubah.
“Sekarang banyak yang pesan lewat WA. Sehari ada 10 sampai 20-an. Sebelum pandemi ada juga yang pesan lewat WA, tapi nggak banyak,” katanya.
Perubahan ini membuat Irwanto lebih sibuk. Biasanya, selepas subuh ia mangkal dulu di emperan jalan dekat kontrakannya. Pukul 09.00 atau 10.00, baru ia berjualan dengan gerobak dorongnya ke kompleks-kompleks.
Di sela kesibukan melayani konsumen, Ia mesti mengatur waktu pengiriman pesanan via WA. Begitu pembeli di pangkalan sepi, ia segera mengambil sepeda motor, mengirim pesanan ke rumah konsumen. Ia gantungkan pesanan tersebut di pagar-pagar rumah konsumen. Setelah itu ia bergegas kembali ke pangkalan.
“Nanti siang pas saya dagang keliling komplek pakai gerobak, saya tinggal ambil uangnya. Biasanya uang digantung di pagar atau ditaruh di bawah pot. Ibu-ibu akan kasih tau saya di mana uang belanjaan ditaruh,” tuturnya.
Dengan cara itu, Irwanto dan pelanggannya tak perlu bertemu.“Usaha saya juga bisa jalan meski tak seramai sebelum pandemi,” tambahnya.
Irwanto tetap lebih senang jika ibu-ibu dan ART pelanggannya belanja langsung karena biasanya jadi lebih banyak. “Ibu-ibu kan biasanya lihat-lihat. Mungkin tadinya cuma mau beli tempe, begitu lihat sayur, segar, beli juga. Kalau belanja lewat WA, nggak ada tambahannya. Yang dipesan thok,” katanya.
Meski begitu ia tetap bersyukur karena masih bisa bersaing dengan warung sayur mayur, supermarket, dan pedagang sayur ‘modern’ yang berjualan secara daring.
Nanti siang pas saya dagang keliling komplek pakai gerobak, saya tinggal ambil uangnya. Biasanya uang digantung di pagar atau ditaruh di bawah pot. Ibu-ibu akan kasih tau saya di mana uang belanjaan ditaruh
“Untungnya saya sudah kenal lama dengan ibu-ibu atau ART dan saling percaya. Kalau barangnya bagus, saya bilang bagus. Kalau jelek saya bilang jelek. Kami juga sering ngobrol dengan pelanggan. Kadang saya dikasih nasihat soal rumah tangga,” ujar Irwanto.
Selain Irwanto, Utoyo dan Kastubi, melayani pesanan sayur melalui WA kini juga dilakoni oleh Carkuat yang mangkal di Perumahan Cendana Pamulang, Tangsel, Slamet Widodo di Pondok Karya, Tangsel, Asep Kurniawan di Tebet Timur dan Parto di Tanah Baru Depok.
Tumpuan Hidup
Keberadaan tukang sayur sebagai sistem pendukung masyarakat urban, tak hanya terjadi di kala pandemi. Kehadiran tukang sayur telah tercatat sejak tahun 1970-an. Seniman Betawi Benyamin Sueb dan Bing Slamet, di tahun 1973, sudah merekam lagu “Tukang Sayur”. Liriknya antara lain menyebutkan tukang sayur besar jasanye.
Bagi warga seperti Marleliana (44), tukang sayur keliling ibarat tumpuan hidup. Kehadirannya sangat vital dalam menyokong kelangsungan hidup warga dan keluarganya yang tinggal di kawasan Tanah Baru, Depok, Jawa Barat ini.
Sejak 2008, Leli tak pernah absen berbelanja pada tukang sayur keliling langganannya, Mikum. Hanya saat Mikum pulang kampung saja Leli belanja ke warung. Di masa pandemi, Leli tak cemas karena tetap bisa memesan sayuran melalui WA.
Semula, Mikum, tukang sayur langganannya itu, keliling menggunakan motornya ke kompleks Leli di Depok, Jawa Barat. Sejak pandemi, yang membuat aktivitas keliling mereka terhalang, Mikum menemani istrinya yang membuka lapak sayur, namun tetap melayani pesanan melalui WA.
Biasanya menjelang tidur saya kirim WA pesananan. Besoknya, dia akan antar lalu dibayar aja. Kalau saya nggak sabar biasanya saya ambil sendiri juga
“Biasanya menjelang tidur saya kirim WA pesananan. Besoknya, dia akan antar lalu dibayar aja. Kalau saya nggak sabar biasanya saya ambil sendiri juga,” ujar Leli.
Dia merasa nyaman karena sudah kenal dekat dengan Mikum. Barang pesanannya selalu terjamin kualitasnya. “Kalau yang nggak kenal bisa tuh kayak daging dicampur. Kalau dia jujur, barang baru bilang, barang kemarin juga bilang. Trus bisa rikues juga misal kayak udang dikupas,” kata Leli.
