Puisi Cinta yang Tak Berbalas
“Kita mendapatkan kiriman dari 600 orang penyair dengan jumlah ribuan puisi,” kata Datok Rida. Begitu juga dengan perhelatan di Tegal dan Padang Panjang, ratusan penyair berbondong-bondong mengirim puisi.
Ada atau tidak ada pendemi perhelatan sastra terus menggeliat. Para penghayatnya seolah memiliki kewajiban moral untuk terus menggemakan kata-kata, di tengah berbagai persoalan hidup yang kian mengimpit. Apa yang ada dijanjikan puisi kepadamu?
Datok Rida K Liamsi sudah berusia 79 tahun. Cukup sepuh untuk seorang aktivis kebudayaan. Namun begitu, perhelatan besar seperti Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang telah digelar sejak 2018 mungkin akan kehilangan angin tanpa kehadirannya. Sejak awal, Rida merancang konsep acara, mengumumkannya ke publik, dan setiap hari berkomunikasi dengan ratusan penyair dari berbagai pelosok Nusantara. Bahkan, ia juga menjangkau sampai Singapura, Malaysia dan Brunei.
Budayawan dan pengusaha yang membawahi lebih dari 20 koran, televisi, dan portal berita ini, sering kali mengeluarkan uang dari saku pribadinya. Saat perhelatan tahun 2019, misalnya, secara spontan ia membelikan tiket pesawat untuk Budi Yanto, penyair muda asal Madura, yang terkatung-katung di Pekanbaru, Riau.
“Dia tiba-tiba telepon dan mengaku sudah sampai Pekanbaru, padahal acara di Tanjung Pinang dan itu masih jauh. Dia bingung juga karena tak banyak uang di sakunya, hahaha…” tutur Rida, di sela-sela diskusi para sastrawan, Minggu (25/9/2022) di Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah), Dompak, Kepri.
Baca juga: Ekosistem sastra semestinya bisa lebih sehat
Tentu saja itu hanya satu soal dan khusus untuk perhelatan FSIGB. Rida juga memiliki Yayasan Jembia Emas, Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Yayasan Sagang. Ketiga yayasan ini bergerak untuk memajukan kebudayaan, terutama kebudayaan Melayu. Setiap tahun Yayasan Jembia Emas memberikan penghargaan Jembia Emas kepada budayawan Melayu. Tahun ini penghargaan itu diberikan kepada Datok Wira Teja Alhabd, yang dinilai telah jatuh bangun menghidupkan kebudayaan Melayu.
Selain menulis puisi, Datok Wira Teja sendiri seorang pengusaha di Kepri yang mendirikan kedai Kopi Sekanak. Kedai ini menyajikan kopi dengan cita rasa Melayu, yang kaya akan rempah-rempah. Kata Datok Teja, kedainya menyediakan tiga jenis racikan rempah. “Ini kopi para raja,” katanya. Dengan suka cita, budayawan Melayu ini menyambut puluhan penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, yang menghadiri acara welcome dinner , Sabtu (24/9/2022).
Tak disangka kedai kopi di tepi jalan yang riuh oleh kendaraan itu, dikunjungi oleh Gubernur Kepri Ansar Ahmad. Ansar merasa perlu menyambut langsung kehadiran para penyair yang telah bersusah-payah datang ke Tanjung Pinang, untuk menghadiri acara sastra. “Di sini memang rumah kata-kata, setiap hari kita berpantun,” kata Ansar sambil mendendangkan sebuah pantun.
Merawat moral
Meski berjalan dengan tertatih-tatih Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri (81), tetap berusaha mencapai ujung Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Mobil golf yang disediakan PT Angkasa Pura, yang kebetulan menuju arah berlawanan dan menolak untuk berbalik arah. “Ah sudah. Saya masih kuat berjalan…” kata Sutardji.
Benar saja, kami akhirnya tiba di Gate 25 sebelum ujung Terminal 3. Napas penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu ini, terengah-engah sebelum akhirnya duduk di ruang tunggu. “Kalau aku tak cinta puisi, mana mungkin menyusur begini,” kata Sutardji. “Terkadang pura-pura kuat saja…hahaha…” tambahnya.
Saat berbicara di hadapan para peneliti sastra dan penyair di kampus Umrah, Sutardji mengatakan sebagian besar elit, baik pejabat birokrasi maupun politisi, tak peduli terhadap puisi. Mereka, kata Sutardji, hanya melihat teks Sumpah Pemuda secara politis belaka. “Padahal itulah puisi terbaik yang pernah ditulis bangsa ini. Waktu itu belum ada negara Indonesia!” katanya.
Puisi, tambah Sutardji, tak hanya berupa deretan kata-kata mati. Para penyair menemukan kata dan kemudian memberinya konteks makna baru, sehingga selalu relevan dengan perubahan zaman. Jadi, jika banyak penyair jatuh cinta pada puisi bukan berarti mereka telah mereguk kenikmatan duniawi. Puisi justru dibutuhkan untuk merawat moralitas manusia, di luar yang dikerjakan agama.
“Jadi cinta kita tak perlu berbalas kalau cinta puisi. Puisi bahkan selalu memberi….” katanya.
Baca juga:
Gerakan sastra bawa angin segar
Perkataan serupa juga diungkapkan Hamid Ismail (76), penyair asal Singapura, yang setiap tahun hadir di Tanjung Pinang. Ia merasa keterhubungan Indonesia dan Singapura ditunjukkan oleh Tanjung Pinang, di mana bahasa Melayu bercikal-bakal. Keserumpunan bangsa dan bahasa itu, kata Hamid, yang selalu memanggilnya saban tahun untuk datang ke Tanjung Pinang.
Profesi sehari-hari Hamid di Singapura sebagai seorang penulis naskah sinetron televisi memberi kesadaran, bahwa generasi muda Melayu di Singapura, semakin jauh dari akar bahasanya. “Sayang sekali, sekarang semuanya pakai bahasa asing. Nah, di Tanjung Pinang, saya menemukan kemelayuan itu lagi…” katanya.
Di Singapura, Hamid termasuk salah satu penulis naskah kawakan dan populer di negerinya. Banyak karyanya yang menempati peringkat tertinggi di beberapa saluran televisi di Singapura. Selain itu, Hamid juga salah seorang yang sering diminta mengisi pelatihan menulis naskah sinetron berbahasa Melayu di Singapura.
Pengalaman yang mirip juga dirasakan penulis asal Malaysia Mohd Khairy Halimy (56). Ia datang ke Tanjung Pinang bersama serombongan penulis asal Johor, Malaysia. Jika datang ke Indonesia, katanya, ia seperti mendapatkan kebebasan yang begitu dirindukan oleh para penulis Malaysia. “Di Malaysia mana mungkin kita kritik pemerintah, pasti ditangkap,” katanya. Meski baru pertama kali menghadiri perhelatan sastra di Indonesia, Mohd Khairy, paham bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. “Itu yang menantang saya untuk pergi,” katanya.
Apa yang membuat kita takluk pada puisi? Datok Rida hanya menjawab singkat,”Saya cinta puisi. Itu saja,” katanya. Pekerjaannya sebagai penggagas sekaligus pelaksana FSIGB sungguh tak main-main. Sejak dihelat pertama kali, FSIGB setidaknya telah menerbitkan 15 seri kumpulan puisi dari ratusan penyair di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei. Selain itu, sejak tiga tahun terakhir, di ajang ini juga diluncurkan ratusan buku puisi dari para penyair. “Tahun ini kita luncurkan 96 buku puisi dari para penyair. Kita sebut tajuknya Pelucuran 100 Buku Puisi,” ujar Datok Rida.
Penyair dan pengembara sastra Bambang Widiatmoko, mengatakan setiap tahun ratusan buku puisi lahir dari para penyair di Indonesia. Sebagai sastrawan yang menghadiri hampir semua perhelatan sastra di Tanah Air, Bambang melihat kreativitas perpuisian itu sebagai modal berkebudayaan yang menginspirasi peradaban.
“Sangat mungkin bahwa puisi menjadi inspirasi bagi peradaban untuk merawat moralitas bangsa ini. Mungkin itu janji puisi, tapi tak perlu menagih…” katanya. Puisi mungkin sekali memberi janji, tambahnya, tetapi para penyair tak perlu seperti menagih utang. Pada saatnya, secara perlahan puisi akan mewujud dalam setap napas kehidupan.
Selain FSIGB, kata Bambang, perhelatan puisi terdekat akan digelar di Tegal dan Padang Panjang. Komunitas Negeri Poci Tegal, Jawa Tengah, akan menghelat agenda sastra dengan antologi puisi Raja Kelana: Dari Negeri Poci 12 , 27-29 Oktober 2022 di Tegal. Pada saat ulang tahun Kota Padang Panjang, akan dihelat Temu Penyair Asia Tenggara II, 28 November–1 Desember 2022.
Ketiga agenda sastra ini, menurut Bambang, menerapkan pola open call kepada seluruh penyair di Indonesia dan beberapa negara tetangga. Sistem ini, tampaknya membangkitkan gairah para penyair di Indonesia untuk menulis dan terus menulis.
“Kita mendapatkan kiriman dari 600 orang penyair dengan jumlah ribuan puisi,” kata Datok Rida. Begitu juga dengan perhelatan di Tegal dan Padang Panjang, ratusan penyair berbondong-bondong dengan antusias mengirimkan karyanya untuk dikurasi oleh para kurator.
Kenyataan ini, kata Sutardji, seperti mengirim puisi cinta yang tak perlu menunggu balasan. “Kau hanya kirim saja, itu soal pernyataan hati. Kalau tak pernah mengirimnya, bagaimana tahu isi hati,” ujar Sutardji sembari melayani permintaan berfoto bersama dari para penyair lain.
Oleh sebab itu, cinta jenis apa yang harus kita sematkan kepada para penyair yang tak henti-hentinya menulis puisi, walau tanpa janji? Puisi cinta tak pernah ingkar janji? Ah, mungkin…