Dia mengaku tak tertarik belanja daring melalui marketplace. “Ya kenapa harus jauh-jauh kalau yang deket ada. Orangnya juga udah kenal. Mungkin juga karena aku ini kategori ibu Rumah Tangga yang gaptek, jadi aku cocok sama yang kelilingan gini,” ujarnya tekekeh.
Lusinem (50), Asisten rumah tangga di Perumahan Griya Satwika Telkom, Ciputat Timur, Tangsel, kini juga memilih belanja via WA ke tukang sayur keliling. Kamis (5/8/2021) pagi, ia memesan dua buah tomat dan segenggam daun bawang seharga Rp 6.000. “Pesan apa aja ke tukang sayur sekarang pakai WA. Ibu-ibu atau ART yang lain juga gitu. Covid gini, lebih aman belanja lewat WA,” kata Lusinem.
Untuk belanja daging, ikan, atau ayam, Lusinem mengirim WA sore hari. Barang akan diantar ke rumah pukul 08.00 atau 09.00. “Kalau cuma pesan cabai sebungkus, tinggal telepon. Sebentar aja dikirim,” katanya.
Pandemi, membuat Clara Widowati (30) juga memutuskan berbelanja sayur via WA ke tukang sayur keliling di perumahan Cendana Pamulang, Tangsel. Sebelumnya, Ia belanja langsung ke tukang sayur keliling atau ke pasar kecil di sekitar kompleksnya. Tapi ia khawatir terpapar Covid.
Dari info ibu-ibu kompleks, ia lalu ikut memesan sayur lewat WA ke tukang sayur keliling yang lalu akan mengantar pesanan ke rumahnya. Pesanan biasanya ditaruh di pagar rumah, pembayaran dilakukan dengan transfer atau dibayar cash.
Meski memudahkan, Clara beberapa kali kecewa karena sayur pesanannya layu atau salah. “Besoknya saya bilang ke abang sayur. Tapi daripada saya harus belanja keluar rumah, sudahlah pakai cara ini saja,” tuturnya setengah pasrah.
Pembeli Luar Kota
Relasi yang dekat dan saling percaya, membuat tukang sayur keliling menerima order via WA bahkan dari pembeli di luar kota. Salah satunya dialami oleh Arifin (32), tukang sayur yang mangkal di sekitar Emerald Distric Tangsel, terutama di kluster Emerald Town House dan Emerald Garden.
Sejak PPKM diberlakukan, Ipin terpaksa berjualan dari rumah. Setiap hari Ia bertransaksi memalui WA dengan sekitar 75 pelanggannya. Sistem “baru” ini dianggap lebih aman serta menjangkau daerah yang jauh. Beberapa pelanggan bahkan ada yang berbelanja dari luar kota, lalu diantarkan pada keluarga di sekitar Tangsel.
“Ada pelanggan dari Medan belanja untuk orangtuanya di Emerald Garden. Dia kirim daftar belanjaan lewat WA, lalu ada kurir yang mengantar ke alamat,” kata Ipin. Ada juga pelanggan yang terjebak PPKM, berbelanja dari Bali untuk anak-anaknya di Bintaro. Mereka membayar dengan cara transfer.
Bagi Ipin, sistem belanja WA ini, gampang-gampang susah. Ia harus menatap layar handphone-nya dengan teliti agar tak ada pesanan terlewat. Pesanan pelanggan, kadang bisa mencapai 100 barang. “Kalau ada yang ketelisut ibu-ibu suka protes,” katanya.
Pembayaran dengan transfer, ada yang dua hari sekali dan ada yang seminggu sekali, juga berakibat pada cash-flow usahanya. Pasalnya, Ipin harus kulakan setiap hari, kadang dia kesulitan cash.
Setiap kulakan di Pasar Kebayoran Lama, Ia setidaknya harus punya cash antara Rp 4.000.000-Rp 5.000.000. “Kulakan enggak boleh ngebon seperti pelanggan di perumahan, harus bayar saat belanja itu,” ujar Ipin.
Ia harus pintar-pintar menyisihkan uang agar modalnya tak habis. Apalagi, salah seorang pelanggan yang tinggal di Emerald Garden belum membayar belanja sayurnya sejak tiga bulan terakhir. “Jumlahnya Rp 19.000.000! Saya bisa bangkrut,” tegas Ipin.
Sialnya, pelanggan itu tiba-tiba pindah rumah. “Bisa mati saya. Walau masih bisa dihubungi lewat WA, tapi selalu bilang nanti-nanti kalau sudah ada uangnya,” tutur Ipin.
Ketika Ipin bertanya sana-sini, pelanggan yang sama rupanya juga mengutang Rp 8.000.000 kepada tukang jamu. “Itu mbak-mbak jamunya bilang, rumah yang sama mengutang sampai Rp 8 juta. Kan kasihan… Ini uang saya juga enggak tahu dibalikin atau enggak,” kata Ipin.
Di tengah pandemi, tukang sayur berakrobat agar dapur pelanggannya tetap mengepul hingga mengancam periuk nasinya sendiri. (IAN/TRI/NAW/CAN/BSW)